HALAMANKU

Kamis, 05 Januari 2017

Tipe-tipe Infakers

Menutup akhir tahun masehi 2016 menjelang 2017 Allah swt takdirkan banyak ujian menimpa kaum muslimin dunia. Mulai dari Rohingnya, Aleppo-Suriah, dan Indonesia sendiri, gempa Aceh, banjir Bima. Allah swt takdirkan pula hati ini masih tergerak bersama dengan orang-orang pilihanNya untuk mengalirkan bantuan dari tangan-tangan yang punya ke yang sedang tak punya. Hanya ini yang bisa saya lakukan, sedih sih, kadang-kadang berandai dan berdoa, suatu hari nanti saya bisa melakukan lebih dari ini. Lebih dari sekedar aksi, turun ke jalan, menggalang dana dari masyarakat di lampu merah, dari toko ke toko, dari pasar ke pasar, dari orang ke orang, lebih dari ini. Tetapi bukankah setiap kelebihan selalu harus dimulai dari seuatu yang apa adanya, dari diri sendiri, dari yang paling kecil, dan saat ini juga. Jangan sampai kita digoda setan, berandai bahwa sedekah atau amal pada masa berjaya nanti lebih banyak kuantitasnya dan hitungan balasan pahalanya pun berlipat, lalu membuat kita menunda amal hari ini, eh taunya besok wafat, eh nauzubillah. Kita harus selalu ingat bahwa pahala atau balasan amal adalah hak prerogratif Allah swt.

Judul di atas, agak “nyastra” gitu, padahal saya cuma ingin bercerita tentang kejadian-kejadian yang menurut saya unik selama penggalangan dana. Ketika kotak bertuliskan “Peduli ...” disodorkan, saya menemukan ada beberapa tipe orang yang menaruh sesuatu di dalam kotak itu. Di tulisan ini saya menyebutnya “sodaqoh-ers”.

Pertama, tipe “di saku ada berapa?”
Kita mungkin termasuk orang yang sering menyimpan uang di saku celana atau baju, sadar atau pun lupa. Kadang bagi yang lupa, begitu menemukan uang terselip di saku rasanya seperti menemukan harta karun. Nah, di jalan tipe sodaqoh-ers ada yang seperti itu pula, spontan melihat pasukan galang dana menghampirinya, dia rogoh sakunya, lalu harta karun itu serta merta di dimasukkan dalam “Kotak Peduli”. Kalau disaku kosong ya wassalam.


Kedua, tipe “bagi dua deh”
Jadi, karena merasa harta karunnya kebanyakan, sayang kalau dikasih semua, dalam hatinya mungkin terbesit “eh banyak juga gua nyimpen duit di saku”. Biasanya duit kalau di taruh disaku suka kelipet-lipet, kucel, dan kesangkut antara duit biru, hijau, merah, ab-abu, oren. Pihak penggalang dana harus menunggu lebih lama, karena sodaqoh-ers ini harus memilah-milah harta sakunya, barulah dimasukkan ke kotak peduli, setelah diseleksi warna duit mana mana yang paling ikhlas dilepaskan.

Ketiga, tipe “kembalian dong”
Fakta sejarah bro sis, saat saya menyodorkan kotak peduli, di dalam kotak itu baru tergeletak uang lima ribu rupiah sebatang kara. Lalu, ada juragan toko yang menyodorkan uang dua puluh ribu rupiah sambil menengok isi kotak sambil bertanya “ada kembalian 15.000?” belum sempat saya jawab si bapak sudah mengambil keputusan lain mengganti uang 20.000 menjadi 10.000. Lalu dengan lempeng dia mengatan “saya mau nyumbang lima ribu aja, ini saya kasih 10.000 kembalian 5.000 nya saya ambil ya”. Apadaya saya hanya bisa tersenyum, padahal dalam hati ngakak sambil miris, lalu dengan manis saya mengeluarkan kata-kata “terima kasih bapak, semoga Allah swt membalas.” 

Keempat, tipe “emangnya ada apa?”
Ada sebagian orang yang ketika disodorkan kotak dengan tulisan peduli langsung memberikan uangnya karena sudah baca medsos. Ada sebagian lagi yang harus wawancara dulu karena doi beneran terlalu sibuk sampai tidak sempat baca berita kekinian. “Memangnya ada apa?” tanya mereka. Kemudian dengan sabar penggalang dana menjelaskan tentang musibah yang menimpa saudara kita dan setelah itu ada yang langsung urun dana, ada pula yang berbekas komentar ala haters medsos “yaelah mba, boro-boro buat Aleppo buat sehari-hari aja masih kurang” oke fix senyumin aja walaupun dalam hati saya bilang “harusnya kita ceramahin sekalian keajaiban sedekah ala ust. Yusuf Mansur.” Hehe.

Kelima, tipe “ini dia yang dicari-cari”
Seorang anak usia belum baligh, meletakkan sekantong keresek dan berat ke dalam kotak peduli. Setelah kita buka, rupanya itu tabungannya yang terbungkus rapi, bersama ortunya sengaja ia tuliskan “untuk anak-anak Aleppo” di sisi luar tabung nya . Terharu nggak sih punya anak kayak gini?! duh moga-moga jadi anak solih/solihah yaa... Menurut saya dia sengaja mencari para penggalang dana untuk menyalurkan hasil tabungannya. Tidak hanya anak ini, beberapa sodaqoh-ers dewasa juga ada yang melakukannya, sehingga kadang kita tidak heran saat menghitung ada amplop isinya jut-jut-an. It means doi bukan sedekah dadakan, tetapi sudah direncanakan, di hari H sejak berangkat dari rumah doi nawaitu akan mencari-cari para penggalang dana dan kotak mana yang akan diisi.

Keenam, tipe “kasih tak sampai”
Terkadang saat di lampu merah, pihak pembawa kotak dan sodaqoh-ers tidak mengetahui secara pasti kapan lampu merah akan berganti menjadi lampu hijau. Di saat sodaqoh-ers di dalam mobilnya lagi ribet membuka dan memilah isi dompet, dan pembawa kotak was-was menanti didekatnya tiba-tiba lampu udah ijo aja, tak sempatlah keluar isi dompet, apadaya. Atau lain cerita, sodaqoh-ers dari kejauhan antrian lampu merah melambai-lambaikan tangannya hendak memberikan sesuatu, saat pembawa kotak berlari-lari dengan heroiknya menuju lambaian itu eh lampunya hijau. Apadaya. Tetapi yang so sweet adalah ketika si pembawa kotak sedang berdiri di pinggir sembari menanti lampu hijau berubah merah, ada sodaqoh-ers yang berlari-lari menuju kita dan menaruh hartanya di kotak yang kita jinjing, saat mata mengikuti doi kembali, rupanya ia di sebarang jalan memarkir kendaraannya demi bersedekah. Jadi sebenarnya, jodoh nggak kemana ya eh maksudnya kasih tak sampai itu tergantung niat juga ya.

Ketujuh, tipe “I don't care..., atau "I care, but...”
Sebagai penutup. Ada sebuah fakta sejarah lagi. Saya membandingkan temuan lapangan nih, boleh dong. Ada mobil mewah sedekah dua ribu, sejauh sepuluh meter ada tukang parkir juga sedekah dua ribu. Mata saya saat itu ditakdirkan melihat dengan jeli, si tukang parkir penghasilannya memang uang dua ribuan, dipilah-pilah isi kantongnya ya sinya memang dua ribu, si mobil mewah yang terdiri dari tiga orang dua anak satu ibu, ibunya mau sedekah lima puluh ribu tetapi tidak diperbolehkan oleh anaknya, karena anaknya sudah sedekah dua ribu dan ditambah lima ribu oleh anak lainnya, “sudah-sudah cukup segitu saja”. Saya tidak suuzon lho ya, hanya saja saya terharu dengan bapak tukang parkir yang oh wow, hatinya mewah, dan terharu dengan ibu yang mau ngasih duit biru tapi dicegah anaknya. 
Saya ingin mengatakan bahwa pasti ada orang-orang yang tidak peduli dengan bencana orang lain, karena disebabkan faktor stress dalam dirinya yang lebih besar dari faktor empatinya saat itu, ujung-ujungnya “I don’t care because nobody cares about me”. Tetapi ada pula tipe yang “yes, I care, but....” iya saya peduli tetapi penghasilan saya cuma segini, tetapi saya dipengaruhi dan dihalangai orang lain, dan tetapi yang lain. Setidaknya, semoga kita senantiasa digolongkan ke dalam orang-orang yang masih peduli meskipun kepedulian itu sebesar Zarah. Tidak lama dari peristiwa itu, saat kami berdiri menanti teman yang lainnya, ada seorang kakek yang menyuruh kami pindah tempat “berdiri di sana nah, yang dekat jalan masuk, banyak disitu orang lewat di sini sepi” kami beranjak sambil berterima kasih, karena mereka meski tak banyak memberi sedekah harta, tetapi hatinya masih peduli. Semoga Allah swt membalas kepedulian itu seperti Q.S. Al-Zalzalah : 7 . Aamiin.


Allahu'alam bisowab.

Hikmah jalanan. Januari 2017.

Senin, 02 Januari 2017

Tentang Waktu

Setiap kali ada pergantian tahun seperti sekarang, saya selalu membangunkan kembali kesadaran saya tentang waktu dan cara merasakannya. Cara setiap orang merasakan waktu berbeda karena "satuan waktu" yang mereka gunakan juga berbeda. Itu lahir dari falsafah hidup yang juga berbeda. Jika kita memaknai hidup sebagai pertanggungjawaban, maka waktu adalah masa kerja. Waktu adalah kehidupan itu sendiri.

Orang-orang beriman membagi waktu - seperti juga hidup – ke dalam waktu dunia dan waktu akhirat. Itu 2 sistem waktu yang sama sekali berbeda. Waktu dunia adalah waktu kerja. Waktu akhirat adalah waktu pertanggungjawaban dan pembalasan atas nilai waktu kerja di dunia. Waktu kerja di dunia mengharuskan kita memaknai setiap satuan waktu sebagai satuan kerja. 1 unit waktu harus sama dengan 1 unit amal. Persamaan itu, 1 unit waktu sama dengan 1 unit kerja, membuat hidup kita jadi padat sepadat-padatnya, nilai waktu terletak pd isinya, kerja!

Tidak ada hal yang paling tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam hidup orang beriman selain waktu luang. Itu hidup yang tidak terencana. Waktu luang lahir dari pikiran dan jiwa yang kosong, yang tidak punya daftar pekerjaan yang harus dieksekusi. Hidup mereka longgar tak bernas. Mereka yang punya daftar pekerjaan utk dieksekusi menempatkan waktu sebagai sumber daya tak tergantikan. Karena itu tidak boleh lewat tanpa nilai.

Efek waktu adalah akumulasi

Menyadari waktu adalah menyadari efeknya dan efek terpenting dari waktu adalah efek akumulasi. Sesuatu tidak terjadi seketika tapi bertahap. Akumulasi dari tindakan yang sama yang kita lakukan secara berulang2 akan menjadi karakter pada skala individu. Akumulasi dari karakter individu selanjutnya menjadi budaya dalam skala masyarakat. Akumulasi itu terjadi dalam rentang waktu tertentu. Akumulasi budaya dari berbagai kelompok masyarakat dalam rentang waktu tertentu itulah yang berkembang menjadi peradaban. Karena efek akumulasi sebuah peradaban tidak bisa bangkit seketika atau runtuh seketika. Ada faktor-faktor yang mempengaruhinya secara akumlatif.

Masyarakat bangkit melalui akumulasi kontribusi. Produktivitas individu-individu di dalamnya berupa karakter dan ide yang membentuk budaya mereka. Begitu juga keruntuhan sebuah masyarakat, itu akumulasi karakter dan ide destruktif individu-individunya yang membentuk budaya keruntuhannya.

Contoh lain adalah kesehatan. Kualitas kesehatan fisik dan mental kita di atas usia 40 tahun adalah akumulasi dari pola hidup sehari-hari kita. Sebagian besar penyakit yang kita alami di atas usia 40 tahun itu adalah akumulasi ketidakseimbangan pola hidup yang berlangsung lama. Begitu juga dengan struktur pengetahuan kita, itu adalah akumulasi ilmu yang kita peroleh sehari-hari melalui bacaan dan media belajar lain.

Usia membuat orang lebih arif karena ia mengalami akumulasi pengetahuan. Tehnologi hari ini adalah akumulasi tehnologi kemarin. Karena itu Nabi Muhammad saw mengatakan "Jangan pernah meremehkan kebajikan sekecil apa pun itu". Itu karena sifat akumulasinya. Beliau juga mengatakan "Amal yang paling baik dan paling dicintai Allah adalah yang berkelanjutan walaupun hanya sedikit". Itu akumulasi. Kebajikan kecil-kecil yang kita lakukan secara terus-menerus menunjukkan perhatian dan konsistensi serta keterlibatan emosi yang dalam. Nilai-nilai emosi yang menyertai amal itu hanya bisa dilihat dalam rentang waktu. Karena itu, waktu jadi alat uji iman dan karakter yang efektif.

Sisi negatif manusia juga akumulatif. Dosa yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi karakter dan selanjutnya memenuhi ruang hati manusia. Dosa yang telah jadi karakter tidak akan menyisakan ruang bagi dorongan kebajikan dalam diri seseorang. Allah akhirnya mengunci hatinya. Akumulasi dosa yang menjadi karakter menutup mata hati seseorang. Ada tabir yang menghalagi mata dan telinganya utk melihat kebenaran. Akumulasi itulah yang sebenarnya banyak menipu manusia pendosa karena terjadi secara perlahan dan tidak disadari oleh pelaku. Terlalu halus.

Karena efek akumulasi itu, maka sifat-sifat terpuji yang paling banyak berhubungan dengan waktu adalah kesabaran dan ketekunan. Tidak ada prestasi besar yang bisa kita raih dalam hidup tanpa kesabaran dan ketekunan yang panjang, sebab semua perlu waktu yang lama. Kecerdasan yang tidak disertai kesabaran dan ketekunan tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Itu ciri orang cerdas yang tidak produktif. Itu sebabnya mengapa di antara semua sifat yang paling terulang dalam Qur'an adalah sabar. Termasuk hubungan dengan waktu dalam surat Al 'Ashr.

Kesabaran dan ketekunan adalah sifat utama yang melekat pada orang-orang besar, baik dalam dunia militer, bisnis, ekademik atau politik. Kesabaran dan ketekunan juga merupakan sifat dasar kepemimpinan, karena mereka harus memikul beban berat dalam jangka waktu yang lama. Kesabaran dan ketekunan adalah indikator kekuatan kepribadian seseorang. Artinya ia punya tekad yang takkan terkalahkan oleh rintangan.

Efek akumulasi juga mengajarkan kita untuk berpikir secara sekuensial. Berurut mengikuti deret ukur waktu. Itu strategic thinking. Kemampuan berpikir sekuensial adalah bagian dari kemampuan berpikir strategis yang diajarkan oleh kesadaran akan waktu. Efeknya besar! Kemampuan berpikir sekuensial terutama diperlukan saat kita membaca sejarah dan berbagai fenomena sosial politik. Juga dalam perencanaan.

Konsep Penggandaan

Sebagai sumber daya waktu sangat terbatas, orang-orang produktif pasti selalu merasa bahwa waktu mereka terlalu sedikit dibanding rencana amal mereka. Umat Muhammad saw juga mempunyai umur masa kerja yang jauh lebih pendek dari umat-umat terdahulu, untuk sebuah hikmah Ilahiyah yang kita tidak tahu. Jadi harus ada cara mengatasi keterbatasan itu. Untuk itulah Islam memperkenalkan makna efesiensi melalui konsep penggandaan.

Kita menggunakan waktu yang sama untuk sholat 5 waktu secara jamaah atau sendiri, tapi mendapatkan pahala yang berbeda. Waktu sama pahala beda. Waktu yang sama dengan pahala yang berbeda adalah inti dari konsep penggandaan. Ini menciptakan perbedaan mencolok dan mengatasi keterbatasan. Konsep penggandaan ini bisa mengubah persamaan dari sblmnya 1 unit waktu sama dengan 1 unit amal menjadi 1 unit waktu sama dengan beberapa unit amal. Ajaran tentang amal jariah, sedekah jariyah, ilmu yang diajarkan, anak sholeh yang terus mendoakan, juga penerapan lain dari konsep penggandaan.

Konsep penggandaan bukan saja mengajarkan bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya tapi juga bagaimana memaksimalkan sumber daya yang terbatas itu. Konsep penggandaan bukan saja mengajar bagaimana mengatasi keterbatasan sumberdaya, tapi juga bagaimana melipatgandakan hasil dari sedikit sumber daya. Seseorang bisa hidup lebih lama dari umurnya dengan konsep penggandaan itu. Caranya dengan menciptakan amal yang dampaknya lebih lama dari umur kita.

Seperti individu, masyarakat juga punya umur. Peradaban juga punya umur. Umur masyarakat ditentukan oleh akumulasi umur individu. Umur sosial menjadi panjang jika banyak individunya melakukan kerja-kerja penggandaan. Salah satunya adalah pewarisan ilmu pengetahuan.

Umur peradaban juga begitu. Peradaban barat moderen dibangun pertama kali oleh spanyol dan portugis, lalu inggris dan prancis, lalu AS. Epicentrum sebuah peradaban berpindah dari 1 masyarakat ke yang lain, begitu umur sosial masyarakat itu habis. Walaupun secara fisik tetap ada. Seperti Barat, peradaban Islam juga dipikul banyak suku bangsa. Mulanya Arab, lalu Persia, lalu Afrika, lalu Turki, lalu Mongol dst. Akumulasi umur sosial dari suku bangsa itu menentukan panjang pendeknya umur peradaban. Makin banyak yang memikulnya makin panjang umurnya.


(HM. Anis Matta)