HALAMANKU

Jumat, 02 Mei 2014

Film Parenting

Saya seorang penonton. Lebih tepatnya menyukai film. Sebagaimana penyuka musik, lukisan, buku, desain, event, politik, atau makanan, pastilah ada jadwal khusus untuk sesuatu yang ia sukai. Kadang tidak perlu rutin, hanya saja sesekali ia menjadi prioritas sebelum janji yang lain. Karena prioritas, saya pastikan bahwa film yang saya sukai dan saya tonton berkualitas. No ecek2. Mungkin, tidak selalu box office atau mendapat penghargaan, dan gak harus nonton di bioskop. Tetapi tentang bagaimana saya bisa memaknai film itu. Tidak jarang Allah yang nunjukin pake feeling. Seperti : "hmm... Ini keren deh Des sepertinya! bismillah"

Tulisan kali ini, berkaitan dengan tragedi JIS. Ada beberapa film yang pernah saya lihat, dengar, rasakan (biar dalem gitu) dan ingin saya rekomendasikan buat parenting and parent. Ini dari sudut pandang saya mengambil hikmah, jadi boleh beda-beda.

Judul plus sedikit reviewnya: 

1. I Am Sam


Film ini baru saja saya tonton, gak sengaja di HBO. Bercerita tentang seorang ayah autis, dengan IQ setara anak 7 tahun yang mengadopsi anak perempuan dari panti asuhan. Konfliknya, sang ayah harus menjalani sidang pengadilan untuk mendapatkan hak asuhnya kembali, karena dikhawatirkan secara fisik, finansial, dan kecerdasan ia tidak mampu membesarkan anak asuhnya. Ending cerita yang solutif.
Poin menohoknya antara lain :
  • Tentang mengapa dan bagaimana sang anak lebih menginginkan hidup bersama ayah autisnya.
  • Tentang pengacara kaya nan handal yang berusaha memecahkan kasus Sam, namun sebaliknya justru ia belajar bagaimana menjadi "orang tua" dari kliennya yang autis itu.


2. After Earth


Diperankan couple Will Smith dan anaknya, film mereka yang kedua. Overall, kisahnya emang tegang-tegang gak tega gitu. Bayangkan jika anak anda harus bertarung sendirian di belantara hutan tanpa kawan dengan nyawa sebagai taruhan. Ini tentang arti kepercayaan. Terutama untuk anak laki-laki. Anak mungkin akan hidup lebih lama dari orang tuanya. Jika saat ini ayah atau ibu masih bisa melindungi anaknya, atau memberikan fasilitas yang dibutuhkan anaknya, bagaimana bila tiba-tiba anak itu harus hidup sendirian. Parents should prepare about that too. So, hikmah positif film ini antara lain :
  • Tentang bagaimana mengelola kepercayaan, "ketegaan", serta keyakinan orang tua pada anak.
  • Tentang bagaimana melatih dan menempatkan "rasa takut" yang sesungguhnya.


3. Hotel Transylvania



Berlawanan dengan After Earth, film animasi ini bercerita tentang Ayah yang overprotective terhadap anak perempuannya. Hal itu disebabkan oleh masa lalu mereka yang kelam. Well, life is change, and we cannot judge people generally. Iya ya. Sebelum jadi orang tua pun mungkin kita pernah khawatir dengan orang-orang disekitar yang akan berlaku jahat, sampai-sampai terlalu selektif. Pas jadi orang tua, sampai tindakan "bodoh" pun kejadian untuk melindungi anak semata wayang. Sepertinya tidak jarang kasus seperti ini.


4. The Pursuit of Happiness


Diangkat dari kisah nyata Chris Gardner. Ketangguhan seorang ayah yang akan menjadi teladan bagi anak. Chris, memperbaiki kesalahan berinvestasi, menjadi miskin dan tak punya rumah, hingga menjadi pialang Wall Street. Film ini mengajarkan tanggung jawab orang tua merawat anaknya, sepayah apa pun itu. Oh.. I can't imagine that.


Seinget saya empat film ini. Banyak film genre family. Tetapi empat film ini, menurut saya sederhana dan mudah dicerna. Tidak ditelan bulat-bulat, tetap harus disaring sesuai pemahaman dan keyakinan kita. Kalau ingat yang lain edit lagi. Search di mbah google.com dengan keyword "film parenting" akan muncul banyak judul. Edukasi sederhana dari sebuah film durasi 1,5-2 jam, kalau-kalau tak sempat kursus atau baca buku.

Wish me luck!

Kamis, 01 Mei 2014

Kompak juniornya Sinergi

Sudah lama tidak mendengar kata "kompak". Terakhir kali mengucapkan kata kompak, hmm SMP saat latihan pramuka. Menit ini, di depan lapie sambill mengingat kata "kompak" itu saya menyadari bahwa ia punya senior yang bernama sinergi. Hari ini, saya lebih bisa memahami apa itu sinergi karena pernah ditempa menjadi anak-anak yang kompak. Oke, kita perlu mencari di kamus, apakah kedua kata ini memiliki nasab yang sama. #tapimales
 

Tahukah teman-teman, ternyata sepengalaman saya belajar kompak itu gampang-gampang susah. Ini yang saya ingat ketika mendalami ilmu "kekompakan" versi pramuka SMP. Masa itu kami latihan rutin dengan kakak-kakak senior. Baris-berbaris dan praktik kedisiplinan. Saya akui itu menjadikan kami lebih sehat (baca : hitam dan berotot) serta lebih tepat waktu dibanding siswa-siswa lainnya. Eh kok ke sini ceritanya. Balik ke kompak. Jadi, pertemuan pertama pramuka, kami latihan hadap kanan hadap kiri, mudah bukan? Faktanya tidak semudah itu jika dilakukan berbarengan. Awalnya kita dilatih satu per satu, biar benar teori dan teknisnya.


Contoh :
Hadap kanan. Kaki kanan ke depannya kaki kiri agak serong, kemudian bahu menyusul, lalu kaki kiri berputar 90 derajat sejajar bahu, jangan lupa kepala juga, terakhir kaki kanan menutup sejajar kaki kiri, posisi tegap, artinya kaki kanan tidak boleh terlalu dempet dengan kaki kiri, ntar jatuh. Oya, mulut tertutup sempurna, mata menatap ke depan, tegas. Hitungannya satu - dua - tiga. Terus-menerus sampai akhirnya per orang melakukan dengan tepat. Setelah semua bisa, tahap selanjutnya adalah dalam tenggat waktu yang sama, hitungan yang sama kami bersepuluh melakukan perintah hadap-hadap itu dengan kompak. Kenyataannya lagi jika minggu ini kami berhasil kompak (setelah satu jam nonstop latihan kayak robot), minggu depan  belum tentu kami bisa melakukannya kembali. Oh my! Hadap kanan grak! Tap tap tap! Nggak kompak! Ulangi! Kami melakukannya tiap minggu, bahkan ketika akan lomba antar sekolah, kabupaten, provinsi, hingga nasional kami bisa punya jam extra untuk latihan baris-berbaris itu, lebih dari hadap2, jalan di tempat, maju jalan, berhenti, lari, bahkan istirahat puuun kita harus kompak.



Dari semua latihan kekompakan itu, ada yang paling saya suka : yel-yel. Yah, kami mengarang lagu singkat untuk menyemangati regu kami sendiri (read : show up/pamer). Salah satu dari kami tidak hafal teks, fatal! Kami berlatih tanpa jemu. Tidak kalah penting dalam menjaga kekompakan kami adalah kaos, sepatu, warna tongkat, bahkan warna kulit (otomatis hitam) disamakan. Tiada sia-sia latihan, kami lebih sering menang dalam setiap perlombaan. Ya. Demi yang namanya kompak, kami mengorbankan banyak waktu, energi, dan fokus. Kami bahkan rela dihukum bersama apabila salah satu dari anggota regu tidak kompak. Gak dibayar pula. Ciyeee, kurang apalagi coba. Boleh dibilang, kekompakan itu adalah nyawa regu. Sebenarnya kompak hanyalah sarana, kami bersepuluh seperti ditanamkan jiwa kemenangan dan optimisme. Itu poin tersiratnya. Mati-matiannya kami untuk kompak tidak lain untuk meraih kemenangan dan perlahan menjadikan kami orang-orang berkarakter. #asek



Kami bertemu setiap hari di sekolah, latihan setiap minggu, kami sebaya dan punya passion yang sama, itu nilai unggul membuat kami lebih cepat kompak. Ya saya mengamati regu lain saat kami lomba. Intensitas pertemuan dan disiplin latihan itu yang tidak ditempakan. Saya bersyukur melewati fase remaja kompak dengan pramuka.

Di awal tulisan ini, saya bilang lebih memaknai "sinergi" karena pernah kompak. Enak ya kalau pemimpin-pemimpin negeri kita bisa kompak. Tampaknya semakin bertambah usia ego manusia semakin tinggi, semakin sulit diajak kompak. Saya merasakannya sendiri, dengan teman-teman sebaya, kakak kelas, orang tua, dosen, guru, atasan. Sepadan dengan itu, pastilah pemimpin-pemimpin kita juga merasakan hal yang sama. Jika persoalannya adalah  hal-hal teknis seperti berbaris, kebanyakan orang yang dilatih terus menerus bisa melakukannya dengan kompak. Tetapi persoalan bangsa ini bukan hal teknis kan teman. Otak dan hatinya menteri pendidikan dengan otak dan hatinya menteri pertahanan dengan otak dan hatinya menteri pertanian sulit dikompakin, secara bukan robot, tapi bisa dong disinergikan. Nah, disiniah lebih cocok digunakan istilah sinergi seniornya kompak, menurut saya loh. Bersinergi ditingkat pemimpin (dari kepala rumah tangga sampai presiden) dasarnya seperti kompak. Kita harus sering bertemu, sering latihan menggugurkan ego pribadi, bersedia menanggung beban teman yang salah dan memperbaikinya bersama. Tidak perlu baju seragam sama (haha) yang penting visi kemenangan tertanam menjadi tujuan kita bersama. Indah ya. Mungkin pemimpin-pemimpin kita belum bisa bersinergi karena dulu latihan kompaknya masih kurang. Sering ketemu sih (rapat, rapat, pertemuan) tetapi entah kenapa belum bisa menurunkan kadar ego dan meningkatkan rasa pengorbanan lalu memperbaiki masalah bersama.





*Tulisan tengah malam ditemani hujan.
Nite. Mimpi in Indonesia dipimpin oleh pemimpin2 luar biasa yang bisa bersinergi.