HALAMANKU

Selasa, 15 Maret 2016

Abdurrahman bin Auf, Cendol, dan Modal Dengkul

Abdurahman bin Auf. Seorang sahabat Nabi saw yang ketika berinfak maka nilai infaknya jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, bisa untuk memborong es cendol se Kalimantan Timur sekaligus gerobak dan abang penjualnya. Itu pun masih belum habis. Kalau beliau infak lagi keesokan harinya mungkin pulau Kalimantan bisa jadi lautan cendol.




Apa hubungan Abdurrahman dan Cendol? Kita bayangkan cendol ini bersantan putih, bercampur nangka kuning dan cincau hitam. Cendol putih, hitam, kuning. Jika cendol adalah target konsumen ideologis kita, maka menuntut infak adalah sesuatu yang niscaya selain menuntut ilmu. Kita memahami bahwa Abdurahman bin Auf adalah seorang pedagang sukses Madinah di jamannya. Kita semua juga tahu bahwa beliau pernah ditawari rumah juga istri namun ia memilih untuk jalan ke pasar. Andai boleh diumpamakan di jaman ini, ia adalah seorang imigran yang ditawari jadi pegawai perusahaan bonafit dengan gaji mentereng dan mudah memilih calon istri, tetapi ia memilih jadi pengusaha. Lalu, kemudian apa yang terjadi ketika pilihan itu dilakukan, mari kita baca kembali sirah seorang Abdurrahman bin Auf, tentu kita akan tersayat oleh kesuksesannya, kedermawanannya, serta kezuhudanya.

Faiza azamta fatawakkal alallah. Setelah memutuskan sesuatu maka serahkan semua kepada Allah swt. Kira-kira begitu yang terjadi dengan Abdurahman. Manusia mana yang tidak tergiur dengan fasilitas gratis? Bukankah itu takdir Allah swt pula. Tentulah ada dilema yang dialami oleh Abdurahman, hanya saja tidak segalau manusia jaman sekarang sampai-sampai susah move on. Ia bersegera memutuskan untuk menolak fasilitas tersebut, dan bersegera pula ke pasar untuk survei. Keputusan bulat dan biarlah Allah yang memberi inspirasi dan menyiapkan berkah rizkinya. 

Andai itu bukan Abdurahman bin Auf, Allah mungkin akan mengisahkan nama sahabat yang lain. Tetapi betapa indah skenario Allah, memantapkan hati Abdurahman untuk jadi teladan bagi kita. Terutama untuk para peniat bisnis yang sering berkeluh tentang tidak punya modal, sehingga niatnya tinggalah niat. Satu hikmah tercatat, tentang bersegera dan tawakal. Jika ingin berbisnis segeralah memutuskan dan terjun ke medan pasar. Modal, tak harus uang, awali dengan niat yang lurus dan tulus, itu adalah modal yang tak nampak namun utama adanya.

Hikmah kedua adalah taktik dagang Abdurahman. Diceritakan bahwa beliau memulai usahanya dengan menawarkan diri menjadi salesman sebuah dealer unta. Uniknya beliau membeli unta dari dealer resmi dengan harga 100 lalu dibawa ke suatu tempat untuk dijual dengan harga yang sama, yakni 100. Setiap harinya beliau berhasil menjual 100 ekor unta. Luar biasa bukan? Tetapi kalau dipikir darimana untungnya? Beli harga modal 100 dijual dengan harga 100 pula. Meski ia menjual 100.000 unta pun, bisa dipastikan tidak akan ada untungnya, kecuali lelah. Di sini kita tidak bicara tentang ikhlas dalam membantu orang, konteksnya kita sedang berbicara tentang bisnis. Bukanlah bisnis kalau tidak ada keuntungan (berkah). Jadi, darimana sumber uang infak Abdurahman bin Auf? Jawabannya sederhana. Seorang pembeli unta tentu tidak bisa menggiring unta tanpa tali, atau menunggangi unta tanpa pelana. Maka harga 100 itu adalah harga untanya saja, sementara tali dan pelana unta menjadi komoditi Abdurahman mendapatkan tambahan penghasilan. Firasat sang sahabat melaju cepat. Jika seorang membeli unta, kemungkinan untuk melakukan pembelian ulang unta adalah setelah unta yang sebelumnya mati atau sakit parah sehingga unta tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Bisa bertahun-tahun. Tetapi tali dan pelana bisa saja rusak dalam hitungan bulan. Nah, inilah kuncinya. Datang darimana ide kreatif ini? Tentunya dari rasa syukur terhadap modal sekecil apapun yang dipunyai pun diiringi kerja keras serta ketawakallan pada Allah swt.

Indonesia pernah menyebut nama Bob Sadino sebagai pengusaha nomer satu di negeri ini. Berkisah seorang laki-laki yang berniat untuk memulai bisnis lalu mengeluh kepada Bob. "Saya tidak punya modal, bagaimana ini?" Lalu Bob bertanya balik "Oke, saya akan kasih modal. Saya akan membeli dengkulmu senilai 500 juta. Mau?" Serta merta lelaki ini menolak karena tidak mungkin lelaki itu memotong dengkulnya untuk diserahkan pada Bob. "Kalau begitu, kamu sudah punya modal 1 milyar" balas Bob datar. Tak berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Abdullah Gymnastiar membangun peradaban Daarut Tauhid, yakni modal syukur. Mensyukuri dengkul, mengsyukuri lidah, mata, kepala, dan tubuh yang sehat.

Bukanlah ketiadaan modal yang membuat kita tidak berani memulai bisnis, melainkan kita takut jika Allah swt sebagai tempat bergantung tidak akan membantu kalau kita gagal dalam berbisnis. Betapa buruknya prasangka kita. Padahal Allah swt lah yang paling bahagia ketika dimintai hamba-hambanya yang solih. Atau jangan-jangan bukan Allah swt yang menjadi alasan kita berbisnis atau tempat satu-satunya meminta pertolongan? 

Istighfar. Perbaiki niat dan ikhtiar. Husnuzan dan berdoa semoga Allah swt menjadikan kita manusia sebaik manfaat, atau minimal menjadi penyalur rejeki manusia lain. Yes, being a boss in your own business.





Tulisan ini terinspirasi dari kelas enterpreneur Fitra Jaya Saleh (owner : raihanshop.com)
Samarinda, Maret 2016.

Senin, 07 Maret 2016

Khilafah dan Demokrasi

Sebuah literasi yang membuka pikiran dan hati, anti fanatisme golongan, dan sebuah perenungan. :)


Khilafah dan Demokrasi


SEBENARNYA, masalah demokrasi bisa dibicarakan dengan lebih ilmiah. Istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”. Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus “teokrasi”. Sistem khilafah beda dengan keduanya. Sebagian unsur dalam sistem khilafah ada unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan sebagian lain ada unsur teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan). Membenturkan demokrasi dengan khilafah, menurut saya, tidak tepat.


Sistem demokrasi ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, karena adanya kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir justru berkembang ke negara-negara yang menganut sistem demokrasi, seperti di Indonesia. Di AS, Inggris, dan sebagainya, HT lebih bebas bergerak dibanding dengan di Arab Saudi. Karena itu, demokrasi memang harus dinikmati, selama tidak bertentangan dengan Islam. Itulah yang dilakukan oleh berbagai gerakan Islam, dengan caranya masing-masing. Ada yang masuk sistem politik, ada yang di luar sistem politik,tetapi masuk sistem pendidikan, dan lain-lain. Tapi, mereka tetap hidup dan menikmati sistem demokrasi. Saat HTI menjadi Ormas, itu juga sedang memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem keormasan di Indonesia memang “demokratis”.

Karena itu, menolak semua unsur dalam demokrasi juga tidak tepat. Karena demokrasi adalah istilah asing yang harus dikaji secara kritis. Para ulama kita sudah banyak melakukan kajian terhadap demokrasi, mereka beda-beda pendapat dalam soal menyikapinya. tapi, semuanya menolak aspek “kedaulatan hukum” diserahkan kepada rakyat, sebab kedaulatan hukum merupakan wilayah Tuhan. kajian yang cukup bagus dilakukan oleh Prof Hasbi ash-Shiddiqy dalam buku Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.

Inilah yang kita sebut sebagai proses Islamisasi: menilai segala sesuatu istilah “asing” dengan parameter Islam. Contoh kajian yang bagus dilakukan oleh Ibn Taymiyah dalam menilai istilah-istilah dalam sufi, yang asing dalam Islam, seperti “kasyaf”, “fana”, dan sebagainya. Al-Ghazali juga contoh yang baik saat menilai istilah dan faham “falsafah”. Ada yang diterimanya, tetapi juga ada yang ditolaknya.

Jadi, menurut saya, kenajisan istilah “demokrasi” bukan “lidzatihi”, tetapi “lighairihi”, karena masih bisa “disamak”. Saat ini pun kita telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan maknanya, seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala”, dan lain-lain.

Masalah khilafah juga perlu didudukkan pada tempatnya. Khilafah adalah sistem politik Islam yang unik dan khas. Tentu, agama dan ideologi apa pun, memerlukan dukungan sistem politik untuk eksis atau berkembang. Tetapi, nasib dan eksistensi umat Islam tidak semata-mata bergantung pada khilafah. Kita dijajah Belanda selama ratusan tahun, Islam tetap eksis, dan bahkan, jarang sekali ditemukan kasus pemurtadan umat Islam. Dalam sejarah, khilafah juga pernah menjadi masalah bahkan sumber kerusakan umat, ketika sang khalifah zalim. Dalam sistem khilafah, penguasa/khalifah memiliki otoritas yang sangat besar. Sistem semacam ini memiliki keuntungan: cepat baik jika khalifahnya baik, dan cepat rusak jika khalifahnya rusak. Ini berbeda dengan sistem demokrasi yang membagi-bagi kekuasaan secara luas.

Jadi, ungkapan “masalah umat akan beres jika khilafah berdiri”, juga tidak selalu tepat. Yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Entah mengapa Rasulullah saw — setahu saya — tidak banyak (hampir tidak pernah?) mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam. meskipun negara pasti suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam, sebab berbagai aspek hukum dan kehidupan umat terkait dengan negara.

Tapi, saya tidak ketemu hadits: “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!” Tentu, bukan berarti negara tidak penting.
Terakhir, soal “cara mendirikan khilafah”. Saya sering terima SMS, bahwa khilafah adalah solusi persoalan umat. Beberapa kali acara, saya ditanya, mengapa saya tidak membicarakan khilafah sebagai solusi umat! Saya pernah sampaikan kepada pimpinan HTI, tahun 2010 lalu, tentang masalah ini.

Menurut saya, semangat mendirikan khilafah perlu dihargai, itu baik. Tetapi, perlu didudukkan pada tempatnya juga. Itu yang namanya adil. Jangan sampai, ada pemahaman, bahwa orang-orang yang rajin melafalkan kata khilafah dan rajin berdemo untuk menuntut khilafah merasa lebih baik daripada para dai kita yang berjuang di pelosok membentengi aqidah umat, meskipun mereka tidak pernah berdemo menuntut khilafah, atau bergabung dengan suatu kelompok yang menyatakan ingin mendirikan khilafah.

“Mendirikan khilafah” itu juga suatu diskusi tersendiri. Bagaimana caranya? AD Muhammadiyah menyatakan ingin mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya! Persis juga punya tujuan serupa. DDII juga sama. Mars MTQ ada ungkapan “Baldatun Thayyitabun wa Rabbun Ghafur”. Apa itu tidak identik dengan “khilafah”. AD/ART PKS juga ingin memenangkan Islam.

Walhasil, menurut saya, dimensi perjuangan Islam itu sangat luas. Semua kita yang ingin tegaknya Islam, perlu bekerjasama dan saling menghormati. Saya sebenarnya enggan menulis semacam ini, Karena saya sudah menyampaikan secara internal. tetapi, karena diskusi masalah semacam ini sudah terjadi berulang kali.

Masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi sendirian oleh PKS, HTI, NU, Muhammadiyah, INSISTS, dan lain-lain. Kewajiban diantara kita adalah melakukan taushiyah, bukan saling mencerca dan saling membenci. Saya merasa dan mengakui, kadang terlalu sulit untuk berjuang benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan berjuang untuk kelompok, tapi untuk kemenangan Islam dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam bi shawab.

Oleh: DR. Adian Husaini ( Kaprodi Pendidikan Islam Pasca sarjana Univ.Ibn Khaldun Bogor)

Sabtu, 05 Maret 2016

Sesungguhnya, Kepo adalah sebagian dari Ghibah

"Untuk apa berilmu, jika ilmu itu kau gunakan untuk merendahkan orang lain? Apa bedanya dirimu dengan iblis, yang merasa paling benar daripada Allah, iblis tanpa rasa bersalah memberikan pernyataan bahwa ia yang terbuat dari api tidak pantas bersujud pada adam yang terbuat dari tanah"


Suatu ketika saat membaca Alquran saya mendapati terjemah sebuah ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Lalu, saya searching hadist yang mendukung ayat tersebut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah

Jumhur ulama menyepakati bahwa Ghibah dijatuhi hukuman haram. Haram pastilah dosa dan dosa bisa menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Nah, sebelum ayat 12 di Q.S Al Hujurat ada ayat sebelumnya yakni ayat 11 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang (di olok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan-perempuan yang lain, karena boleh jadi perempuan yang (di olok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujurat :11)

Ada penyebutan lebih detail di ayat tersebut yakni "perempuan-perempuan". Benarlah penyebutannya dispesifikkan pada kaum perempuan, karena prasangka identik dengan perempuan, sehingga ghibah lebih banyak dikonsumsi oleh kaum perempuan. Ketika ber"ghibah" perempuan merasa bahwa logikanya adalah prasangka, sehingga tidak akan berhenti jika belum dikupas sampai habis. Itu pula kenapa tayangan infotainmen dimoderatori oleh perempuan. Sedih ya.

Semakin jelas hadist Rasulullah saw yang mengatakan bahwa nanti di neraka akan lebih banyak kaum perempuan. Selain karena dosa aurat, disebutkan pula dosa lidah. Ya lidah ghibah. Seperti disebutkan di atas bahwa ghibah berujung di neraka. Karena ghibah tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya rasa hasad, iri, ujub, sombong, atau bahkan informasi yang belum tentu valid plus bumbu-bumbu yang disebut juga dusta fitnah. 

Fenomena.
Saya berinteraksi dengan seorang wanita muslimah yang sejak 3 tahun lalu ia menyatakan berhijrah. Tidak tanggung-tanggung, ia menyebut nama jamaah tempat ia belajar dan hijrah. Rasanya wow sekali melihat perubahannya secara kasat mata baik saat bertemu langsung atau lewat media sosial di facebooknya, pathnya, bbmnya. Solihaaah sekali. Namun tiba-tiba saat kami dalam perjalanan bersama, dia menyeletuk "eh bukannya mau ghibah ya, tapi mbok ya dia itu nggak usah gitu-gitu amat di Path, apalagi di BBM nya rasanya pengen nge-delete." Seketika pernyataan itu ditimpali oleh teman saya lainnya "emang ada apa di Path, si itu ya?" dan ghibah pun mulai diselenggarakan. Dilain waktu, terulang lagi "eh kalian tau nggak? kemarin dia update apa di medsosnya, astagaaah, sumpah lebay banget sih, padahal ya waktu aku ketemu dia..." jeng jreeng.

Tiba-tiba kekagumanku turun tujuh puluh lima persen. Saya tahu seharusnya saya berhusnuzhan bahwa mungkin ia belum tahu hukumnya, atau syarat ketentuan berghibah. Namun, sayang beberapa waktu lalu dia habis posting tentang Larangan ghibah di medsosnya. Hiks. 

Belum selesai sampai di situ. Interaksi berikutnya, ia dengan teman sepengajiannya menggunjing lagi. Lagi-lagi disebabkan kebiasaannya "kepo" medsos sasarannya. Saya heran, hampir setiap hari ia posting dan berbicara tentang bid'ah dan sunnah Rasul, bahwa ahlus sunah itu seharusnya begini begitu, wow ya, tetapi sekarang saya justru kesal. Rupanya yang merasa kesal bukan hanya saya, teman-teman saya yang lain pun merasa tidak nyaman lagi. Kalau boleh diungkapkan, ia melakukan hal yang kontradiktif, meninggalkan yang ia sebut bid'ah (menurut jamaahnya) tetapi tidak meninggalkan ghibah yang jelas-jelas di Alquran disebutkan zalim. Sedih. Nasihat? Ia sadar, tapi kadang suka nggak nahan, gitu penjelasannya untuk membela diri. 

Saya berfikir, apakah ia merasa benar dengan amal-amal sunnahnya yang lebih banyak daripada amal-amal sunnah kami, sehingga lupa mengoreksi dirinya sendiri. Merasa bahwa teman-temannya yang belum berhijrah sebaik dia layak untuk dibicarakan kekurangannya, karena ia merasa lebih tahu. Bahwa ketika ia bergaul dengan ustad dan teman-teman yang sudah berhijrah, lalu ia dan teman-teman hijrahnya itu merasa pantas membicarakan aib orang lain? Jadi itu yang ia lakukan bersama teman-teman pengajiannya yang lebih berilmu daripada kami? Merasa sudah berilmu lalu merendahkan orang lain yang belum. Tidakkah ia tahu bahwa dosa ghibah memakan ilmu dan amal sholihnya. 

"Apabila seseorang mencelamu dengan aib yang ada pada dirimu. Janganlah kamu mencelanya dengan aib yang kamu tahu ada padanya. Niscaya pahalanya untukmu dan dosa untuk dia.
(HR Ibnu Mani')

Heran. Sungguh heran. Medsos yang selama ini ia gunakan untuk memanjangangkan dakwah islam, disaat yang bersamaan juga digunakan untuk kepo kabar orang lain. Apabila situasinya "menguntungkan" bisa jadi hasil dari update status, foto, dan lain sebagainya yang sering diposting oleh pertemanan di medsosnya akan digunakan sebagai bahan untuk "ghibah". Habis kepo pasti kepikiran yang aneh-aneh, meski sekelebat, pasti sudah muncul tuh di kepala dan hati untuk berprasangka. Istighfar. Jadi menurut saya, kepo adalah istilah lain dari berprasangka, dari prasangka inilah lahir ghibah. Kalau boleh agak aneh, terjemah Q.S. Al Hujurat diganti begini "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan kepo, karena sebagian dari kepo itu dosa."  jangan ya. He. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa seorang yang berilmu namun kepo lalu menghibah, seperti kayu bakar yang terlahap api, jika tidak segera dipadamkan habis menjadi abu, lalu terbang tanpa bekas oleh angin dan disiram sapuan hujan. Aih duhai wanita (ngaca). Menurut hemat saya, meski ilmu sudah tinggi, jangan meremehkan dosa kecil-kecil. Kalau kata Salim A.Fillah, adab dalam berilmu itu juga harus dipelajari sebelum ilmu itu sendiri. Bisa jadi, ia mengaku tidak ghibah, tetapi melegalkan dirinya untuk kepo (prasangka), lama-lama tidak sadar bahwa ia benar-benar sedang ghibah padahal ia tahu ilmu tentang ghibah.

Meskipun saya tidak lagi menaruh simpati pada teman saya yang suka ceramah tapi kepo gak abis-abis, saya tidak meninggalkan serta merta. Lebih baik saya menghindarinya sementara, daripada ketularan rajin ngaji eh rajin kepo dan buka aib. Nauzubillah. Banyak hikmah yang didapat. Mungkin ini cara Allah memberikan pelajaran, sungguh ini sebuah gambaran berharga untuk saya, bahwa bisa jadi, amal saya luntur karena dosa yang terkadang saya lalaikan, meskipun saya berusaha keras untuk selalu merasa najis pada ghibah, saya harus lebih teliti melihat dosa-dosa lain yang mungkin terselip lalai.

Tulisan ini, sefaham saya termasuk yang diperbolehkan dalam "berprasangka" yakni tidak menyebut nama dan tidak menyebarkan aib tersangkanya. Ibarat di TV sebut saja namanya mawar, suara disamarkan, dan wajah diburemkan. Cukup diambil pelajarannya sambil berhusnuzhon ia tidak melakukan hal itu lagi. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir pelaku sejenis, hehe, hanya orang atau "geng" tertentu. Maksudnya tidak semua wanita yang sudah berhijrah melakukan kekeliruan dan kesombongan seperti cerita saya di atas.

Astaghfirullah. Semoga Allah swt menjaga saya dari perbuatan yang tidak saya sukai, dan hanya akhir hayat saja yang bisa menjadi gambaran kehidupan dunia seseorang. Semoga saya dan yang membaca tulisan ini khusnul khotimah. Aamiin.

Allahu'alam bisowab.