HALAMANKU

Minggu, 16 November 2014

Jepretan Saja... "Kemilau Kalimantan Timur 2014"

Judul acaranya Kemilau Kalimantan Timur
Ini jepretan hari ke-2 setelah hari pertama pentas tari daerah dengan kostum daerah Kalimantan.
Edisi kali ini saya pengen banyak komentar.

Karena lensa kamera saya tidak sepanjang kamera-kamera fotografer n wartawan-wartawan di sebelah saya, mau tak mau saya harus pinter pinter maju mundur kayak Syahrini biar gambarnya cantiikk, cantikk :p




Penampilan pertama dari Samarinda. Tapi foto pertama ini dari Tenggarong.
Icon Kalimantan Burung Enggang jadi tema kostum di atas. Takjub. Keren kan!
Kostum yang menurut saya paling kontras warnanya. Haha.Unik dan sangat menarik.
Plus talentnya yang tau diri, jadi gak berlebihan pamer kostum berat kayak gitu. 


Kalo yang ini, diibaratkan sebagai tanaman bakau. Ini kostum-kostum gak ringan ya. Jadi selain ngerti nampil, talentnya juga kudu sehat fisik. Even, kudu olah fisik dulu, klo gak bisa langsung drop, apalagi mereka diharuskan jalan beberapa kilo dengan tetap tersenyum dan semangat.



Nah beberapa kostum memang tidak mudah ditafsirkan. Tidak banyak putra yang bersedia jadi talent, ya karena mau gak mau mereka harus di make-up dan bergaya di depan kamera seperti ini. Tapi buat kostum mewah megah seperti itu, tidak banyak putri juga yang sanggup memakainya kan?
Entah si, apakah ini juga termasuk menyerupai wanita? Hmm...


Ini putri hijau. Nggak terpajang badge nama-namanya. Satu hal yang saya suka dari festival ini bagi yang memakai jilbab justru lebih tertutup auratnya, bahkan tidak membentuk badan sama sekali. Kekekek. Bener kan? Make up pun karena sanking lebaaayy-nya di coret-coret begitu jadinya cantik seksi enggak, jelek juga enggak. Kira-kira ini tabarruj bukan ya? 


Saya berharap panggungnya lebih ergonomis buat talent-talent berkostum raksasa ini.
Note buat panitia ya, kesian tu hak tinggi dan baju berumbai-umbai kudu naik turun tanggak,
kalau keinjek-injek bisa nggeblak deh, kesiaan.





Hmm... warna-warni paduan kostum sebenarnya bagus. Akan tetapi, sebagai jepretator, menurut saya komposisi warna juga kudu diperhatikan. "Sakit" di mata kalau warnanya justru saling bertabrakan dalam satu tampilan. Belum lagi kalau talent-talent lain punya warna-warni yang sama. Ibarat tangkapan kamera jadi gak nyaman. Mungkin versi Karnaval Jember yang sudah lebih dulu dan profesional bisa jadi perbandingan *liat di foto aja si hehe






Dua foto di atas, menurut saya versi talent yang cowoknya maco. Jadi meski berkostum, warnanya tetap maskulin dan gaya-gayanya gak kecentilan. 


Denger-denger, talent mbak kupu-kupu yang satu ini, bahkan sampai ke California Amerika Serikat, ikutan pawai di sana gitu. Guess, doi sekarang SMA kelas 2. Gak harus gaya kayak AgnesMo ya supaya bisa mendunia. Asal bangga sama budaya kita, gak kalah deh.




Festival Kemilau Kalimantan Timur ini diikuti oleh empat kota besar. Samarinda, Tenggarong, Bontang, dan Balikpapan. Menurut saya kostum dari kota minyak ini tidak semgah kostum dari Bontang dan Tenggarong. Tapi penampilan tarian kipas mereka asik punya, tarian sederhana, gak perlu jungkir balik, kipas yang diatur sedemikian rupa sudah asik. 



Mereka ini semua usianya 15-17 tahun. Anak ESEMA brow sist.
Saya sangat berharap, mereka tidak hanya sekedar diajarkan tampil dan dandan, mungkin orang-orang dari dinas kebudayaan, bisa memperkenalkan mempresentasikan atau bahkan memberikan ide kostum dari budaya daerah Kalimantan. Biar luas wawasan dan lebih menjiwai kostum apa yang mereka pakai. Usul dikit, pesan moral bahwa seni dan budaya itu nggak kudu buka aurat. 






Beberapa foto close up. Nampak ya detail kostum mereka. Aseli buatan sendiri. 
Gak kalah sama kostum-kostum anime jepang kan?




Foto dari jalan. Pake pigura pohon dan daun. Kontras kan. Ini foto dari mobil yang gak gerak, karena maceett total! Paranya, gak nampak pak polisi. -______-"


Entahlah. Masalah pemilihan panitia, pemilihan rute, atau pemilihan waktu yang tidak tepat.
Hari jumat, di jam orang-orang pulang kerja. Hadeh. 

Sebagai jepretator saya kurang puas jepret-jepret. 
Sebagai penyuka "beginian", fesival/karnaval ini bisa jadi salah satu alternatif pertunjukkan budaya yang mendunia. Menurut saya, daripada duit bermilyar2 behambur buat manggil K-Pop, Rocker atau sejenisnya, mending disalurkan seperti ini. Dukungan swasta penting juga nih.
Adakah yang mau nge-hire saya di dinas pariwisata? Hahaha.

Note, buat wartawan atau siapapun yang berkepentingan yang mungkin kejebak di blog saya, pliss jangan dibajak komentar, review, dan foto saya, Ini dokumen pribadi makanya di watermark @desti_purnama , serttakan sumbernya juga!
 [pede abiss]
Kasih komen kalau foto2nya perlu dikritik membangun. ^^V
Semoga ke depan berkesempatan jepret-jepret di Karnaval Jember.

Samarinda, November 2014

Kamis, 23 Oktober 2014

Aku Menyukaimu



Aku dulu membencimu hujan.
Hanya karena kau datang begitu cepat sehingga jemuranku basah semua. 
Padahal itu seragam sekolah yang baru sempat kucuci setelah satu minggu sibuk.

Aku dulu membencimu hujan.
Hanya karena aku tak punya cadangan kaos kaki
dan harus menggigil di dalam ruang kelas ber AC karena kakiku basah.

Aku dulu membencimu hujan.
Hanya karena mantelku tak sanggup menahan derasmu. 
Basahlah separuh badanku, kadang sakit jadinya.

Aku dulu membencimu hujan.
Setelah kupikir dan kurasa, membencimu hanya karena aku tak mengenalmu. 
Mencacimu karena ego dan kebodohanku.

Sekarang aku menyukaimu hujan.
Hanya karena kau tak pernah meminta ganti rugi 
pada para petani, hutan lindung, binatang-binatang, dan aku.

Sekarang aku menyukaimu hujan.
Hanya karena kata kekasihku di setiap bulirmu jatuh ada malaikat-malaikat penjaga.
Kata kekasihku jika aku berdoa saat itu maka terkabullah.

Sekarang aku menyukaimu hujan.
Tak apa aku akan berlindung lima menit menghindari tetesan-tetesan air pertamamu.
Karena kata si pintar kau saudara embun. Jujur dan murni.

Sekarang aku menyukaimu hujan.
Tetapi sepertinya kau tak perlu sering-sering datang, 
nanti aku tidak bisa merindumu, kalau bosan aku khawatir kadar sukaku padamu berkurang.

Sekarang aku menyukaimu hujan.
Tak peduli mereka yang sama bodohnya denganku dulu terus membencimu saat ini.
Aku yakin kau hanya setia menunaikan tugas.

Sekarang hingga entah kapan aku akan menyukaimu hujan.
Bolehkah aku secara khusus mengundangmu? 
Di momen momen penting, saat itu ada banyak tangan tengadah berdoa untuk kebahagiaanku.

Duhai hujan, sampaikan salam pada pengirimmu. 
Aku ingin bertemu dengannya. 
Kalau bisa kau juga ikut mengantarku.

Selasa, 21 Oktober 2014

Tukang Ojek



“Pak, saya mau tanya.”

Tukang ojek di depanku tiba-tiba mengalihkan perhatianku dari gadget.

“Ya, lurus terus aja Pak.”

“Bukan. Bukan itu maksud Saya. Saya sudah lama nge-tem di dekat kantor Bapak keluar tadi. Sebenarnya saya agak kaget tiba-tiba Bapak menghampiri saya dan minta diantar ke Gedung Mahamera.”

“Oh. Trus mau tanya apa?”

“Begini. Sebenarnya sudah lama Saya ingin bertanya, tetapi sungkan. Masa tiba-tiba Saya nyelonong ke gedung megah Bapak lalu bertanya soal ini. Ehlahdalah, kok pas Bapak yang malah mendatangi saya.”

Aku agak terganggu dengan basa-basi tukang ojek ini. Andai bisa kujelaskan dengan cepat, bahwa dibelakangnya aku sedang memeriksa konten presentasi di gadget ini dengan teliti untuk bahan diskusi dengan investor di gedung yang kami tuju sekarang. Tetapi aku selalu percaya bahwa segala takdir baik telah digariskan, termasuk pertanyaan kali ini.

“Iya, Alhamdulillah. Bapak mau tanya apa?”

“Begini. Kok gaji Bapak bisa gede? Padahal kan saya lihat-lihat dari jauh kerjanya cuma duduk, kalaupun mondar-mandir paling cuma pindah lantai atau ruangan, udah gitu duduk duduk ngobrol lagi. Jujur, kalau Saya bandingkan dengan capeknya Saya, sepertinya kok Capekan saya ya? Walaupun saya duduk di motor tapi kan tetep lebih capek bawa motor dan panas-panasan. Memang bapak diluar gedung jadi sopir kayak Saya juga?”

Aku spontan tertawa. Lalu menepuk pundak tukang ojek didepanku ini.

“Ya begitulah manusia Mas, terbatas apa yang dilihat dimata saja kan penilaiannya. Kalau mas bisa lihat otak dan hati Saya mungkin Mas bisa tahu kenapa Saya punya uang banyak.”

“Lha, bukannya Allah menciptakan otak dan hati yang sama. Saya sih ndak mau lihat, dulu pernah lihat waktu SD. Bentuknya ya sama semua kok kata bu guru Saya.”

Aku sedikit geli lagipun miris. Selama bertahun-tahun mudah mempengaruhi rekan bisnis untuk berinvestasi dengan rayuan dan retorika bicaraku yang cerdas dan handal. Punya banyak uang karena sering diberi bonus bos, sebab investasi produk perusahaan meningkat pesat. Katanya aku lihai bekerja. Tetapi pertanyaan dan pernyataan tukang ojek ini, membuatku kikuk. Jika tidak menjelaskan padanya, nanti dikira aku orang bodoh yang dibayar gaji buta, kalau kujelaskan dan dia tidak mengerti apalah arti kecerdasanku selama ini. Oh tidak, kenapa pertanyaan tukang ojek ini lebih sulit daripada klien-klien konglomerat itu.

“Pak, Pak. Kok diem tho? Ini lima menit lagi sudah mau sampai. Nanti bapak tidak sempat menjawab pertanyaan saya lho.”

“Mas. Andai manusia itu dibayar berdasarkan banyaknya mengeluh dan banyaknya bersyukur, kira kira siapa yang paling besar gajinya?”

“Lha kok malah ditanya balik. Eh ndak papa, hmm sebentar saya mikir dulu. Kayaknya sih yang banyak ngeluh Pak, lah tiap pagi kalo ketemu teman-teman ojek di pangkalan mereka mesti ngeluh, istrinya ngambek lah, judinya kalah lah, motornya diserempetlah, atau dibayar murah sama penumpang padahal nganternya jauh, apalagi ya, wah pokokmen kalo gak gitu ngomongin nasib jeleknya ojekan lain. Terus apa hubungannya Pak? Memangnya ada yang kayak begitu?”

“Oke. Mas percaya sama Allah kan?”

“Lah kok ditanya lagi? Ya jelas percaya, Saya muslim tulen kok. Berani sumpah!”

“Haha iya Mas. Satu pertanyaan terakhir Mas. Kalau Mas ngasih uang, terus yang dikasih berterimakasih ditambah membalas dengan lebih baik, Mas seneng nggak ngasih uang sama dia?”

“Hahaha. Piye tho Pak. Yo seneng laaaah.”

“Oke. Sudah sampai mas. Depan situ saja ya.”

“Lhooo, malah udah nyampe ki piye tho. Kan pertanyaan Saya belum dijawab. Halah. Tau gitu tadi gak usah jawab pertanyaan Bapak.”

“Gampang. Ini ongkosnya, mau nunggu atau pulang dulu? Soalnya Saya mau minta tolong Mas jemput Saya di gedung ini dua jam lagi.”

“Ohh gitu. Walah bilang daritadi Pak, ya ndak papa Saya tunggu di sini saja. Siapa tau ada yang mau ngojek. Tapi insya Allah Saya pasti sudah didepan sini kalau Bapak keluar.”

“Oke. Saya pegang janji Mas ya, kalau Mas nggak ada, Saya nyari ojek lain.”



~bersambung

Senin, 20 Oktober 2014

Wanita, Seni dan Pencarian



“Kalau terlalu taat pada aturan, kamu akan kehilangan kreatifitasmu, tak pantaslah kau jadi seniman.”

Saat itu aku berusia 15 tahun. Kurang lebih tiga tahun melatih bakat seniku di pondok bersama guruku Made. Tahun-tahun awal aku masih mencari kemana bakat turunan keluargaku ini akan kufokuskan. Menari, menyanyi, melukis, memahat atau mengurusi resor ayahku. Aku pernah berfikir bahwa aku adalah anak resesif, yang tidak membawa gen ibu atau bapak. Karena selama belajar di pondok seni, karyaku tak pernah dipuji para turis kala pameran rutin. Sementara teman-temanku berhasil mendapatkan uang jutaan bahkan ratusan juta karena hasil pahatannya. Aku. Ah, terlalu malu rasanya memahat detail tubuh wanita Bali.

Aku memutuskan merantau ke Ibu Kota. Sudah lima tahun aku bekerja di perusahaan periklanan sebagai desainer grafis. Berbeda dengan di pondok, otakku lebih lincah bermain dengan aturan-aturan kurva dan hitungan-hitungan logaritma. Tidak seperti logaritma masa SMA, semua sudah terumuskan dalam sebuah software. Sehingga karya-karyaku lebih orisinil dan aku merasa tenang melakukannya, yang kugambar benda-benda abstrak seperti jeruk berjalan, bunga-bunga berbicara, bahkan panic-panci yang bekerjaran seperti manusia. Tak jarang atasan dan rekan kerjaku memujiku dan memberi bonus. Tetapi entah mengapa terkadang aku merasa bosan berlama-lama di depan layar komputer. Aku mengajukan cuti dan mengeksplore suatu seni yang tidak pernah kusentuh. Fotografi.

Aku mengikuti club fotografi gratisan di Bandung. Mulanya aku sungkan memotret model-model wanita mereka. Tetapi aku harus belajar. Lubuk hatiku berbisik, memalukan jika seorang seniman atau fotografi mengandalkan kecantikan tubuh wanita sebagai seni. Tetapi hampir semua seniman foto yang aku temui berkata, memang begitulah seni wahai anak muda, tanpa batas. Hmm, sudahlah, aku ikuti saja kata hatiku dan kata para seniman itu.

Minggu ini club fotografi mengadakan pameran foto-foto hasil hunting mereka. Aku urung menunjukkan tangkapan kameraku, sayang sudah menjadi kewajiban para anggota untuk tetap memerkan hasil bidikannya. Khawatir, jika karyaku ini dinilai sama seperti waktu pameran di Bali. Hanya karena aku malu mengeksplore wanita, dianggap tak bernilai tinggi. Aku memutar otak. Inilah karyaku…

Judul : Wanita yang Kau Cari
Lokasi : dimanasaja



"Jika kau mencari istri nanti. Tataplah matanya, bertanyalah pada mata itu. Apakah ia akan mengeluarkan air mata jika kau tidak reda terhadap perbuatannya."




"Jikau mencari istri nanti. Perhatikan tangannya. Lembut karena siraman air cucian beras atau alat-alat kecantikan yang teramat mahal."






"Jika kau mencari istri nanti. Dengarkan kata-katanya. Lembut menenangkan atau penuh rengekan gossip dan kata-kata prasangka buta."





"Jika kau memilih istri nanti. Lihat sepatunya, apakah dia sibuk mengoleksi sepatu agar lebih tinggi darimu atau merendah mengharap izinmu saja. Lihat pula seberapa tiggi dan runcing heelsnya, siapkah ia tegak menopangmu saat kau jatuh?"






"Jika kau mendapatkan istri nanti. Jagalah hatinya. Sadarilah, kekuatanmu berasal dari itu. Bukan karena hartanya atau wajah cantiknya.  Sungguh, disaat kepalamu penat dengan urusan dunia, hatinya yang kau jaga, akan menyejukkanmu."



“Kenapa harus dijelaskan?”
“Aku khawatir fotoku dianggap jelek, jadi kutulis saja maksudnya.” Spontan aku menjawab pertanyaan wanita seumurku yang berdiri tepat disampingku saat bersamaan menatap foto terakhir.





"Jika kau menemukan istri nanti. Semoga ia yang membuat kau merasa dibutuhkan, merasa istimewa, merasa tak tersaingi karena ia menjaga dirinya dan anak-anakmu hingga bertemu dengan Sang Pencipta."


Note :
Foto random dari mbah google.
Cerita random dari sekelebatan.

Minggu, 19 Oktober 2014

Kolam Renang Umum

Sore ini spontan aku memutuskan untuk berenang. Di kolam renang umum. Setiba di lokasi, hanya ada satu dua orang anak kecil di kolam khusus anak-anak. Kolam itu dalamnya 40cm. Kira-kira sepaha orang dewasa, untuk aku diatas lutut sedikit. Di sebelahnya ada kolam renang dewasa. Biasanya kolam renang seperti ini memiliki lantai yang miring, mulai dari kedalaman 1 meter hingga 4 meter dengan panjang kira-kira 6-10 meter

Senang rasanya, bisa menguasai kolam renang. Sepi. Aku salah, ada tiga sampai empat pria matang di sudut kedalaman 4 meter. Sedikit pemanasan, seketika anak-anak kecil memenuhi kolam renang dewasa 1 meter. Mulai ramai, tetapi aku sudah booking, ya semacam menjadikan satu lajur renangku di kedalaman 1,5 meter. Tidak berani terlalu dalam, karena alasan gengsi. Andai lelah, aku bisa istirahat di tengah sambil jinjit-jinjit

Berenang itu menguras energi, membentuk otot perut, tangan dan kaki, tapi tidak terasa berkeringat, itu yang menjadikan renang adalah salah satu olahraga favoritku. Harusnya banyak ibu-ibu di sini, bukankah mereka sering mengeluhkan perut yang buncit, otot kendor, gemuk berlemak setelah punya anak. Sebaliknya justru ibu-ibu hanya duduk-duduk di pinggiran sambil memainkan gagdetnya sementara anak-anak dan ayahnya terjun ke kolam. Atau lebih umum lagi pemandangan pasangan muda dengan anak usia 1-5 tahun tahun kompak membawa anaknya bermain air, anaknya saja yg bermain cipak cipuk berpelampung.

Satu hal yang menarik perhatianku kala itu. Saat sedang bersantai menikmati matahari sore sambil mengambang di kolam. Datang pasangan suami istri. Bapaknya sudah beruban banyak dan tampak sudah tua, ibunya entah karena perawatan kulit atau bapak itu menikah lagi terlihat awet muda. Tidak membawa anak, mungkin anak-anaknya sudah di kota lain. Si bapak berenang asik bolak-balik. Dipinggiran kolam renang si ibu asik memfoto si bapak, bahkan meminta si bapak bergaya seperti anak kecil yang lagi seru bermain di kolam. Seperti jatuh cinta lagi, seperti anak muda kasmaran yang suka foto dan selfie, seperti dunia miliki berdua. Romantis. Tetapi aku cepat-cepat mengalihkan tatapanku dari mereka. Sesaat pengalihan, berjarak satu meter disebelahku ada pemuda hidung mancung sedang berenang entah dengan gaya apa sambil melihatku. Beberapa kali dari dekat maupun jauh. Harusnya aku ge-er tetapi teringat romantisme kedua orang tua itu membuatku jadi risih. Pemuda mancung itu sudah punya anak dan istrinya sedang duduk tidak jauh dari kolam.

Tidakkah kau ingin tahu yang kupikirkan? Haha sudahlah tidak perlu. Aku cabut saja dari kolam ini. Mungkin salahku juga terlalu cuek pada pemuda-pemuda yang sama inginnya membentuk badan (baca : kesehatan) dengan berenang. Sambil berjalan menuju ruang ganti hatiku berbisik "berkomitmenlah untuk membangun cinta pada pasanganmu karena kesempatan curang selalu ada."

Rabu, 15 Oktober 2014

Pistol dan Musuh

“Hei hei.. psst.. ibumu belum datang?”

Anak kecil itu menggelengkan kepala. Lalu asik dengan jam tangannya yang juga bisa digunakan untuk ngegame.

Aku asik membaca koran di kursi halte yang sama. Telingaku masih awas degan orang-orang di sekitar. Termasuk anak muda penjual mainan anak. Anak muda ini merakit sesuatu, mimik dan gayanya seolah ingin pamer pada si anak ini, namun yang ditujunya lebih suka jam tangannya.
Tak menyerah, anak muda itu  mendekati anak kecil. Sejarak satu lengan dari tempat aku duduk.

“Mau coba ini dek?”

Anak kecil itu menghentikan permainannya. Mulai tertarik dengan barang yang ditawarkan oleh pemuda itu.

“Ini bagus lho dek, bapak polisi sering pakai ini untuk mengejar penjahat. Nah, kalau ada yang jahat sama kamu bisa pakai ini untuk menakut-nakuti, dijamin deh semua musuh-musuhmu akan takut sama kamu. “



Oh, ternyata pemuda itu merakit pistol-pistolan sedaritadi. Sayang anak kecil itu hanya menengok-nengok mainan itu tanpa menyentuhnya. Tak putus asa, anak muda penjual mainan mengambil beberapa bola-bola kecil di sakunya, lalu dimasukkan ke dalam pistol mainannya.

“Eh dek, lihat ini!”

Sambil bergaya ala penembak jitu, anak muda menembakkan pistolnya kea rah balon-balon yang ada di gerobak mainannya. Dor! Balon pecah. Aku kaget, anak kecil itu juga sedikit berteriak.

"Nah, keren bukan?! Gimana?"

Aku melipat koran dan hendak membentak anak muda ini. Namun, anak kecil di sebelahku angkat bicara duluan.

"Tapi pistol itu tidak bisa mengalahkan musuhku yang ada di dalam jam tangan ini Kak. Balon itu bukan musuhku. Musuhku si bundong, di sini. Kata anak kecil itu sambal menunjuk jam tangannya. Ibu bilang jangan membeli sesuatu yang tidak ada gunanya."


Mendengar itu, aku menahan mulut. Tak berapa lama, seorang ibu muda mengenakan gamis dan jilbab panjang memanggil anaknya. Anak kecil di sampingku berlari menuju ibunya. Mencium tangan sang ibu. Berlalu. Anak muda penjual pistol terbengong tanpa jawaban, sambil melirik ke arahku. Aku mengangkat bahu sambal nyengir, membuka koranku lagi. Tidak segera membaca berita. Sekelebat berfikir. Cerdas Nak. Kau tahu siapa musuhmu sebenarnya, kau yang paling tahu senjata paling ampuh untuk mengalahkannya. Mungkin dalam hidup kita akan hadir orang-orang yang menjadi pilihan solusi masalah kita. Ada yang hadir dengan tulus ada pula yang hadir disambil mencari keuntungan. Pilihlah solusi yang tepat guna, bukan justru sebaliknya. Apapun. Kadang kita menganggap musuh itu orang lain, namun bisa jadi, di dalam diri kitapun ada yang harus kita bunuh. Salah satu contohnya stress. Ketika stress melanda banyak tawaran solusi bersenang-senang, minum, clubbing, drugs, dll padahal kita sudah tahu hal itu tidak akan benar-benar menyelesaikan akar masalah yang menyebabkan stress.  Thank’s kid, you teach me this moment, thank’s kid’s mother, you teach him well, thank’s God you save my heart. 

Jumat, 10 Oktober 2014

Kehilangan

Seorang anak menghampiriku. Halo Kakek, Kakek mencari apa? Aku tersenyum ringan membalas celotehnya lalu terheran karena sedaritadi aku hanya duduk di kursi taman ini. Melamun ke arah danau. Aku tidak sadar apakah posisiku seperti sedang mencari sesuatu. Aku yakin tidak. Hanya saja rasanya ingin menyenangkan anak ini dengan menjawab pertanyaannya.

“Sedang mencari kucing kakek yang hilang Nak.”
“Ohh. Hilangnya kapan?” Selidiknya lagi.
“Tiga bulan yang lalu.”
“Wah lama sekali.”

Aku tidak berbohong. Entah, aku tidak punya kucing sebenarnya, jadi bagaimana mungkin kehilangan. Lagi-lagi wajah polos anak ini membuatku ingin berbagi cerita dengannya. Apalagi sekarang ia mendekatiku, seketika duduk disampingku.

“Kek, dua hari lalu saya juga menemui seorang ibu-ibu, bercerita kehilangan anaknya. Kemudian saya bertemu seorang pria tampan, ia bercerita kehilangan kekasihnya. Tidak lama saya bertemu lagi seorang tukang becak, ia bercerita kehilangan becaknya. Saya kasihan melihat mereka, dan seketika memutuskan untuk membantu sebisa saya. Tetapi saat kutemukan merekabilang itu sudah bukan milik mereka. Ibu yang saya bantu itu bercerita lagi, bahwa anaknya hilang karena meninggal dua hari lalu. Kemudian pria tampan itu bercerita kekasihnya telah menikah dengan pria lain. Tidak lama tukang becak itu bercerita becaknya diambil juragannya karena tidak mampu membayar sewa.” Anak polos ini bercerita panjang tanpa jeda.

“Kek, saya jadi bingung, becak itu bukan milik tukang becak, ketika diambil oleh juragannya mengapa ia bilang kehilangan? Wanita itu juga bukan milik pria tampan, ketika menikah dengan pria lain, mengapa ia bilang kehilangan? Aku mungkin memaklumi sang ibu, karena anaknya lahir dari perut ibu, jadi bolehlah ia mengatakan kehilangan, hanya saja apa bisa meninggal itu dikatakan sama dengan hilang? Jadi, kucing kakek tidak hilang kan? Mungkin meninggal atau pergi dengan kucing lain atau diambil oleh yang punya.”

“Aku, aku tiga bulan yang lalu tertimpa musibah, perusahaanku terbakar habis, aku tertipu asuransi, aku kehilangan rumah, kugadaikan untuk menutup ganti rugi, dan yang terakhir isteriku pergi. Ya, aku tak punya anak.” Entah apa yang mendorongku kemudian bercerita pada anak ini. 

“Aku menghabiskan separuh hidupku untuk membangun perusahaan ini, uangnya kuberikan kepada istriku untuk menyenangkan hatinya, aku yang merawat bisnis dan istriku, dengan kerja keras dan hati-hati tanpa pernah punya rencana hidup sendiri seperti ini.” Aku seperti menangis tetapi tidak berair mata. Terdiam. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak itu. Bahkan tidak tahu apa judul yang tepat untuk ceritaku padanya.

#belumketemulagi