HALAMANKU

Kamis, 20 Oktober 2016

Pertemuan Berharga

Aku mengikat janji denganmu bukan tanpa sengaja. Bukan karena terpaksa. Bukan tanpa rencana.

Sejak saat itu, aku tahu bahwa keputusan-keputusan dalam hidupku nanti ada hakmu mempertimbangkannya. Meski, aku tahu hak dan egoku bisa lebih besar porsinya.

Mulai hari itu, aku belajar memposisikan cita-citaku adalah bagian dari cita-citamu, bukan sebaliknya, bukan penghalang pula.

Karena kita sama-sama tahu, tujuan tertinggi dari semua cita-cita kita di dunia ini adalah berjumpa dengan Sang Penentu takdir pertemuan kita.

Ikhtiarku ikhtiar kita hanya bisa disejalankan olehNya dengan doa-doa. Aku hanya berprasangka bahwa doa-doa kita bertaut, baik sejak zaman lauh mahfuz diciptakan atau sejak Allah swt berkehendak yang terbaik dengan kun fa ya kun.

Di kedalaman hatiku ada keimanan bahwa pertemuan kita di dunia, aku kamu, aku kalian, hingga menjadi kita adalah jalan-jalan yang Allah swt tunjukkan agar pantas mendapat Ridho-Nya.


2016 Oktober

Kamis, 25 Agustus 2016

Vlog, Revolusi Mental, dan Negarawan

Salah satu tanda saya jarang menulis di blog dumay ini yaitu karena di kehidupan nyata saya sedang jarang membaca buku baru (baca : tidak menjadwalkan untuk melakukan hal tersebut). Disibukkan oleh hal yang entah bisa saya sebut prioritas atau tidak. Hingga pada titik, yaitu hari ini, bahwa, oke let's read new book, then write something in your blog Des. Dulu di sana banyak teman sebaya yang saling mengingatkan bahkan meminjamkan buku, di sini, mungkin buku resep masakan ya yang laris. So get your focus, do it yourself. 

Deng dong. Enggak. Itu tidak benar-benar saya lakukan. Hari ini saya hanya membaca beberapa lembar buku. Merapikan sudut proyek di ruang lain. Lalu melayangkan pandangan ke laptop dan "youtube.com". Pertengkaran batin, awas-awas adv nya lebih menarik lho, awas. Dan yak saya terjebak 5 menit menonton iklan sebuah parfum terkenal di TV. Iklan mini movie gitu. Eits, gak ada yang sia-sia dari takdir meski 5 menit, ambil hikmah! ambil hikmah! ~motto hidup yang lain ceritanya.

Hikmahnya, gak dapet. Walaupun lumayan keren, iklan dikemas mini movie biography gitu. Setelah penyesalan 5 menit karena menghabiskan kuota untuk nonton iklan seperti itu, mata dan hati saya tergelitik lagi untuk klik sebuah Vlog dari seorang Mahasiswi Muslim yang sedang kuliah di Jerman. Viewernya ratusan ribu. Di sebelah nya ada Vlog nya K*arina yang viewernya berjut-jut. Harusnya secara alami dan polos saya lebih tertarik dengan yang video viewernya banyak dong ya. Cukuplah, sudah lelah saya melihat derita bangsa. Klik. Akhirnya point menuju ke Mahasiswi Jerman. 

Saya tidak akan membahas seluruh isi Vlognya. Hanya ingin sekedar menulis hikmah yang saya ambil dari 1 atau 2 poin dari sebuah video yang berdurasi 19 menit tersebut. Ia dan temannya membandingkan kehidupan di Jerman dan di Indonesia. Detik itu saya hampir menyesal lagi dan langsung menutup video itu karena sudah pasti, bagai pohon cabai dan pohon beringin. Dihitung dari usia merdeka Jerman dengan Indonesia sudah cukup memperlihatkan pengalaman hidup bangsanya yang membuat lebih bijak mengatur kehidupan negara. Namun, hati masih kekeh nonton, entah. 

Kesahnya, mereka berdua membandingkan aktivitas lampu merah di Jerman dan Indonesia. Di Indonesia, kalau ada lampu merah di satu sisi, tapi di tiga sisi yang lain tidak ada kendaraan, yasudah lewat saja, tidak perlu menunggu lampu hijau baru jalan, toh tidak akan kecelakaan, karena jalan sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Di Jerman, rasanya kaku banget, mau nyelonong seperti itu, semacam ada rasa bersalah. Meski sama situasinya dan mudah untuk dilakukan, tetapi beda rasa, beda mental. 

Lalu mereka debat kecil tentang apakah nyelonong di situasi seperti (lampu merah) itu benar atau tidak benar. Kesimpulannya bahwa ada dua pilihan saat berada dalam kondisi tersebut, yakni :

1. Do the right's thing
2. Do the thing's right

Keduanya sama benar tetapi memiliki konsep atau makna yang berbeda.

1. Do the right thing = Lakukan yang benar
Jika menurutmu, anda, kamu, dirimu, yourself itu benar maka lakukanlan. Memang benar, bahwa persimpangan sepi, dan aman saja menyebrang meski lampu belum hijau. Hanya saja itu membentuk konsep diri kita. Kita jadi tidak terbiasa dengan poin kedua.

2. Do the thing right = Lakukan dengan benar (melakukan yang benar)
Jika aturan yang benar adalah lampu merah itu berhenti, apapun kondisinya, maka yang benar hanya seperti itu. 

Disiplin aturan itu simple ya. Mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan jika kita tidak terbiasa. Memang benar, hal itu bisa dilakukan di mana saja kapan saja. Tidak hanya di lampu merah, dan tidak harus di Jerman. Saya mengakui bahwa melakukan itu seorang diri atau hanya dengan beberapa orang itu ibarat Kapten Amerika  cuman ngajakin 4 temannya untuk melawan Iron Man dan sekutunya (termasuk Kementrian Pertahanan Amerika) di film Civil War. Halah. Intinya sebagian besar orang butuh banyak teman dan butuh lingkungan yang konsisten untuk menjaga kebenaran "revolusi mental"nya. 

Sebelum mengakhiri blog, mahasiswi dan Mahasiswa cerdas Indonesia ini, bercerita tentang apakah mereka harus balik ke Indonesia atau tidak setelah lulus. Harapan kebanyakan masyarakat Indonesia, mereka bisa kembali dan mengabdi untuk negara. Pertanyaan menusuknya adalah "Masa gak cinta sama Indonesia?". Problemnya bukan tentang cinta atau tidak, menurut mereka. Oh men, kalian yang koar-koar supaya kami kembali ke Indonesia, apa yang kalian lakukan di sana? Cek path instagram vlog. Touring ke gunung naik motor? Dance2 dan lain sebagainya? "Itu ngapain?"  Ketika kami balik, dan kami harus bekerja sama dengan orang-orang seperti itu?! Please, help. (bahasa penulis berbeda dengan Vlog, tapi maksudnya sama). Disitu keduanya berusaha membandingkan bahwa siang malam mereka belajar susah payah supaya bisa lulus mengharumkan nama Indonesia, eh di Indonesia?!. Sejujurnya si penulis blog ini merasa tertusuk juga karena tidak bisa menjawab bahwa ada "kami" lho yang peduli tapi sayang gak gaul di socmed dan belum seperti kalian. 

Tantangan luar biasa bagi banyak mahasiswa-mahasiswi yang kuliah di luar negeri ketika kembali ke Indonesia adalah menularkan pelajaran mental yang telah mereka dapatkan sekian tahun dari universitasnya, dari negara sana, ya di luar sana, kepada bangsa nya... yaa yang masih "seperti itu". Sebagian alumni katanya mengatakan seperti bunuh diri balik ke Indonesia jika tidak jelas "plan" nya. Jadi harus dipikirkan matang-matang. Yap, di poin itu saya setuju dan sudah cukup bukti. Benarlah kata Anis Matta dalam bukunya Mencari Pahlawan Indoneisa, bahwa tugas besar "revolusi mental" sesungguhnya hanya bisa diemban oleh seorang bermental negarawan. Saya tidak membayangkan apa yang dilakukan oleh B.J. Habibie, Anis Baswedan, dll sebelum famous. Juga dosen pembimbing saya dikampus yang tidak begitu famous di Indonesia tapi famous di hati saya, uhuk, gara-gara menghentikan kuliah setiap kali azan dan ngajak kelasnya untuk sholat berjamaah, satu-satunya dosen yang berani begitu setelah sekian lama saya kuliah dan hampir lulus. Masih banyak lagi mereka yang tak disebut-sebut media karena tak cukup menaikkan rating. 

Salut kepada Mahasiswi asal Indonesia yang sedang berjuang di Jerman bersama temannya dan masih menyempatkan untuk bikin sebuah video jujur dan menginspirasi itu.  Video polos tanpa efek editing dan sutradara berbayar, tetapi jauh lebih bermakna, tidak seperti iklan parfum mewah sebelumnya. He.

(Foto : Aktifitas menghafal hadist di sebuah pesantren yang didirikan oleh Mahasiswa lulusan luar Negeri "juga" dari lahan wakaf kosong hingga menjadi indah seperti ini)


Well, di dalam atau pun di luar negeri. Di kota besar atau pun di kota kecil, Pesan Ibu Negara Impian saya  : Fokus! ON MISSION! Semoga yang mentalnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetap terjaga a.k.a istiqomah. Aamiin. 

Allahu'alam bisowab.

#nulisbloguntukdirisendiridanyangterjebakdisini 
#listbukuyangbarudatang
#eksekusi

Jumat, 22 Juli 2016

Generasi Pewaris Dendam

"Kakiku gontai, berjalan dari kos ke sekolah sejauh 2 kilometer. Motor masuk bengkel. Semalam kecelakaan saat perjalanan dari Klaten menuju Jogja, demi mendapatkan barang-barang yang diminta oleh panitia MOS, jika tidak tersedia, saya pasti kena marah lagi seperti hari pertama, oh Allah, semoga tidak ada lagi yang seperti ini ke depan. Aku bisa saja kuat, tapi sebenarnya buat apa mereka membentak-bentak hingga urat leher mau putus, tegas kan tidak harus marah, memang mereka siapa." kata saya dalam hati. Kisah sedih beberapa tahun lalu menjalani MOS SMA N 2 Yogyakarta.

***

Dulu, beberapa tahun sebelum kebijakan Menteri Anis Baswedan, SMA saya pernah melakukan hal yang mirip. No plonco. Hati saya merasa senang mendengarnya, entah kenapa, bagi saya pribadi plonco dan marah berlebihan itu tidak berkelas. Ketika mendengar kebijakan sekolah yang jadi "lembek" banget sama siswa baru, angkatan kami yang tahun lalu masih diplonco otomatis tidak terima. Eh kecuali saya ya. Di belakang guru dengan jujur teman-teman saya uring-uringan "gak bisa gitu dong, masa' kita dulu digintuin, mereka enggak!" lalu ketika melihat adik kelas yang pingsan karena  kepanasan upacara "nah kan, gitu aja pingsan, kita dulu dong keliling lapangan siang bolong!" gak tau aja temen sebelah saya ada yang pingsan, temen mereka juga.  Tetapi rasa tidak adil yang terbungkus dengan kalimat "sebenarnya kita cuma pengen tegas ke adik-adik Pak Bu Guru supaya mereka kuat mentalnya, disiplin, nggak manja." hanyalah sebait ungkapan dendam. Kalau angkatan kita dituduh angkatan pendendam juga tidak mau, gengsi dong, cap jelek gitu. Saya tetap jadi panitia tahun itu. Jadi SENAT, ini posisi gue banget, karena gak perlu marah berlebihan.

Ya memang ada benarnya sih, saya pribadi merasakan lebih mandiri sesaat setelah mos, tahun lalu. Namun, ketika saya tidak melihat keteladanan dari kakak kelas saya yang bentak-bentak aneh ketika mos tapi ngawur waktu sekolah, ah memang benar. Akhirnya saya harus mengakui, bahwa MOS plonco yang panitianya beranggotakan korban MOS angakatan sebelumnya adalah sebuah sistem pewarisan dendam ke angkatan berikutnya.

Puluhan tahun lebih tidak pernah ada kebijakan nasional yang fokus tentang pembentukan karakter siswa di sekolah. Kebijakan penting yang dimulai dari hari pertama mereka masuk sekolah. Selama ini dengan MOS sistem plonco, hari pertama sekolah dan akan dikenang hingga kelas 3, hampir lulus, yakni bahwa dulu dia pernah dibentak oleh kakak kelasnya. Coba tanyakan pada mereka diantara panitia MOS adakah yang mengajarkan mereka bikin career planing, mencari bakat dan potensi lalu berkolaborasi dengan siswa lain, jawabannya bisa jadi enggak ada. Karena tidak menangis itu tidak asik bagi MOS plonco. Bahkan mampu menahan penderitaan dan kekecewaan itu adalah latihan mental bagi peserta. Rasa itu lalu tertahan dan siap dilampiaskan ke adik kelasnya setahun mendatang. Ada satu hal lagi, kadang-kadang panitia MOS plonco harus latihan drama dulu dan menyiapkan skenario supaya bisa marah dengan elegan di depan adik kelasnya. Habis marah di depan adik kelas, di belakang layar ketawa-ketawa dengan drama yang mereka buat sendiri, dan juga mengejek raut wajah takut adik kelasnya. Demi apa. Jadi, mental apa sih yang ingin dibangun sebenarnya, kalau boleh jujur? Pendendam dan Bermuka Dua. Sedih deh.

Saya pribadi tidak bisa memprosentasekan dan belum membaca penelitian tentang korelasi Pelaksanaan MOS dengan plonco terhadap kemandirian siswa di sekolah. Tetapi sebaliknya bukti nyata negara-negara maju hasil belajar bertahun lalu bahwa, pengenalan sekolah tidak perlu pakai plonco justru menghasilkan sumber daya manusia yang bermanfaat bagi negaranya. Kita, Indonesia, negara berkembang ya, wajar masih gonta-ganti kebijakan.


But I'am feeling happy, akhirnya, tahun ini sebagian besar sekolah melaksanakan MOS mengikuti kebijakan Pak Anis. Lebih haru lagi, hari pertama sekolah wajib diantar orang tua. Berbagai media memberitakan dengan begitu "so sweet"nya. Entah, saya tidak ingin memperhitungkan sebagian kecil lainnya. Cukuplah satu perubahan ini semoga memiliki dampak yang berbeda. Merubah generasi pendendam menjadi generasi kolaborasi. Generasi yang dibutuhkan Indonesia dimasa datang.

***
Sekelebat saya berfikir tentang bapak Menteri. Beliau dulu juga sekolah di SMA yang sama dengan SMA saya di Jogja. Apakah beliau juga merasakan penderitaan yang sama seperti yang saya rasakan ketika MOS? Haha. I'm still his fans, karena sama almamaternya #pentinggakpenting.

Sejauh ini, setelah saya bandingkan dengan SMA lain, SMA saya masih agak lebih mending. Medium lah ploco-annya. Tetapi kebijakan ini harus tetap berjalan, no plonco. Supaya generasi Indonesia berikutnya memahami makna disiplin, kuat mental, dan saling membantu muncul atas kesadaran diri sendiri, bukan karena takut dimarahin kakak kelas. Nah lho, jadi syirik kan lebih takut sama marahnya kakak kelas dibanding marahnya Allah swt. Ckck.


#sudahsebulanlebihtidakmenulis

Rabu, 04 Mei 2016

Waspadai Amal Kita

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق ” إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة

Dari Abu ‘Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda, – dan beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan – “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 hal: rezeki, ajal, amal dan celaka/bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Ilah selain-Nya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja, kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Bad’ul Khalq)

***

Hadits ini sekilas membuat was-was. Aku yang mana? Seperti itu rasanya. Apakah aku orang yang banyak amal solih tapi berakhir neraka atau banyak maksiat tetapi berakhir surga. Kadang-kadang terasa tidak adil, bagaimana mungkin orang yg banyak amalnya bisa masuk neraka, lalu yang banyak dosanya akan masuk surga. Semua sudah ditetapkan oleh Allah, lalu aku bisa apa, betapa tidak adilnya Allah. 

Nahlho, ini kalau ilmu tafsir otodidak, cari-cari sendiri, mikir-mikir sendiri ya bakalan nyeleneh begitu. Itulah mengapa Ibnu Abaz rela bejalan ribuan kilo meter demi belajar sebuah ayat atau hadist. Biar ilmunya bener bener "bener". Lebih dalam, hadist tersebut sebenarnya membuat kita senantiasa waspada terhadap diri kita sendiri. [cekidot : link] Pun agar senantiada waspada terhadap bisikan syaitan. Syaitan yang sejak diusir oleh Allah swt dari surga, mendeklarasikan dirinya sebagai musuh manusia. 

Sangat mungkin amal-amal solih yang kita lakukan menjadi target syaitan untuk menjatuhkan kita. Dibisikin ujub, sombong, bahwa amal solih itu bisa kita lakukan karena kita yang mau, kita yang berusaha. Menafikkan peran Allah bahwa Ia yang mempermudah amalan-amalan kita. Rasa itu mungkin membuat kita tidak sadar sedang mencuri selendang Allah (yakni sombong). Jelas hukumnya ya. Dulu syaitan asik-asik di surga tetapi karena "sok tahu" lalu membangkang perintah Allah, jadilah diusir. Sudah diusir, ngancem lagi. Ini makhluk, bener-bener kebangetan kan ya. Jadi kita kudu waspada terhadap amalan apa pun yang kita lakukan. Sehingga, pastikan dalam doa-doa kita, agar sifat sombong dicabut dari dalam jiwa kita.

Allah pemegang akhir kehidupan kita. Surga atau Neraka cuma Allah yang tahu. Ada bocoran bahwa amal-amal kita ini punya saksi. Sebagaimana dijelaskan di Q.S Fushilat 19-23 (baca sendiri ya)
dan QS. ath-Thariq: 9-10 :
Rahasia-rahasia akan di-ungkap dan tidak satu pun orang yang akan bisa menutup sesuatu atau mencari pertolongan dari orang lain. 


Siapa yang bersaksi dan mengungkap? mulai dari tubuh kita sendiri, benda-benda yang kita gunakan untuk beramal, binatang-binatang tumbuhan disekitar, keluarga, medsos, teman, juga musuh, bahkan dipersaksikan pula oleh malaikat ghaib tanpa lalai yang tidak pernah kita lihat. Di sini Allah swt kasih "kode" pada kita bahwa Allah Maha Menepati Janji. Contohnya : Allah memberi kesempatan kita menuntut ilmu. Kita bangun tidur sampai ke tempat ilmu itu, entah berapa banyak saksi yang Allah sediakan untuk kita? Setelah berilmu kita beramal, entah berapa banyak saksi yang Allah adakan untuk kita? Setelah beramal kita bersungguh-sungguh bahkan tergerak untuk mencari teman untuk beramal solih juga. Sholat jamaah kan gak bisa sendiri. Entah berapa banyak pahala yang mengalir untuk kita saat ia yang Allah izinkan mengikuti ajakan kita sedang beramal lalu dipersaksikan oleh bumi dan seisinya. Sehingga pastikan dalam melewati sisa usia kita, kita bersama dengan orang-orang yang senantiasa mengamalkan Surah Al Ashr, yakni nasihat kepada kebaikan dan kesabaran, agar selalu ingat bahwa dunia ini sementara akhirat yang abadi.

Semoga kewaspadaan kita dalam berdoa dan beramal, dapat menjadi benteng penghalang syaitan merusak niat dan pahala-pahala dari amal yang telah kita lakukan, dan semoga Allah berkenan memperbanyak saksi-saksi amal kita, saksi yang menjadi penolong kita kelak di akhirat sebagaimana yang Allah janjikan kepada kita. Saksi Malaikat, Saksi Nabisaw, Saksi Alquran.

Andai ilmu tentang janji-janji Allah ini terhalang sampainya pada diri ini, entah apa yang akan terjadi. Rasa syukur tak terbalas beriring istighfar atas lalai diri. 


Selasa, 03 Mei 2016

Hati yang Hiruk Pikuk

Ikhlas itu 
seperti engkau berjalan di pantai, 
berbekas jejak kakimu di pasirnya, 
lalu kau biarkan ombak menyapu jejakmu.

Ikhlas itu 
seperti engkau berlari di padang pasir, 
berbekas pijak langkahmu, 
lalu kau tak mencari-cari lagi tapak kaki yang terhapus angin.

Jerih bekas perjuanganmu mungkin akan hilang tak terkenang manusia, 
tetapi tiadalah luput sedetik pun sang Malaikat 
menghitung pahala pada setiap langkah-langkah itu. 

Ikhlas itu 
seperti air bening, 
yang rela bercampur dengan sirup, teh, kopi, jamu, 
bahkan ramuan obat terpahit, lalu itu lebih bermanfaat bagi orang lain, 
namun tahukah, 
bahwa air bening meski tak berwarna, 
tak pernah mengundang bosan lagi penyakit.

Tak utuh 
kita mendapati kisah jejak perjuangan hati-hati yang ikhlas itu,  
sebagian besar tersapu zaman dan angan, 
lalu sebagian diizinkan membekas 
menjadi hikmah pada hati-hati yang bening. 
Hati yang bening 
tidak menolak rasa manis dan pahitnya 
perjalanan.

Hingga mungkin, 
estafet perjuangan itu hanya bisa dilanjutkan 
oleh mereka yang tak merasa bening, suci lagi berjasa. 

Ikhlas itu 
tergenggam erat oleh Sang Pemilik, 
yang Ia lepaskan pada mereka yang terpilih 
pada waktu-waktu yang Ia kehendaki. 
Siapakah yang lebih mengetahui di antara kita?





"Membeningkan hati yang pikuk dengan hiruk."
Bontang, April 2016



Selasa, 15 Maret 2016

Abdurrahman bin Auf, Cendol, dan Modal Dengkul

Abdurahman bin Auf. Seorang sahabat Nabi saw yang ketika berinfak maka nilai infaknya jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, bisa untuk memborong es cendol se Kalimantan Timur sekaligus gerobak dan abang penjualnya. Itu pun masih belum habis. Kalau beliau infak lagi keesokan harinya mungkin pulau Kalimantan bisa jadi lautan cendol.




Apa hubungan Abdurrahman dan Cendol? Kita bayangkan cendol ini bersantan putih, bercampur nangka kuning dan cincau hitam. Cendol putih, hitam, kuning. Jika cendol adalah target konsumen ideologis kita, maka menuntut infak adalah sesuatu yang niscaya selain menuntut ilmu. Kita memahami bahwa Abdurahman bin Auf adalah seorang pedagang sukses Madinah di jamannya. Kita semua juga tahu bahwa beliau pernah ditawari rumah juga istri namun ia memilih untuk jalan ke pasar. Andai boleh diumpamakan di jaman ini, ia adalah seorang imigran yang ditawari jadi pegawai perusahaan bonafit dengan gaji mentereng dan mudah memilih calon istri, tetapi ia memilih jadi pengusaha. Lalu, kemudian apa yang terjadi ketika pilihan itu dilakukan, mari kita baca kembali sirah seorang Abdurrahman bin Auf, tentu kita akan tersayat oleh kesuksesannya, kedermawanannya, serta kezuhudanya.

Faiza azamta fatawakkal alallah. Setelah memutuskan sesuatu maka serahkan semua kepada Allah swt. Kira-kira begitu yang terjadi dengan Abdurahman. Manusia mana yang tidak tergiur dengan fasilitas gratis? Bukankah itu takdir Allah swt pula. Tentulah ada dilema yang dialami oleh Abdurahman, hanya saja tidak segalau manusia jaman sekarang sampai-sampai susah move on. Ia bersegera memutuskan untuk menolak fasilitas tersebut, dan bersegera pula ke pasar untuk survei. Keputusan bulat dan biarlah Allah yang memberi inspirasi dan menyiapkan berkah rizkinya. 

Andai itu bukan Abdurahman bin Auf, Allah mungkin akan mengisahkan nama sahabat yang lain. Tetapi betapa indah skenario Allah, memantapkan hati Abdurahman untuk jadi teladan bagi kita. Terutama untuk para peniat bisnis yang sering berkeluh tentang tidak punya modal, sehingga niatnya tinggalah niat. Satu hikmah tercatat, tentang bersegera dan tawakal. Jika ingin berbisnis segeralah memutuskan dan terjun ke medan pasar. Modal, tak harus uang, awali dengan niat yang lurus dan tulus, itu adalah modal yang tak nampak namun utama adanya.

Hikmah kedua adalah taktik dagang Abdurahman. Diceritakan bahwa beliau memulai usahanya dengan menawarkan diri menjadi salesman sebuah dealer unta. Uniknya beliau membeli unta dari dealer resmi dengan harga 100 lalu dibawa ke suatu tempat untuk dijual dengan harga yang sama, yakni 100. Setiap harinya beliau berhasil menjual 100 ekor unta. Luar biasa bukan? Tetapi kalau dipikir darimana untungnya? Beli harga modal 100 dijual dengan harga 100 pula. Meski ia menjual 100.000 unta pun, bisa dipastikan tidak akan ada untungnya, kecuali lelah. Di sini kita tidak bicara tentang ikhlas dalam membantu orang, konteksnya kita sedang berbicara tentang bisnis. Bukanlah bisnis kalau tidak ada keuntungan (berkah). Jadi, darimana sumber uang infak Abdurahman bin Auf? Jawabannya sederhana. Seorang pembeli unta tentu tidak bisa menggiring unta tanpa tali, atau menunggangi unta tanpa pelana. Maka harga 100 itu adalah harga untanya saja, sementara tali dan pelana unta menjadi komoditi Abdurahman mendapatkan tambahan penghasilan. Firasat sang sahabat melaju cepat. Jika seorang membeli unta, kemungkinan untuk melakukan pembelian ulang unta adalah setelah unta yang sebelumnya mati atau sakit parah sehingga unta tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Bisa bertahun-tahun. Tetapi tali dan pelana bisa saja rusak dalam hitungan bulan. Nah, inilah kuncinya. Datang darimana ide kreatif ini? Tentunya dari rasa syukur terhadap modal sekecil apapun yang dipunyai pun diiringi kerja keras serta ketawakallan pada Allah swt.

Indonesia pernah menyebut nama Bob Sadino sebagai pengusaha nomer satu di negeri ini. Berkisah seorang laki-laki yang berniat untuk memulai bisnis lalu mengeluh kepada Bob. "Saya tidak punya modal, bagaimana ini?" Lalu Bob bertanya balik "Oke, saya akan kasih modal. Saya akan membeli dengkulmu senilai 500 juta. Mau?" Serta merta lelaki ini menolak karena tidak mungkin lelaki itu memotong dengkulnya untuk diserahkan pada Bob. "Kalau begitu, kamu sudah punya modal 1 milyar" balas Bob datar. Tak berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Abdullah Gymnastiar membangun peradaban Daarut Tauhid, yakni modal syukur. Mensyukuri dengkul, mengsyukuri lidah, mata, kepala, dan tubuh yang sehat.

Bukanlah ketiadaan modal yang membuat kita tidak berani memulai bisnis, melainkan kita takut jika Allah swt sebagai tempat bergantung tidak akan membantu kalau kita gagal dalam berbisnis. Betapa buruknya prasangka kita. Padahal Allah swt lah yang paling bahagia ketika dimintai hamba-hambanya yang solih. Atau jangan-jangan bukan Allah swt yang menjadi alasan kita berbisnis atau tempat satu-satunya meminta pertolongan? 

Istighfar. Perbaiki niat dan ikhtiar. Husnuzan dan berdoa semoga Allah swt menjadikan kita manusia sebaik manfaat, atau minimal menjadi penyalur rejeki manusia lain. Yes, being a boss in your own business.





Tulisan ini terinspirasi dari kelas enterpreneur Fitra Jaya Saleh (owner : raihanshop.com)
Samarinda, Maret 2016.

Senin, 07 Maret 2016

Khilafah dan Demokrasi

Sebuah literasi yang membuka pikiran dan hati, anti fanatisme golongan, dan sebuah perenungan. :)


Khilafah dan Demokrasi


SEBENARNYA, masalah demokrasi bisa dibicarakan dengan lebih ilmiah. Istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”. Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus “teokrasi”. Sistem khilafah beda dengan keduanya. Sebagian unsur dalam sistem khilafah ada unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan sebagian lain ada unsur teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan). Membenturkan demokrasi dengan khilafah, menurut saya, tidak tepat.


Sistem demokrasi ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, karena adanya kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir justru berkembang ke negara-negara yang menganut sistem demokrasi, seperti di Indonesia. Di AS, Inggris, dan sebagainya, HT lebih bebas bergerak dibanding dengan di Arab Saudi. Karena itu, demokrasi memang harus dinikmati, selama tidak bertentangan dengan Islam. Itulah yang dilakukan oleh berbagai gerakan Islam, dengan caranya masing-masing. Ada yang masuk sistem politik, ada yang di luar sistem politik,tetapi masuk sistem pendidikan, dan lain-lain. Tapi, mereka tetap hidup dan menikmati sistem demokrasi. Saat HTI menjadi Ormas, itu juga sedang memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem keormasan di Indonesia memang “demokratis”.

Karena itu, menolak semua unsur dalam demokrasi juga tidak tepat. Karena demokrasi adalah istilah asing yang harus dikaji secara kritis. Para ulama kita sudah banyak melakukan kajian terhadap demokrasi, mereka beda-beda pendapat dalam soal menyikapinya. tapi, semuanya menolak aspek “kedaulatan hukum” diserahkan kepada rakyat, sebab kedaulatan hukum merupakan wilayah Tuhan. kajian yang cukup bagus dilakukan oleh Prof Hasbi ash-Shiddiqy dalam buku Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.

Inilah yang kita sebut sebagai proses Islamisasi: menilai segala sesuatu istilah “asing” dengan parameter Islam. Contoh kajian yang bagus dilakukan oleh Ibn Taymiyah dalam menilai istilah-istilah dalam sufi, yang asing dalam Islam, seperti “kasyaf”, “fana”, dan sebagainya. Al-Ghazali juga contoh yang baik saat menilai istilah dan faham “falsafah”. Ada yang diterimanya, tetapi juga ada yang ditolaknya.

Jadi, menurut saya, kenajisan istilah “demokrasi” bukan “lidzatihi”, tetapi “lighairihi”, karena masih bisa “disamak”. Saat ini pun kita telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan maknanya, seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala”, dan lain-lain.

Masalah khilafah juga perlu didudukkan pada tempatnya. Khilafah adalah sistem politik Islam yang unik dan khas. Tentu, agama dan ideologi apa pun, memerlukan dukungan sistem politik untuk eksis atau berkembang. Tetapi, nasib dan eksistensi umat Islam tidak semata-mata bergantung pada khilafah. Kita dijajah Belanda selama ratusan tahun, Islam tetap eksis, dan bahkan, jarang sekali ditemukan kasus pemurtadan umat Islam. Dalam sejarah, khilafah juga pernah menjadi masalah bahkan sumber kerusakan umat, ketika sang khalifah zalim. Dalam sistem khilafah, penguasa/khalifah memiliki otoritas yang sangat besar. Sistem semacam ini memiliki keuntungan: cepat baik jika khalifahnya baik, dan cepat rusak jika khalifahnya rusak. Ini berbeda dengan sistem demokrasi yang membagi-bagi kekuasaan secara luas.

Jadi, ungkapan “masalah umat akan beres jika khilafah berdiri”, juga tidak selalu tepat. Yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Entah mengapa Rasulullah saw — setahu saya — tidak banyak (hampir tidak pernah?) mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam. meskipun negara pasti suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam, sebab berbagai aspek hukum dan kehidupan umat terkait dengan negara.

Tapi, saya tidak ketemu hadits: “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!” Tentu, bukan berarti negara tidak penting.
Terakhir, soal “cara mendirikan khilafah”. Saya sering terima SMS, bahwa khilafah adalah solusi persoalan umat. Beberapa kali acara, saya ditanya, mengapa saya tidak membicarakan khilafah sebagai solusi umat! Saya pernah sampaikan kepada pimpinan HTI, tahun 2010 lalu, tentang masalah ini.

Menurut saya, semangat mendirikan khilafah perlu dihargai, itu baik. Tetapi, perlu didudukkan pada tempatnya juga. Itu yang namanya adil. Jangan sampai, ada pemahaman, bahwa orang-orang yang rajin melafalkan kata khilafah dan rajin berdemo untuk menuntut khilafah merasa lebih baik daripada para dai kita yang berjuang di pelosok membentengi aqidah umat, meskipun mereka tidak pernah berdemo menuntut khilafah, atau bergabung dengan suatu kelompok yang menyatakan ingin mendirikan khilafah.

“Mendirikan khilafah” itu juga suatu diskusi tersendiri. Bagaimana caranya? AD Muhammadiyah menyatakan ingin mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya! Persis juga punya tujuan serupa. DDII juga sama. Mars MTQ ada ungkapan “Baldatun Thayyitabun wa Rabbun Ghafur”. Apa itu tidak identik dengan “khilafah”. AD/ART PKS juga ingin memenangkan Islam.

Walhasil, menurut saya, dimensi perjuangan Islam itu sangat luas. Semua kita yang ingin tegaknya Islam, perlu bekerjasama dan saling menghormati. Saya sebenarnya enggan menulis semacam ini, Karena saya sudah menyampaikan secara internal. tetapi, karena diskusi masalah semacam ini sudah terjadi berulang kali.

Masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi sendirian oleh PKS, HTI, NU, Muhammadiyah, INSISTS, dan lain-lain. Kewajiban diantara kita adalah melakukan taushiyah, bukan saling mencerca dan saling membenci. Saya merasa dan mengakui, kadang terlalu sulit untuk berjuang benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan berjuang untuk kelompok, tapi untuk kemenangan Islam dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam bi shawab.

Oleh: DR. Adian Husaini ( Kaprodi Pendidikan Islam Pasca sarjana Univ.Ibn Khaldun Bogor)

Sabtu, 05 Maret 2016

Sesungguhnya, Kepo adalah sebagian dari Ghibah

"Untuk apa berilmu, jika ilmu itu kau gunakan untuk merendahkan orang lain? Apa bedanya dirimu dengan iblis, yang merasa paling benar daripada Allah, iblis tanpa rasa bersalah memberikan pernyataan bahwa ia yang terbuat dari api tidak pantas bersujud pada adam yang terbuat dari tanah"


Suatu ketika saat membaca Alquran saya mendapati terjemah sebuah ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Lalu, saya searching hadist yang mendukung ayat tersebut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah

Jumhur ulama menyepakati bahwa Ghibah dijatuhi hukuman haram. Haram pastilah dosa dan dosa bisa menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Nah, sebelum ayat 12 di Q.S Al Hujurat ada ayat sebelumnya yakni ayat 11 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang (di olok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan-perempuan yang lain, karena boleh jadi perempuan yang (di olok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujurat :11)

Ada penyebutan lebih detail di ayat tersebut yakni "perempuan-perempuan". Benarlah penyebutannya dispesifikkan pada kaum perempuan, karena prasangka identik dengan perempuan, sehingga ghibah lebih banyak dikonsumsi oleh kaum perempuan. Ketika ber"ghibah" perempuan merasa bahwa logikanya adalah prasangka, sehingga tidak akan berhenti jika belum dikupas sampai habis. Itu pula kenapa tayangan infotainmen dimoderatori oleh perempuan. Sedih ya.

Semakin jelas hadist Rasulullah saw yang mengatakan bahwa nanti di neraka akan lebih banyak kaum perempuan. Selain karena dosa aurat, disebutkan pula dosa lidah. Ya lidah ghibah. Seperti disebutkan di atas bahwa ghibah berujung di neraka. Karena ghibah tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya rasa hasad, iri, ujub, sombong, atau bahkan informasi yang belum tentu valid plus bumbu-bumbu yang disebut juga dusta fitnah. 

Fenomena.
Saya berinteraksi dengan seorang wanita muslimah yang sejak 3 tahun lalu ia menyatakan berhijrah. Tidak tanggung-tanggung, ia menyebut nama jamaah tempat ia belajar dan hijrah. Rasanya wow sekali melihat perubahannya secara kasat mata baik saat bertemu langsung atau lewat media sosial di facebooknya, pathnya, bbmnya. Solihaaah sekali. Namun tiba-tiba saat kami dalam perjalanan bersama, dia menyeletuk "eh bukannya mau ghibah ya, tapi mbok ya dia itu nggak usah gitu-gitu amat di Path, apalagi di BBM nya rasanya pengen nge-delete." Seketika pernyataan itu ditimpali oleh teman saya lainnya "emang ada apa di Path, si itu ya?" dan ghibah pun mulai diselenggarakan. Dilain waktu, terulang lagi "eh kalian tau nggak? kemarin dia update apa di medsosnya, astagaaah, sumpah lebay banget sih, padahal ya waktu aku ketemu dia..." jeng jreeng.

Tiba-tiba kekagumanku turun tujuh puluh lima persen. Saya tahu seharusnya saya berhusnuzhan bahwa mungkin ia belum tahu hukumnya, atau syarat ketentuan berghibah. Namun, sayang beberapa waktu lalu dia habis posting tentang Larangan ghibah di medsosnya. Hiks. 

Belum selesai sampai di situ. Interaksi berikutnya, ia dengan teman sepengajiannya menggunjing lagi. Lagi-lagi disebabkan kebiasaannya "kepo" medsos sasarannya. Saya heran, hampir setiap hari ia posting dan berbicara tentang bid'ah dan sunnah Rasul, bahwa ahlus sunah itu seharusnya begini begitu, wow ya, tetapi sekarang saya justru kesal. Rupanya yang merasa kesal bukan hanya saya, teman-teman saya yang lain pun merasa tidak nyaman lagi. Kalau boleh diungkapkan, ia melakukan hal yang kontradiktif, meninggalkan yang ia sebut bid'ah (menurut jamaahnya) tetapi tidak meninggalkan ghibah yang jelas-jelas di Alquran disebutkan zalim. Sedih. Nasihat? Ia sadar, tapi kadang suka nggak nahan, gitu penjelasannya untuk membela diri. 

Saya berfikir, apakah ia merasa benar dengan amal-amal sunnahnya yang lebih banyak daripada amal-amal sunnah kami, sehingga lupa mengoreksi dirinya sendiri. Merasa bahwa teman-temannya yang belum berhijrah sebaik dia layak untuk dibicarakan kekurangannya, karena ia merasa lebih tahu. Bahwa ketika ia bergaul dengan ustad dan teman-teman yang sudah berhijrah, lalu ia dan teman-teman hijrahnya itu merasa pantas membicarakan aib orang lain? Jadi itu yang ia lakukan bersama teman-teman pengajiannya yang lebih berilmu daripada kami? Merasa sudah berilmu lalu merendahkan orang lain yang belum. Tidakkah ia tahu bahwa dosa ghibah memakan ilmu dan amal sholihnya. 

"Apabila seseorang mencelamu dengan aib yang ada pada dirimu. Janganlah kamu mencelanya dengan aib yang kamu tahu ada padanya. Niscaya pahalanya untukmu dan dosa untuk dia.
(HR Ibnu Mani')

Heran. Sungguh heran. Medsos yang selama ini ia gunakan untuk memanjangangkan dakwah islam, disaat yang bersamaan juga digunakan untuk kepo kabar orang lain. Apabila situasinya "menguntungkan" bisa jadi hasil dari update status, foto, dan lain sebagainya yang sering diposting oleh pertemanan di medsosnya akan digunakan sebagai bahan untuk "ghibah". Habis kepo pasti kepikiran yang aneh-aneh, meski sekelebat, pasti sudah muncul tuh di kepala dan hati untuk berprasangka. Istighfar. Jadi menurut saya, kepo adalah istilah lain dari berprasangka, dari prasangka inilah lahir ghibah. Kalau boleh agak aneh, terjemah Q.S. Al Hujurat diganti begini "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan kepo, karena sebagian dari kepo itu dosa."  jangan ya. He. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa seorang yang berilmu namun kepo lalu menghibah, seperti kayu bakar yang terlahap api, jika tidak segera dipadamkan habis menjadi abu, lalu terbang tanpa bekas oleh angin dan disiram sapuan hujan. Aih duhai wanita (ngaca). Menurut hemat saya, meski ilmu sudah tinggi, jangan meremehkan dosa kecil-kecil. Kalau kata Salim A.Fillah, adab dalam berilmu itu juga harus dipelajari sebelum ilmu itu sendiri. Bisa jadi, ia mengaku tidak ghibah, tetapi melegalkan dirinya untuk kepo (prasangka), lama-lama tidak sadar bahwa ia benar-benar sedang ghibah padahal ia tahu ilmu tentang ghibah.

Meskipun saya tidak lagi menaruh simpati pada teman saya yang suka ceramah tapi kepo gak abis-abis, saya tidak meninggalkan serta merta. Lebih baik saya menghindarinya sementara, daripada ketularan rajin ngaji eh rajin kepo dan buka aib. Nauzubillah. Banyak hikmah yang didapat. Mungkin ini cara Allah memberikan pelajaran, sungguh ini sebuah gambaran berharga untuk saya, bahwa bisa jadi, amal saya luntur karena dosa yang terkadang saya lalaikan, meskipun saya berusaha keras untuk selalu merasa najis pada ghibah, saya harus lebih teliti melihat dosa-dosa lain yang mungkin terselip lalai.

Tulisan ini, sefaham saya termasuk yang diperbolehkan dalam "berprasangka" yakni tidak menyebut nama dan tidak menyebarkan aib tersangkanya. Ibarat di TV sebut saja namanya mawar, suara disamarkan, dan wajah diburemkan. Cukup diambil pelajarannya sambil berhusnuzhon ia tidak melakukan hal itu lagi. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir pelaku sejenis, hehe, hanya orang atau "geng" tertentu. Maksudnya tidak semua wanita yang sudah berhijrah melakukan kekeliruan dan kesombongan seperti cerita saya di atas.

Astaghfirullah. Semoga Allah swt menjaga saya dari perbuatan yang tidak saya sukai, dan hanya akhir hayat saja yang bisa menjadi gambaran kehidupan dunia seseorang. Semoga saya dan yang membaca tulisan ini khusnul khotimah. Aamiin.

Allahu'alam bisowab.

Senin, 08 Februari 2016

LGBT di Indonesia itu Aneh

Masih booming nggak ya LGBT (Lesbian Gay Bisex Transgender)? Sejak kemarin-kemarin gatal rasanya ingin menulis tentang LGBT, apadaya tak cukup waktu karena ada agenda kejar setoran. Saya kira isu dan kasus LGBT ini juga pernah muncul pada tahun-tahun sebelumnya, dan mungkin di tahun mendatang akan ramai lagi dibicarakan, jadi saya tetep nulis saja lah, siapa tahu beneran akan muncul lagi kasus LGBT ini untuk menutupi kasus strategis lainnya. Asik.

Semasa kuliah di Psikologi, saya agak 'emoh' belajar Psikologi Abnormal. Mata kuliah ini membahas tentang aspek-aspek kejiwaan yang menyebabkan seseorang sakit jiwanya, dan karakteristik yang menjadi standar baku seseorang dikatakan tidak sehat psikologisnya. Semua itu terangkum dalam kamus DSM/PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Selama belajar, entah kenapa saya pribadi merasa kasus abnormalitas kejiwaan manusia ini lebay, sample penelitiannya pun lebih banyak dilakukan di populasi atau negara yang mayoritas bukan muslim. DSM/PPDGJ pun ceritanya telah direvisi beberapa kali, termasuk isu yang sensitif adalah hilangnya Penyakit LGBT dari buku panduan itu. Peneliti yang menetapkan kebijakan tersebut beranggapan bahwa lesbian merupakan naluri kejiwaan yang alami, namun masyarakatlah yang menganggapnya tabu. Seperti jika pada umumnya wanita suka bunga, tetapi ada beberapa wanita yang tidak suka bunga, lalu wanita yang tidak suka bunga ini dianggap tidak normal, padahal suka atau tidak suka pada bunga adalah selera. Sehingga normal atau tidak normal nya LGBT tergantung pada masyarakatnya. Jika Gay dianggap wajar oleh masyarakat maka itu tidak termasuk penyakit jiwa dong, sehingga tidak perlu disembuhkan. Oh ya?!

Aneh bin ajaib menurut saya, karena peneliti kelas dunia itu tidak mengungkap fakta-fakta klinis yang menjadi penyebab terjadinya LGBT. Seolah ia mengatakan bahwa LGBT itu normal, sedangkan masyarakat yang menolaklah yang tidak normal. Kita memahami bahwa kasus LGBT mayoritas terjadi di masyarakat atau negara yang meremehkan adat-istiadat, norma sosial dan hukum agama. Masyarakat yang jauh dari aturan kemanusiaan, biasanya penuh konflik. Sehingga saya beranggapan LGBT hanyalah satu dari kasus-kasus keabnormalan manusia lainnya. Umpama, di sebuah negara terdapat 20% LGBT, 20%phedofil, 25%psikopat, 25%schizophrenia, maka sisa 10% masyarakat yang tidak terjangkit penyakit tersebut lah yang dianggap tidak wajar/normal. Logikanya seorang pesakit tentu tidak akan peduli dengan pesakit lainnya, bahkan terkadang ia tidak menyadari bahwa dirinya sedang sakit dan harus disembuhkan. Contohnya, seorang psikopat yang "hobi"nya membunuh tidak peduli apakah yang dibunuh itu LGBT atau psikopat juga. So if you stand for LGBT, maybe you are saying to others that you are a part of people who are sick. Bener gak?!

Maka dari itu, jika LGBT terjadi di Indonesia, yang wajar adalah LGBT tidak normal. Seandainya gak bawa-bawa agama Islam nih soal LGBT, secara logika saja LGBT sudah aneh di masyarakat Indonesia yang berbudi luhur. Coba kita tanya pada leluhur kita, bagaimana mereka menikahkan anak-anaknya. Simbah buyut saya kalau mejodohkan anak-anaknya ya dengan lawan jenis. Pun sejak saya SD ketika belajar sejarah, tidak pernah saya temui di buku-buku sejarah, foto-foto atau kisah pahwalan dan pejuang bangsa ini yang memiliki pasangan sejenis. Kisah Datuk Maringgih misalnya, R.A. Kartini juga dinikahkan dengan laki-laki, kisah nyata romantis B.J. Habibie dan Ainun, dan lain-lain. Tidak pernah terpampang foto pahlawan Indonesia yang istrinya sama-sama laki-laki. Atau pejuang yang istri/suaminya dua, yang satu laki-laki yang satu perempuan. Nggak kan? ya tidak perlu dicari-cari juga nanti. Perlu diingat selalu, nggak ada pahlawan Indonesia yang ngondek. Horor nggak tuh?!. Dahulu para pejuang Indonesia gak sempet mikirin dia LGBT apa bukan, karena yang dia pikirkan adalah bagaimana supaya negara tercinta ini merdeka dan berjaya. Nih, ada artikel bagus tentang kaitan LGBT dan cinta Indonesia. Cekidot :  LINK ~negara Brazil sudah jadi korban, jaga Indonesia kita ya. Pemerintah jangan ikutan aneh bin rempong mensahkan UU Pernikahan Sesama Jenis, jelas maksa bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

Bagi para tim kampanye LGBT. Setiap kondisi kejiwaan yang tidak normal, hipotesisnya, pasti ada kasus traumatik yang terjadi sebelumnya. Fakta lapangan, saya pernah menemukan beberapa kasus LGBT. Peristiwa traumatik yang mereka rasakan sebelumnya kebanyakan adalah karena di PHP-in pacarnya, putus lalu baper, lebay, nggak bisa move on. Sekalinya bisa move on eh salah jalan. Adapula disebabkan konflik keluarga, atau korban kekerasan seksual sebelumnya. Salah satu dari kasus lesbi tersebut mengaku bisa sembuh kok. Asal dia dibekali konsep diri yang baik. Bukan malah dibiarkan gak sadar kalau itu bahaya buat masa depan korban LGBT.

Satu pesan dosen saya kala itu, bahwa setiap manusia memiliki 1% potensi menjadi abnormal atau sakit jiwa. Tetapi 1% itu akan tetap 1% jika kita tidak menumbuhkannya. Saya sepakat jika memang ada naluri menyukai sesama dalam diri manusia, tetapi cuma sebesar 1% tidak lebih dan tidak lebay. Ada 99% potensi yang terabaikan atau tertular, ketika 1% abnormal itu tidak dicegah pertumbuhannya. Ya semacam sakit kanker gitu deh. Kalau ada kampanye pencegahan kanker, kenapa gak bikin kampanye pencegahan LGBT aja yak. 

Itu saja kira-kira yang bisa saya tulis di blog ini. Kurang lebihnya untuk pelajaran diri sendiri dan untuk yang dijebloskan oleh Allah ke blog saya ini. He. 

Allahu'alam bisowab.

Minggu, 07 Februari 2016

Sejenak

Adakalanya kita dibiarkan melakukan kesalahan  tersebab dengan jalan itu kita bisa mengeruk hikmah lebih dalam dan mengambil jarak terdekat dengan Allah.


#sejenak
Kita membaca shirah Nabi saw, kita membaca shirah sahabiyah, lalu merasa terharu dan terbakar karena kisahnya. Tak jarang kita lalu berkoar-koar tentang khilafah, berkoar-koar tentang idealisme kemenangan islam. Semangat membuncah mengambil jalan cepat tanpa hikmah. Begitulah manusia yang fitrahnya bersifat isti'jal. Terburu-buru, bekalau-kalau jika ini tidak dilakukan maka akan begitu. Wajar. Sampai fitrah yang lain pun mengikuti yakni pelupa. Kadang ia lupa bahwa Nabi saw dan para sahabiyah adalah penghafal Alquran, tak putus tahajud, tak enggan sedekah. Terkadang kita mensejajarkan semangat membara kita dengan semangat yang sama dengan para sahabiyah. Padahal kita sadar hafalan kita begitu lemah, sedekahpun diselingi ragu. Mungkin hentakan dan takbir kita boleh jadi sama lantangnya dengan para sahabiyah dalam shirah, akan tetapi kita tidak bisa menyamakan detak jantung dan nadi mereka saat berteriak "khaibar ya yahud, jaisyu muhammad saufa yahud" . 

#sejenak
Saat mereka para sahabiyah melantangkan kalimat itu, telah terhadang di depan mereka ribuan musuh dengan senjata tombak, panah, pisau, dan beberapa langkah lagi siap dihunus syahid oleh senjata-senjata tajam itu. Kita? Kita berteriak di depan tugu berharap ia menjadi saksi aksi kita, sambil melirik lawan jenis yang terlihat kece, sambil update status, sambil selfie wefie, tersadar lalu istighfar. Kita tidak bisa benar-benar membayangkan bagaimana jika musuh berada di depan muka, mungkin tak sanggup rasanya mata ini berkelik apalagi merogoh hp.

#sejenak
Duhai, terkadang jika posisi kita sebagai pemimpin. Yakni sosok yang otak dan jiwanya seolah dituntut bisa menjadi teladan bagi jundi, sayangnya kita kadang keliru menafsirkan keteladanan itu. Kita terburu-buru menjustifikasi dan merasa petuah adalah solusi. "Bukan, jundimu yang ditakdirkan Allah berada di bawah arahanmu tidak sedang ingin mendengar kalimat-kalimat motivasimu, tidak sedang ingin disuguhi bacaan-bacaan pembakar jiwa, jika hal itu sudah berulang kali dilakukan tetapi ia masih tak sehebat motivasimu, buku-buku rekomendasimu, maka itu saatnya...."

#sejenak
Kita murajaah lagi motivasi dan niat kita, kita murajaah lagi kitab Alquran kita, kita murajaah lagi lembaran-lembaran buku "lawas" itu. Sadarilah bahwa Allah ingin mengatakan, "jangan aniyaya dirimu dengan tergesa-gesa, karena Aku punya rencana. Bukan karena kamu atau jundimu tidak bisa bekerja, tetapi Aku yang mengizinkan bagaimana kalian bekerja. Kalau ingin kau ubah rencana dan izin-Ku, agar menjadi rencana dan berkah untukmu maka mintalah kepada-Ku saja, kau tahu kan cara-cara yang Aku sukai? Mengeluhlah pada-Ku saja. Aku yang akan memutuskan, bukan jamaahmu atau bahkan musuhmu."

#sejenak
Kita lupa bahwa ketika Nabi saw hampir berputus asa menjelang badar, padahal Ia telah dijamin surga dan bersamanya adalah ratusan sahabat dengan Alquran di hatinya, beliau tetap merintih pada Allah.

#sejenak
Muhasabah diri. 

Allahu'alambisowab.