HALAMANKU

Jumat, 30 Januari 2015

Pure It - Dikasih Ilmu, Disaring Dulu

"Haduhh, pusing, banyak banget yang menasihati kasih tahu ini itu, aku jadi bingung mau ngikutin yang mana?"
Secuplik kalimat di atas mungkin pernah kejadian juga sama diri kita ya. Pada akhirnya menuntut diri kita sendiri untuk memutuskan nasihat atau ilmu mana yang harus diserap dan dipakai, dengan garansi aman.

Wajar pakai banget. Seiring pesatnya perkembangan hubungan interpersonal via dunia maya dan dunia nyata lintas pulau lintas negara lintas benua gara-gara ada internet dan media sosial, sudah barang tentu diikuti banyaknya pengetahuan yang seliweran di mata dan telinga. "Ini benar, itu benar, ini gimana ya?" Apalagi buat kita yang temennya banyak banget. Mau minum teh aja ada yang bilang "jangan minum teh habis makan!", "minumnya pake tangan kanan", "enak banget lho minum teh pake kopi pake oreo", "teh paling bagus tu ocha macha", "enggaklah paling bagus tu yang dibuat dari daun teh pegunungan dan bagian pucuknya, itu lho yang iklannya ulat rebutan daun". Zzzh...minum teh aja kok ribet. Apa dicobain semua teh macha+pucuk+kopi+oreo? Entar klo ada apa2 gimana? #sruput "eh lupa bismillah!"

Baiklah, tulisan coret-coret saya di blog kali ini rencananya mau bahas seputar bikin saringan teh. Haha. Garing, Maksudnya kiat-kita menyaring ilmu biar tidak keracunan. 

Secara Alamiah
Ilmu bagi hati dan pikiran itu ibarat makanan bagi lambung. Selama lambung kita normal dimasukin makanan halal dan baik (bergizi seimbang) maka selama itu pula hal-hal yang masuk bersama makanan akan terserap manfaatnya bagi tubuh. Kalau makanannya tidak halal dan buruk maka dengan sendirinya lambung kita akan bergejolak lalu muntah atau mencret atau demam. Jangka panjangnya jika diabaikan bisa kanker dan sebagainya. Nah, lalu umpamakan itu dengan ilmu dan hati. Ilmu yang tidak halal dan buruk secara otomatis akan terdepak bagi kita yang punya hati sehat.

Proses Pencernaan dan Adaptasi
Betapa indahnya kalau proses alamiah di atas ini dapat berlangsung terus seumur hidup. Badan sehat pikiran tenang, lalu mati. Eh agak horor juga. Alhamdulillah faktanya tidak ada. Satu-satunya manusia terkenal yang seperti itu hanya Rasulullah saw, yang jarang sakit dan cerdas karena hatinya bening. Yasudah teladani Rasulullah saja ya. Selesai tulisan saya. Haha. Garing.

Lanjut ya. Perhatikan gambar ini...



Ada yang memberi ada yang menerima. Ada yang memberi makan ada yang makan. Ada yang memberi ilmu ada yang menerima ilmu. Kita butuh wadah saat menerima apapun. Sehingga hal pertama yang harus kita siapkan untuk menerima dan mencerna ilmu adalah wadahnya. Wadah ya, bukan selang, bukan corong. Wadahnya kudu seperti Pure it. Bukan promosi, tetapi menurut saya bagusnya memang begitu. 



Karena hati kita tidak seperti Rasulullah, yang sudah dicuci bersih sama malaikat. Pun kita tidak bisa memanggil malaikat buat bersihin hati kita. Salah panggil, malah nyawa kita yang dibersihin. Alhamdulillahnya kita dibekalin pedoman mencari bahan-bahan untuk menjaga wadah ilmu kita a.k.a hati supaya tetap bersih. Gambar pure it di atas, terdiri dari 5 bahan yang digunakan untuk menyaring air apapun (katanya) yang membahayakan tubuh menjadi air yang bermanfaat bagi tubuh. 

Nah bahan-bahan saringan ilmu yang kudu dicari dan dipasang di hati sebagai berikut :
1. Penyerap Ilmu
Penyerap yang baik adalah penyerap yang banyak. Maksudnya, misal dapat ilmu satu paragraf, tidak hanya berhenti di situ saja. Cari lebih banyak dan lebih dalam lagi. Tidak hanya satu atau tiga referensi. Bisa jadi lebih dari lima narasumber kita ajak diskusi. Atau bahkan pakai riset juga makin mantab. 

2. Karbon Sombong
Dari segudang ilmu yang kita serap, jika di dalamnya ada zat-zat kesombongan, maka ia akan diserap oleh karbon sombong. Jadi ilmu yang kita serap nanti, ilmu yang membuat kita menjadi semakin rendah hati,

3. Karbon Malas
Setelah itu ilmu masuk ke saringan karbon malas. Ilmu-ilmu yang mengandung zat kemalasan. Atau ilmu yang justru membuat kita jadi malas bekerja keras, sukanya jalan pintas, simsalabim langsung jadi. Lebih-lebih zat-zat dalam ilmu yang malah bikin kita malas beribadah akan terserap oleh karbon malas.

4. Karbon Syirik
Kemudian ilmu juga akan masuk ke saringan karbon syirik. Nah ini adalah saringan karbon paling penting. Karena bagian ini yang menyerap segala bentuk racun-racun kejahatan. Karena manusia bisa saja terlihat tidak sombong dan tidak malas di hadapan manusia tetapi dihadapan Tuhannya? Insya Allah kalau sudah bersih dari syirik, hati senantiasa sehat wal afiat.

5. Karbon Ikhlas dan Berkah
Nah ini ibarat air ditambah O2, oksigen, jadi air oksigen, air embun, yang katanya banyak manfaatnya. Jadi ilmu yang masuk di karbon ikhlas dan berkah akan disegel dengan zat-zat yang membuat ilmu berpahala berlipatganda bahkan sampai mati tetap mengalir pahalanya buat kita. Di gambar pure-it di atas saringan kelima dekat dengan tempat keluar air. Artinya air halal dan bersih siap diserap tubuh sendiri dan atau dibagikan ke orang lain dengan ikhlas. Maksudnya, sebagai contoh, kita menerapkan ilmu banyak sedekah banyak rejeki, tetapi setelah banyak sedekah kok rejeki biasa saja rasanya, nah disini butuh namanya ikhlas. Karena terkadang berkahnya ilmu tidak hanya terasa di dunia saja, bisa jadi di akhirat malah numpuk-numpuk.

Sekian tipsnya, yang diambil dari pengalaman hidup dan belajar dari buku dan guru. Maaf kurangnya, cuma Allah yang ngasih lebihnya. :)

Allahu'alam


Kamis, 29 Januari 2015

Tentang Passion, Takdir dan Hari Akhir

Ish berat judulnya. Butuh kajian aqidah kalau bicara soal takdir, qadarullah, nasib, rejeki dan lain sebagainya. Anyhow, disini saya ingin berbagi cerita dari teman-teman dan hikmah yang turun dari langit kepada otak dan hati saya.

Masih ada yang heran dengan jalan hidup orang lain. "Eh… dia kan Teknik Industri dari U*M lagi, kok kerjanya di bank sih? Mau-maunya. Eh… dia kan S2, kok Cuma jadi pedagang sih? Gak sayang ilmunya. Eh… dia kan pinter, tapi gak kerja ya? Sayang duitnya. Eh.. dulu kan dia begini, kok sekarang begitu?" Eh… dan eh… kok dan eh… sejenis. Kalau diterusin bisa jadi ghibah. Oh nhow!

Menanggapi orang seperti ini, kudu diliat lebih dalam merknya seperti apa. Kalau emang jenis yang banyak komen langsung skak mat aja, kalau kelihatan kurang gaul dibawa dulu cerita-cerita panjang dan menyentuh sampai dia ngambil kesimpulan sendiri, kalau kelihatan bodoh nah ini kudu lebih panjang lebar jelasinnya, gak bisa sekali dua kali. Tetapi semua itu bergantung dari kitanya mau nanggapin apa enggak. Cuma.. saya sendiri tidak akan diam begitu saja, ketika ada “kalimat tingkat rendah” seperti itu. Maksudnya, kalau dia orang yang faham gak akan berkomentar seperti itu, kecuali dia sedang ngetes kita. Sehingga dalam rangka belajar dan mengajak ke arah berfikir yang lebih baik, karena saya yakin pola pikir semacam itu akan dibawa sampe keturunannya, khawatir nular ke keturunan saya juga. #tepokjidat

Emang apa salahnya? Apa rendahnya pertanyaan itu? Memang begitu kan faktanya? No no… big no ya buat kamu yang terjebak ditulisan saya ini (#belagak penulis, :p) apalagi buat kamu yang punya agama, terlebih islam.

Tentang Passion
True, experience is the best teacher. Ini hanya masalah lamanya waktu yang tergunakan oleh setiap orang dalam mencari passion atau bakat hidupnya. Saya pernah membaca bukunya om Rene S. ~sangat berapi-api membahas soal mengejar Passion. Bahkan sampai dia menemukan passion nya dan menulis buku tentang passion dia sudah jatuh bangun berulang kali. Perlu disadari bahwa sebagian kita menyerap ilmu yang diajarkan guru dan dosen di kelas, sebagian lain menyerap relasi dan teman-teman, sebagian lagi menyerap banyak kegagalan karena tinggal kelas atau ngulang matkul. Sehingga, apa yang diserap itulah yang dikeluarkan, ada yang diproses jadi lebih baik ada yang sebaliknya. Nah, begitulah ketika melihat fenomena “eh… eh.. kok” (diatas). Tanggapi saja komentator itu dengan jawaban “mungkin dia sedang mengejar dan mengujicoba passionnya” atau “siapa tau itu sudah passionnya (read:yangpentingdapatduit)”

Tentang Takdir
Dari jaman TPA, SD, diulang terus sampai SMP/SMA oleh guru agama kita, ketika mati nanti yang pertama kali ditanya oleh malaikat adalah amal ibadah kita. Bukan sekolah dimana, kuliah dimana, kerja dimana, atau berapa gajinya. Ehhmm mungkin para malaikat akan sedikit berimprovisasi dengan pertanyaan begini “dulu selama kuliah sholatmu bolong gak?” atau “dulu waktu SMP nabimu masih Muhammad?” atau “dulu waktu kerja kamu takutnya sama bos apa sama Tuhan? Eh siapa TuhanMu?” #agakngaco

Jadi jika kita terjebak situasi dengan teman yang berkomentar “eh dia kan (#diatas)” jawab aja..
  • Buat yang banyak komen : “ya bisa jadi dia baru dapat hidayah, kalau yang dibawa mati nanti bukan gaji perusahaannya” agak dipanjangin dikit “yang penting kan halal… bisa jadi dia banyak sedekahnya apa yg disayangkan…eh jangan2 dia punya panti asuhan, siapa tau dia lebih solih/solihah dari kelihatannya… bisa jadi dan bisa jadi yang positif lainnya” jawaban seperti ini sekaligus mengurangi resiko makan daging sodara sendiri.
  • Trus jawaban buat yang kurang gaul : ceritain sebanyak-banyaknya kisah orang aneh kayak J.K Rowling (yang gelandangan trus jadi penulis Harry Potter) , Bilal bin Rabah (yang budak item banget eh masuk surga, trus beberapa pengusaha, penulis yang kudu drop out sebelum sukses, atau cari aja tetangga yang nasibnya mirip-mirip begitu.
  • Nah, yang kayaknya bodoh, yang udah dijelasin 1&2 tetap mlengos. Jekpot. Lanjut baca dulu…


Tentang Hari Akhir
Buat muslim muslimah. Hari akhir itu kan gerbangnya alam dunia ke alam akhirat ya. Pintu satu satunya pindah dari yang semu ke yang kekal. So nasib dan takdir kita gak berhenti sampai di dunia saja, masih berlanjut eposidenya ketika di akhirat. Selamanya! Gak balik lagi ke dunia! Antara Surga dan Neraka! Ketemu Allah atau iblis! #suasanamenjadihoror

Bisa jadi yang komentar ke orang lain sedang mengomentari dirinya sendiri. He. Artinya segala sesuatu kita refleksikan ke dalam diri sediri kan. Bisa jadi takdir-takdir yang kita jalani tidak sepenuhnya membawa kita pada nasib yang (terlihat) baik. Misal, passion kita penyiar radio, coba gagal, coba gagal, coba berhasil. Tenar tuh. Tetapi gaji kita cukup buat makan aja. Trus naik pangkat jd penyiar nasional. Gaji berjuta-juta. Lalu, andai kita hidup hingga usia 70 tahun, apakah Stasiun Radio/Televisi tempat kita bekerja akan tetap memperkerjakan kita? Manatau gigi kita ompong susah ngomong. Hehe. Begitu pula dengan passion dan pekerjaan lain yang kita jalani. Alangkah baiknya pengejaran passion berkorelasi dengan tingkat kedisiplinan kita dalam beribadah dan beramal. Suer deh buktikan nanti di akhirat. Karena begini, Allah itu maunya kita ke surga, jadi Allah akan habis-habisan ngajarin kita supaya bahagia di dunia dan akhirat. Kalau mengejar passion kita bikin kita lupa sama Allah, ya gak rela lah Allah. #sweeet.  



So dear, jika saat di dunia ini kita sedang bekerja sesuai passion kita atau pun tidak, menjalani hidup sesuai dengan ilmu yang kita rintis sejak SD atau pun tidak, sesuai dengan mimpi-mimpi kita atau pun tidak, yang paling penting semoga kita tidak lupa pada passion menyiapkan hari akhir, sehingga takdir-takdir kita pada masa ini tetap membawa kita pada nasib yang (benar-benar) baik di hari akhir nanti. Insya Allah.

Jadi, jekpot diatas dijawab dengan closing statemen “takdir, kamu juga gak tau kan takdirmu besok gmn? Mantau mati, bawa apa kau mati nanti?” wassalam.

Allahu’alam bisowab.

Selasa, 27 Januari 2015

Bulan Terbelah di Langit Amerika (novel)


Sampai bab 26 ini, saya hanya bisa berkomentar "andai di posisi Hanum, mungkin saya akan melakukan hal yang sama, speechless". :(

Dari novel pertama pasangan romantis ini, sampai akhirnya difilmkan, saya sudah menanti-nanti sekuel berikutnya. Tagline yang selalu nempel di kepala "Menjadi Agen Muslim yang Baik".
Mbak Hanum dan suaminya Rangga mendapat semboyan berharga dalam hidup mereka itu saat berada di negara asing, mayoritas non muslim. Kadang saya mikir, ada yang salah ya dengan islamnya Indonesia? Apakah muslim di Indonesia tidak cukup menginspirasi? Lebih lagi saya mikir, Hanum dan Rangga pun berasa "diingatkan" bukan dari kalangan ustad atau ustazah atau seorang ulama terpandang. Memangnya ceramahnya ustad Indonesia kurang "jleb" kah?

Sederhananya memang hidayah itu datang dari mana saja dari siapa saja dan kapan saja. Jadi tidak perlu dipikirkan terlalu dalam pertanyaan saya yang itu. Karena ada pertanyaan bersambungnya. Hehe. Andai bisa menghitung berapa orang islam Indonesia yang tersadarkan oleh novel dan film ini, apakah sebelumnya mereka kita bukan agen muslim yang baik di negeri sendiri atau pun di negeri orang? Ini susah ya dijawab.

Tetapi memang saya akui, menjadi "Agen Muslim yang Baik" itu tidak mudah. Atau biasa kita sebut menjadi "Mukmin" dan atau bahkan "Mukhlis". Kenapa ya? Hmm.. menurut saya pakai analisis abal-abal aja ni ya. Bisa jadi susahnya dikarenakn standar "kesolihan" di negara kita sebagian masih tercampur budaya manusiawi masyarakatnya. Kadang penilaian "mukmin" itu kudu ada embel-embel Haji/Hajah atau embel-embel ustad/ustazah atau kiyai atau syekh dan sebutan-sebutan lain yang di Alquran terbitan mana pun gak ada dalilnya. Jadi kalau belum dipanggil dengan embel-embel itu kadang suka amnesia kalau agamanya islam. Lebih lagi kalau temen-temennya, saudaranya, lingkungannya, gurunya juga sama-sama lupa ingatan. Kompak sudah! #elushati
Di dalam negeri yang mayoritas muslim aja sering lupanya ya, bagaimana di negeri yang mayoritas non muslim?!


Nah, qodarullah. Terbitnya buku 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika menyentil kita bahwa gak pake embel-embel itu kita harus selalu ingeeeet bahwa kita ini muslim. Tokoh Pasha sukses menuai berkah berlipat-lipat karena inspirasinya disampaikan lewat tulisan mbak Hanum lalu tersebar ke penjuru Indonesia. Wanita solihah dalam buku ini nyata dan embel-embelnya cuma Fatma, itupun nama depan.

So, mas Bro mbak Sist semoga selalu ingat sudah bersyahadat. Coba cek dulu KTP nya, kalau kaget kok tulisan agamanya Islam coba tanya dulu ke bapak sama emak ya, andai mereka juga lupa mungkin bisa tanya ke pak RT sampe pak Lurah dulu cetaknya gimana. Kalau tiba-tiba sembuh amnesianya gara-gara cek KTP, alhamdulillah, hidayah, lanjutlah jadi agen muslim yg baik a.k.a mukmin bahkan mukhlis. Manatau ke luar negeri kapannanti, eh gantian kamu yang menginspirasi.
Bismillah ya, kita sama-sama.

Allahu'alam bisowab.

Sabtu, 24 Januari 2015

Hope and Time || Harapan dan Waktu

Sebagian kita, mungkin pernah menggantungkan diri pada sesuatu yang disebut Harapan dan Waktu. Tidak jarang kita temui, quote-quote bijaksana seperti ini :














Bahkan kita tidak segan-segan berbagi dengan me-share ulang, pasang di profile picture, dan lain sebagainya.

Entah saya nya yang terlalu berfalsafah atau kedaleman mikir atau memang ini perlu dikritisi. Sebagai muslim(ah) I just feel, something not right at all. Why?

Harapan dan Waktu adalah sesuatu yang abstrak, ngawang-ngawang, tak tersentuh, relatif, tidak terhitung. Agak maksa sih menurut saya, jika kedua hal itu dikaitkan dengan saat-saat kita sedang berada di posisi drop / down / desperate kena musibah dan sejenisnya. Khawatir, salah kaprahnya, harapan dan waktu hanya membuat sesuatu menjadi berlarut-larut dan pada akhirnya bukan harapan dan waktu yang jadi solusi, bukan itu, sekali lagi bukan mereka. Maksudnya gimana sih Des?

Buat muslim dan muslimah tercinta. Faktanya kita itu punya Allah swt. Sejak sebelum kita lahir ke dunia sudahlah ditetapkan detil-detil rejeki pada kita. Sudah dibilang juga bahwa nanti kita akan mati lagi. Maka seharusnya menjadi kongkrit bahwa objek bergantung kita itu Allah swt yang tidak bisa digantikan oleh kata apa pun. See? 

Harapan itu kudu kongkrit digantungkan sama siapa? Siapa yang akan mewujudkan? Siapa yang bekerja keras untuk mewujudkan? Siapa yang berhak menentukan bahwa harapan itu akan terwujud? Jika sudah terjawab. Maka bagi mereka yang merasa bahwa harapan muncul dikarenakan mereka yang berkeinginan, yang bekerja keras mewujudkannya, mindset yang timbul adalah bahwa manusia bisa menjadikan harapannya nyata tanpa bantuan siapa pun. "Saya yang berharap, saya yang mewujudkan" (sombong, read). Itu kalau berhasil. Kalau gagal? Apa gak semakin desperado? Lalu membandingkan diri dengan orang lain yang sukses dengan harapannya, eh kita berharap kok gagal mulu.

Berbeda ketika kita menambahkan harapan itu dengan harapan (+pada Allah swt).  Ketika berhasil kita tahu bahwa itu semua atas izin Allah juga. Ketika gagal kita masih bisa menjaga sikap positif bahwa rejeki tidak akan tertukar karena sudah diatur. Begindang..nyenggol-nyenggol aqidah gitu.

Pun soal waktu. Sering kita mendapati sebagian orang bertahun-tahun stress, bertahun-tahun sikapnya begitu-begitu saja, murung terus, hopeless. Ada pula yang dalam waktu singkat habis kena musibah langsung tersenyum dan semangat lagi. Bukan "waktu" yang jadi obatnya, tetapi Allah. Bisa jadi sama-sama lama menghabiskan waktu, tetapi yang satu membiarkan, menyibukkan dengan pengalihan-pengalihan tidak jelas, tanpa disadari sebenarnya sama saja buang-buang waktu dengan dalih biar tidak sedih. Berbeda ketika kita tahu bahwa cepat atau lambat Allah yang akan menghapus kesedihan dan kagalauan kita. Misal kasusnya sama-sama kehilangan kucing, jika kita merasa bahwa the one and only kucing itu yang bisa bikin kita happy terus, no cat can replace it!. Lebay. Trus aja dipikirin sampai ngarep si kucing mati suri aja. Hellow, yang lain udah move on dan dapat kucing baru. Maka, jika kita yakin bahwa kucing mati adalah yang terbaik karena sudah ditakdirkan Allah, maka besok lusa kita sudah tidak perlu memikirkan kucing kesayangan akan hidup lagi, mending fokus cari kucing yang bisa jadi lebih baik, atau harimau sekalian maybe. Berbekal keyakinan itu, maka kata "waktu" menjadi sangat absurd kan? absurd di”quote”kan sebagai healing atau obat. Kadang sedih kalau ada muslim yang berlarut-larut dalam kesedihan menunggu waktu yang akan menjawab namun tidak banyak beramal.

So, kesimpulannya salahkah berharap dan membiarkan waktu mengobati luka? 
Ditambahin deh, berharap pada siapa, pada Allah dan biarkan Allah mengobati kekhawatiran kita, karena waktu gak akan ngapa-ngapain kalau kita gak ngapa-ngapain. Jangan jadi sok gak punya Tuhan gitulah. Coba quote2 di atas itu diganti Allah. Adem denger n ngeliatnya. Or maybe better to say…
لاَ هَوْلَ وَلاَ قُوَّتَ اِلاَّبِاللّه 

Allahu'alam bisowab.

#Lama gak nulis, kangen euy.