HALAMANKU

Selasa, 04 Juli 2017

Kepakkan Sayap Kebaikanmu

CATATAN HARI KE ENAMBELAS RAMADHAN :  KEPAKKAN SAYAP KEBAIKANMU

@ Cahyadi Takariawan 


Edward Norton Lorenz pada tahun 1961 mengemukakan sebuah teori, bahwa seluruh kejadian dalam kehidupan kita pada dasarnya adalah rangkaian dari kejadian acak atau random.

Dengan simulasi program di komputer, ia berusaha memprediksi kondisi cuaca. Hingga akhirnya ia menemukan angka faktor 0,506. Semakin kecil ia masukkan bilangan desimal, makin presisi pula perkiraan yang didapatkan.

Saat ia masukkan angka 0,506127, ia menemukan bahwa dampak dari desimal terkecil tersebut setara dengan efek kepakan sayap kupu-kupu. Lorenz terhenyak saat mendapatkan gambaran, satu kepakan sayap kupu-kupu bahkan bisa menghasilkan efek tornado yang dahsyat. Inilah yang disebut sebagai teori butterfly effect.

Sebagai muslim, kita percaya sepenuhnya bahwa semua kejadian dalam hidup kita adalah ketentuan dari Allah yang pasti akan terjadi. Tidak satupun kejadian yang tiba-tiba dan "kebetulan".

Kendati kita yakin akan keteraturan hukum Allah atas alam semesta ini, namun ada penjelasan yang bisa dipelajari dari teori Lorenz. Justru karena manusia tidak mengetahui skenario global di alam semesta, maka semua tampak random pada awalnya. Kita baru mengetahui betapa ritmis dan teratur hidup ini saat semua telah terjadi.

Hal-hal yang belum terjadi akan selalu menjadi rahasia bagi manusia, yang tidak seorangpun bisa memastikannya.

Seorang anak muda yang selesai kuliah di sebuah universitas dan tengah mencari kerja, ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi diterima atau ditolak untuk bekerja di suatu instansi. Faktor-faktor itu tampak sebagai hal yang random. Bahwa nantinya ternyata ia bekerja sesuai dengan spesialisasi fakultasnya; atau berbeda sama sekali dengan ilmu yang ditekuninya, pada awalnya tampak sebagai hal yang random.

Seorang pemuda lajang yang tengah berproses mendapatkan pasangan hidup, ada terlalu banyak faktor random yang tidak bisa diketahui dengan pasti, siapakah yang akan menjadi jodohnya. Faktor apakah yang bisa membuat dirinya berjodoh atau tidak berjodoh dengan seseorang. Usaha apakah yang bisa membuat dirinya bertemu jodoh. Itu semua tampak sebagai hal yang rumit dan random pada awalnya.

Kadang sebuah SMS atau telpon nyasar bisa mengubah kehidupan seseorang. Sebuah ketidaksengajaan yang dilakukan seseorang bisa saja mengubah hidupnya di kemudian hari. Suatu ajakan iseng dari teman bisa membuat seseorang berubah nasib. Sebuah pertemuan di bus atau kereta api bisa mengubah hidup seseorang.

Di mata manusia, itu semua tampak random. Di sisi Allah, semua serba teratur mengikuti kehendak-Nya yang Maha Agung.

Saya ingat kisah seorang senior saya. Suatu ketika ia melihat ada permen karet menempel di sebuah kursi di ruang tunggu bandara. Saat seseorang lelaki tampak akan menduduki kursi itu, dengan refleks ia meminta kepada lelaki tersebut agar tidak mendudukinya.

Ia segera mengeluarkan tisu dari saku bajunya, dan digunakan untuk membersihkan sisa permen karet yang menempel di kursi. Entah siapa yang membuang sisa permen karet dengan sembarangan hingga menempel di kursi. Beberapa tisu ia gunakan hingga bersih sisa permen karet tersebut.

Setelah kursi bersih, senior ini mempersilakan lelaki tersebut untuk duduk. Peristiwa "tidak sengaja" ini  berbuntut panjang. Mereka berdua segera berkenalan dan mengobrol akrab. Berbagai hal mereka bincangkan sambil menunggu proses boarding pesawat.

Ternyata lelaki tersebut adalah salah seorang pemilik perusahaan multinasional yang tengah mencari direktur utama untuk perusahaannya. Tidak dinyana, ia langsung meminta senior ini untuk datang ke kantornya guna melakukan wawancara.

Singkat cerita, akhirnya senior ini diterima dan dipercaya untuk memimpin sebuah perusahaan multinasional. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya, bahwa ia akan menduduki jabatan istimewa itu.

Gerakan reflek membersihkan sisa permen karet di kursi bandara yang dia lakukan, kurang lebih setara dengan kepakan sayap kupu-kupu. Dampaknya sangat fantastis. Mengubah total kehidupan masa depannya.

Untuk itu, sesungguhnya yang diperlukan adalah usaha untuk terus mengepakkan "sayap kupu-kupu" ke arah yang positif.

Kita tidak pernah tahu kepakan mana yang akan mampu mengubah hidup kita dan hidup orang lain.

Saya memahami arahan Nabi Saw agar kita memperbanyak silaturahim, bisa dijelaskan dalam format ini.

Bisa jadi karena suatu silaturahim, seseorang mendapat proyek pekerjaan yang bernilai sangat besar. Bisa jadi karena suatu silaturahim, seseorang mendapatkan peluang beasiswa ke luar negeri. Ada juga seseorang yang akhirnya dibangunkan gedung pendidikan yang megah dan komplit, setelah silaturahim.

Demikian pula arahan Nabi saw agar kita selalu berbuat baik kepada orang lain. Semua perbuatan baik kita adalah untuk Allah dan karena Allah. Bukan untuk maksud yang sifatnya kepentingan sementara saja.

Namun dengan banyaknya perbuatan baik inilah Allah akan memberikan balasan kebaikan pula bagi kita. Hal jaza-ul ihsan illal ihsan, demikian Allah mengajarkan kepada kita.

Terus saja mengepakkan sayap-sayap kebaikan, pasti Allah akan membalas pula dengan kebaikan. Tidak pernah ada yang sia-sia dari semua kepakan sayap kebaikan kita, karena Allah Maha Menepati janji-Nya.

Usaha mengepakkan sayap ini justru karena terbatasnya pengetahuan kita tentang apa yang akan terjadi dalam kehidupan manusia. Yang bisa kita lakukan adalah terus berusaha. Terus bergerak, terus berkarya, terus bekerja hingga akhir usia. Karena kita tidak pernah tahu, lewat kepakan sayap yang mana Allah akan memberikan surga kepada kita.

Jangan berhenti mengepakkan sayap kebaikanmu. Karena kamu tidak pernah tahu lewat kepakan sayap yang mana Allah memberikan jodoh kepadamu. Kamu tidak pernah tahu lewat kepakan sayap yang mana Allah memberikan jalan rejeki kepadamu.

Kamu tidak pernah tahu lewat kepakan sayap yang mana Allah memberikan solusi atas masalah hidupmu. 

Maka terus kepakkan sayap kebaikanmu. Jangan bosan mengepakkan sayapmu. Karena di situlah sesungguhnya esensi kehidupanmu.


Bontang 16 Ramadhan 1438 H

(google)

Note :
Seharusnya, jika sesuai dengan format bakunya, saya bukan panitia acara Seminar Keluarga yang dihadiri ust Cahyadi Takariawan dan Ibu Ida Nurlaila. Tetapi, qadarullah jadilah maka jadilah saya panitia "palugada". Lalu, selepas acara beliau menulis note ini dan oleh senior saya dibagikan di grup panitia. Seketika mata ini menangis entah kenapa. Rasa-rasanya, ujung panah tulisan ini tertuju private ke arah diri ini saja. Lalu, setelah beberapa hari, ya... tulisan ini seakan menjawab semuanya. So, how can I not love You, Allah... 💕

Rabu, 24 Mei 2017

Edisi Ketemu STIFIn di Bontang

Seandainya suatu hari nanti ada teman atau orang asing yang datang ke kamu dan menawarkan tes STIFIn, salah satu kemungkinan yang kamu lakukan adalah googling, searching, dan kegiatan kepo lainnya untuk memastikan uang Rp 350.000,- yang kamu keluarkan untuk tes bukan penipuan dan penyesalan. 

Saya yakin, seperti yang saya lakukan, kamu akan mendapati STIFIn dengan testimoni positif dan negatif. Positif, ada banyak pengakuan bahwa seseorang benar-benar menemukan jatidirinya, ibarat tersesat lalu ketemu jalan pulang, dengan tes STIFIn dia tertolong. Negatif, bantahan dari Prof Sarlito (alm) atau seorang Psikolog yang juga Ustad Fauzil Adhim yang mana mereka mengatakan bahwa STIFIn is Pseudosience atau bahkan syirik, syirik masuk neraka lho. Horor gimana gitu kan?

Ketika saya merasa yakin tetapi juga jadi resah karena orang yang cukup dipercaya memberikan testimoni sebaliknya, maka saya akan mencarinya lebih dalam, kayak lagunya Sherina, lihatlah lebih dekat. Pertama, terkait Pseudoscience, teman-teman di Psikologi tentu pernah belajar mata kuliah Psikologi Umum yang membahas tentang sejarah penemuan dan perkembangan teori-teori psikologi yang dipakai sampai sekarang. Tentang bagaimana setiap ilmuan menguji hipotesanya, dengan uji validitas dan reliabilitas, jika tidak cukup membuktikan maka dianggap tidak layak untuk digunakan sebagai referensi ilmiah. Secara umum ini dasar sebuah teori dianggap Pseudoscience. Teori yang "aneh", selanjutnya akan digantikan oleh teori yang lebih relevan. 

Jadi, saya dapat jawaban nih, kalau memang STIFIn dinyatakan Pseudosience maka validitas dan reliabilitasnya pasti diragukan oleh ilmuwan-ilmuwan, sebagaimana membaca garis tangan, zodiak, dan lain sebagainya. Intinya Pseudoscience adalah teori/science yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sampai di sini saya pikir opini Prof Sarlito (alm) dapat dijawab. Faktanya STIFIn bukan Pseudoscience, karena secara ilmiah dapat dibuktikan validitas dan reliabilitasnya. Baca dibuku tentang STIFIn. Titik. Mau penjelasan lebih panjang? Buat riset sendiri jangan ngomong dan berprasangka doang itu nggak ilmiah. He. 



Kedua, terkait opini seperti "mempercayai STIFIn adalah bentuk kesyirikan yang dikemas dengan teknologi canggih." Oke. Coba kita detailkan apasih yang dimaksud syirik? Menyembah selain Allah, menduakan Allah, percaya kepada selain Allah, dan seterusnya. Saya tanya. Apa kamu menyembah STIFIn? Menjadikan STIFIn tujuan hidup selain Allah? dan percaya bahwa STIFIn adalah satu-satunya petunjuk hidup selain Allah? Jika kamu melakukannya maka jelas kamu syirik. Tapi itu kamu lho ya. Apakah ada pernyataan bahwa dengan STIFIn kamu pasti masuk surga? Jika tidak, maka dimana letak syiriknya? Logika yang sama misal ketika kamu percaya pada suatu kitab karangan seorang imam, lalu mengkultuskan si imam karena kitabnya, apakah kitabnya yang syirik atau cara kamu memperlakukan kitab dan imam itu yang syirik? 

Saya bocorin sedikit konsep STIFIn, setelah kamu tes lalu dapat hasilnya maka potensi yang Allah berikan ke kamu melalui sebuah organ di tubuh kita yang bernama otak, apa yang disarankan oleh STIFIn :




STIFIn dengan keilmiahan ilmunya menunjukkan potensi genetik dasar kamu, personality genetic. Setelah kamu tahu potensi mu, kamu harus upgrade diri sampai melalui mentalitas, moralitas, dan spritualitas. Titik tertinggi yang diharapkan dari konsep STIFIn adalah mencapai titik spiritualitas yakni kedekatan dengan Allah, yang diawali dengan rasa bersyukur karena Allah sang Pencipta memberikan kita rejeki potensi genetik yang unik. Tau dari mana Allah yang ngasih? Maka saya akan bertanya, apa orang tua yang ngasih? Nenek? Kakek? Guru? Bisakah mereka merencanakan anak yang lahir akan jadi arsitek? Sejauh mana? Bukankah lebih sering kita menemukan anak yang berbeda karkater dan cita-cita dengan orang tuanya? Lalu siapa yang mengaturnya jika bukan Allah. Itu kan yang kita imani sebagai seorang muslim. Ingat hadist tentang penciptaan manusia. bahwa "Kematian, Susah Senang, Rejeki" Allah yang mengatur. Maka orang tua hanya dititipkan, bukan diminta merekayasa genetik sang anak, dosa kan. Potensi genetik bagian dari rejeki. Peranan orang tua pada tahap mentalitas, moralitas, dan pencapaian spiritualitas. Ketika Anda merasa gagal, coba koreksi, bisa jadi cara Anda mengasuh tidak sesuai dengan karakter genetik yang Allah berikan kepada anak Anda. Anda pada titik tertentu akhirnya mengakui bahwa sebagai orang tua belum benar-benar mengenal karakter anak anda yang sulit dinasihati. Banyak yang tidak mengakui ini, lalu menyalahkan si anak, menyalahkan pasangan, menyalahkan lingkungan. Salah faham ini bisa terjadi di rumah (pasangan - ortu - anak), di kantor (atasan-bawahan), di sekolah (guru-murid-teman) dan seterusnya.


Logiskah ketika anda sudah melakukan yang terbaik sampai pada spiritualitas bahkan sampai mengetahui karakter genetik tetapi masih gagal, maka hal terakhir yang bisa Anda imani sebagai muslim adalah mengapa Allah melakukan hal ini pada kita? cuma ada dua pilihan jawaban : takdir baik dan takdir buruk yang semuanya kita yakini adalah sebagai ujian agar lebih dekat dengan Allah. Anda akan mengoreksi diri/muhasabah, apa saya kurang bersyukur dengan rejeki yang Allah berikan, apakah di fase pembentukan mental yang keliru, atau fase moral, muamalah/silaturahim kita dengan orang lain yang salah, atau paling tinggi di hubungan kita dengan Allah. Sejauh ini saya kepoin konsep STIFIn, saya mencoba memahami alur STIFIn, dan saya belum menemukan dimana syiriknya? 
Saya rasa syirik adalah faktor personal yang mengkultuskan STIFIn. Atau boleh jadi, ketika kamu tes STIFIn si promotor melakukan kesalahan tata bahasa dengan menggunakan kata-kata "kamu pasti begini, kamu pasti begitu" padahal STIFIn hanya menjelaskan dominasi personality genetic dan merekomendasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan potensi genetik. Kalau kamu hanya meyakini sampai tahap genetik saja. Contoh : menurut hasil tes STIFIn kamu dominan di otak kanan bawah, dengan dominasi emphaty kamu "berpotensi" jadi pemimpin, tetapi setelah itu sikap kamu preman, kata-kata kasar, suka cari musuh, egois dan koruptor misalnya. Gak naik ke mentalitas. Gak usah pakai STIFIn anak kecil juga nggak bakal suka dipimpin orang yang seperti itu. 

Terakhir. Aplikasi STIFIn, terkadang tidak bisa berdiri sendiri. Misal di perusahaan, kita tidak bisa merekomendasikan seseorang menempati posisi tertentu hanya karena potensi genetiknya. Kembali ke penjelasan di atas, bahwa banyak faktor selain genetik yang membentuk karakter seseorang. Sebagian praktisi yang menggunakan STIFIn mereka juga menggunakan paper based test seperti Talent Ma**ing, MBTI dll untuk memberikan rekomendasi ke perusahaan. Artinya STIFIn bisa memberikan evaluasi pada aspek apa saja yang perlu dilakukan, peluang dan faktor resiko, seorang kandidat harus menempati posisi tertentu jika dikaitkan dengan personal genetiknya. Dan pssst... solver STIFIn juga bisa memprediksi, prediksi lho ya, apakah paper based test itu jujur, terlatih, atau manipulasi. hehe. :D

Allahu'alam

Rabu, 08 Maret 2017

Musyawarah dan Bertahanlah

Tegakkan Tradisi Syura
-Fathi Yakan

Prinsip syura harus ditegakkan. Jauhkan kediktatoran dan egoisme. Inilah prinsip yang Allah swt tanamkan kepada Nabi-Nya saw dengan firman-Nya.
Dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah (Ali-Imran-159)

Allah swt mengidentifikasi umat Islam dengan sifat itu dalam firman-Nya yang lain,
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan cara musyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (Asy-Syura : 38)
Musyawarah ini, baik dilakukan untuk menetapkan putusan yang mengikat maupun pemberitahuan, merupakan benteng perlindungan bagi amal. Ialah jalan yang bisa menunjukkan pemecahan problem dan penguraian benang kusut setiap masalah. Dari sinilah kita memahami apa yang disabdakan Rasulullah saw

إن أمتي لن تجتمع على ضلالة

Sesungguhnya umatku tidak terhimpun dalam kesesatan (HR Ibnu Majah).

Sabdanya yang lain, "Tidaklah rugi orang yang bermusyawarah dan tidaklah sesat orang yang menimbang-nimbang. Dan sesuatu yang dimusyawarahkan itu terpercaya.

Sebuah gerakan yang memegang teguh prinsip ini, tidak dimonopoli pemikiran pemimpinnya, memperhatikan dan mengambil manfaat pendapat orang lain, maka gerakan itu akan senantiasa berada dalam lindungan Allah. Langkahnya benar dan lurus.

Karenanya Rasulullah saw. bersabda, "Puncak akal setelah beriman kepada Allah adalah berlemah lembut terhadap orang lain dan mencintai mereka. Tidak ada orang rusak lantaran musyawarah dan tiada orang bahagia lantaran merasa cukup dengan pendapatnya sendiri. Apabila Allah swt berkehendak membinasakan seorang hamba, maka pertama kali adalah membinasakan pendapatnya. Adapun ahli makruf di dunia, adalah ahli makruf di akhirat. Dan ahli mungkar di dunia, merekalah ahli mungkar di akhirat."



Apabila kita menganalisis beberapa faktor penyebab yang melatarbelakangi berbagai fenomena yang merobek tatanan organisasi dan gerakan, barangkali segera tersingkap bahwa salah satu faktor penyebab yang pokok adalah dominasi pemimpin, di mana ia merasa cukup dengan pendapatnya sendiri, tanpa mau mendengar pendapat orang lain. Hal itu merupakan penyakit ujub yang apabila mengenai jamaah, alangkah cepatnya merusak, memusnahkan kekuatan dan menciptakan pertikaian internal. Inilah implikasi negatif yang tidak menjanjikan kebajikan namun justru mengkhawatirkan.

Rasulullah saw bersabda,

Apabila engkau melihat kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan dan kekaguman seseorang dengan pendapatnya sendiri, maka hendaklah engkau berpegang pada dirimu sendiri. (HR. Tirmizi)

Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz r.a. apabila sedang berkhotbah lalu datang kekhawatiran terhadap rasa ujub, ia hentikan khotbahnya. Apabila sedang menulis lalu datang kekhawatiran terhadap ujub, ia sobek kertasnya. Selanjutnya ia berkatalah, "Ya Allah, saya minta perlindungan kepada-Mu dari kejelekan diriku."

Sesungguhnya, sebuah gerakan apabila hubungan antara anggota dan pemimpinnya semisal budak dengan majikannya, tidak ada ukhuwah dan kebersamaan di dalamnya, ia laksana sekam berapi. Setiap saat siap meledak kemudian hancur berkeping-keping. Sebuah gerakan yang tidak memberi peluang adanya perbedaan pendapat dan kritik hanya akan menjadi penjara hawa nafsu dan ambisi, yang mudah sekali tergelincir dalam kesulitan dan masalah. Perbedaan pendapat menguatkan dan mengukuhkan bangunan gerakan selama masih dalam batas syariat, juga merupakan penjamin keamanan dan keselamatannya, agar tidak terjungkal dalam jurang kegagalan dan kebinasaan.

Namun semikian, ini sama sekali tidak berarti bahwa Islam membolehkan oposan untuk keluar dari barisan, sebesar apapun perbedaan pendapat yang terjadi. Satu-satunya alasan yang secara syariat membenarkan pihak oposan untuk mencabut mahkota kepemimpinan seseorang adalah apa yang diisyaratkan Rasulullah sawt, dalam sabdanya 

Janganlah engkau mencabut tanganmu dari ketaatan, kecuali jika engkau melihat kekufuran yang nyata, yang engkau memiliki dalilnya dari sisi Allah (HR Muslim)

Adapun terciptanya oposisi dengan gerakannya dan munculnya berbagai aliran pendapat dengan sikapnya dalam satu bangunan organisasi, dengan alasan menghilangkan kemungkaran, hal itu dengan sendirinya sebuah kemungkaran yang tidak dibenarkan Islam. Ia jelas akan menjadi faktor penghancur.

Inilah yang Rasulullah saw isyaratkan dalam sabdanya

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ يَعْنِي ابْنَ حَازِمٍ حَدَّثَنَا غَيْلَانُ بْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي قَيْسِ بْنِ رِيَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا وَلَا يَتَحَاشَى مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ و حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ زِيَادِ بْنِ رِيَاحٍ الْقَيْسِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَقَالَ لَا يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا


Barangsiapa keluar dari taat dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliah. Barangsiapa berperang dengan bendera fanatisme, marah demi membela fanatisme, menyeru pada fanatisme, dan menolong demi fanatisme kemudian terbunuh maka ia terbunuh dalam keadaan jahiliah. Barangsiapa keluar menuju ummatku lalu ia membunuh orang-orang yang baik maupun buruk, tidak mengecualikan orang mukminnya dan tidak melindungi janjinya orang yang memiliki janji maka ia bukanlah golonganku dan aku pun bukan golongannya (H.R. Muslim)

Beliau Saw juga bersabda
Sesungguhnya akan ada hanat dan hanat (fitnah). Barang siapa memecahbelah umat, padahal ia sudah satu kata, maka bunuhlah orang itu dengan pedang di mana pun ia berada (H.R. Muslim)

Imam Syahid Hasan Al-Banna telah meletakkan prinsip dan landasan yang merupakan pilar-pilar tatanan gerakan yang khas, di anataranya berikut ini,
"Seorang al-akh yang memiliki perilaku khusus, ia memandang pemimpin dengan pandangan seorang teman dekat dan tidak memperhatikan pendapatnya kecuali sebagian, maka memberi kepercayaan kepadanya merupakan hal yang membahayakan, betapapun baiknya dia. Yang demikian itu karena jamaah terperdaya dengan kebaikannya dan ia retak karena perselisihannya."

"Dalam membangun jamaah, tidaklah banyak yang bermanfaat kecuali apa-apa yang dibangun oleh pemimpinnya sendiri atau oleh kesungguhan para ikhwan yang melihat pemimpin (qiyadah) sebagai bagian dari mereka dalam proses tarbiah dan taklim. Oleh karena itu, segala rumusan yang tanpa mekanisme kepemimpinan tidak banyak bermanfaat."

"Apabila ada anggota yang beroposisi terhadap pemimpin dan keluar dari jalur yang telah disepakati bersama dengan niat ikhlas dan bermaksud baik akan tetapi salah jalan, maka pemimpin harus berbaik sangka kepadanya. Ia tetap menghargai aktivitas dakwahnya, khidmah dan pengorbanan yang telah dipersembahkan olehnya. Jagalah ukhuwah dan kebersihan hati mereka. Janganlah mereka ditindak dengan keras atau dijauhkan dari sesama anggota. Akan tetapi upayakan sebauh terapi yang baik. Apabila mereka kembali kepada kebaikan, itulah yang diharapkan. Namun, apabila tetap membangkang, maka pemimpin memiliki kewajiban untuk menyingkirkan mereka. 

Diambil dari buku "Robohnya Dakwah di Tangan Da'i" (hal 115-121)

Kamis, 05 Januari 2017

Tipe-tipe Infakers

Menutup akhir tahun masehi 2016 menjelang 2017 Allah swt takdirkan banyak ujian menimpa kaum muslimin dunia. Mulai dari Rohingnya, Aleppo-Suriah, dan Indonesia sendiri, gempa Aceh, banjir Bima. Allah swt takdirkan pula hati ini masih tergerak bersama dengan orang-orang pilihanNya untuk mengalirkan bantuan dari tangan-tangan yang punya ke yang sedang tak punya. Hanya ini yang bisa saya lakukan, sedih sih, kadang-kadang berandai dan berdoa, suatu hari nanti saya bisa melakukan lebih dari ini. Lebih dari sekedar aksi, turun ke jalan, menggalang dana dari masyarakat di lampu merah, dari toko ke toko, dari pasar ke pasar, dari orang ke orang, lebih dari ini. Tetapi bukankah setiap kelebihan selalu harus dimulai dari seuatu yang apa adanya, dari diri sendiri, dari yang paling kecil, dan saat ini juga. Jangan sampai kita digoda setan, berandai bahwa sedekah atau amal pada masa berjaya nanti lebih banyak kuantitasnya dan hitungan balasan pahalanya pun berlipat, lalu membuat kita menunda amal hari ini, eh taunya besok wafat, eh nauzubillah. Kita harus selalu ingat bahwa pahala atau balasan amal adalah hak prerogratif Allah swt.

Judul di atas, agak “nyastra” gitu, padahal saya cuma ingin bercerita tentang kejadian-kejadian yang menurut saya unik selama penggalangan dana. Ketika kotak bertuliskan “Peduli ...” disodorkan, saya menemukan ada beberapa tipe orang yang menaruh sesuatu di dalam kotak itu. Di tulisan ini saya menyebutnya “sodaqoh-ers”.

Pertama, tipe “di saku ada berapa?”
Kita mungkin termasuk orang yang sering menyimpan uang di saku celana atau baju, sadar atau pun lupa. Kadang bagi yang lupa, begitu menemukan uang terselip di saku rasanya seperti menemukan harta karun. Nah, di jalan tipe sodaqoh-ers ada yang seperti itu pula, spontan melihat pasukan galang dana menghampirinya, dia rogoh sakunya, lalu harta karun itu serta merta di dimasukkan dalam “Kotak Peduli”. Kalau disaku kosong ya wassalam.


Kedua, tipe “bagi dua deh”
Jadi, karena merasa harta karunnya kebanyakan, sayang kalau dikasih semua, dalam hatinya mungkin terbesit “eh banyak juga gua nyimpen duit di saku”. Biasanya duit kalau di taruh disaku suka kelipet-lipet, kucel, dan kesangkut antara duit biru, hijau, merah, ab-abu, oren. Pihak penggalang dana harus menunggu lebih lama, karena sodaqoh-ers ini harus memilah-milah harta sakunya, barulah dimasukkan ke kotak peduli, setelah diseleksi warna duit mana mana yang paling ikhlas dilepaskan.

Ketiga, tipe “kembalian dong”
Fakta sejarah bro sis, saat saya menyodorkan kotak peduli, di dalam kotak itu baru tergeletak uang lima ribu rupiah sebatang kara. Lalu, ada juragan toko yang menyodorkan uang dua puluh ribu rupiah sambil menengok isi kotak sambil bertanya “ada kembalian 15.000?” belum sempat saya jawab si bapak sudah mengambil keputusan lain mengganti uang 20.000 menjadi 10.000. Lalu dengan lempeng dia mengatan “saya mau nyumbang lima ribu aja, ini saya kasih 10.000 kembalian 5.000 nya saya ambil ya”. Apadaya saya hanya bisa tersenyum, padahal dalam hati ngakak sambil miris, lalu dengan manis saya mengeluarkan kata-kata “terima kasih bapak, semoga Allah swt membalas.” 

Keempat, tipe “emangnya ada apa?”
Ada sebagian orang yang ketika disodorkan kotak dengan tulisan peduli langsung memberikan uangnya karena sudah baca medsos. Ada sebagian lagi yang harus wawancara dulu karena doi beneran terlalu sibuk sampai tidak sempat baca berita kekinian. “Memangnya ada apa?” tanya mereka. Kemudian dengan sabar penggalang dana menjelaskan tentang musibah yang menimpa saudara kita dan setelah itu ada yang langsung urun dana, ada pula yang berbekas komentar ala haters medsos “yaelah mba, boro-boro buat Aleppo buat sehari-hari aja masih kurang” oke fix senyumin aja walaupun dalam hati saya bilang “harusnya kita ceramahin sekalian keajaiban sedekah ala ust. Yusuf Mansur.” Hehe.

Kelima, tipe “ini dia yang dicari-cari”
Seorang anak usia belum baligh, meletakkan sekantong keresek dan berat ke dalam kotak peduli. Setelah kita buka, rupanya itu tabungannya yang terbungkus rapi, bersama ortunya sengaja ia tuliskan “untuk anak-anak Aleppo” di sisi luar tabung nya . Terharu nggak sih punya anak kayak gini?! duh moga-moga jadi anak solih/solihah yaa... Menurut saya dia sengaja mencari para penggalang dana untuk menyalurkan hasil tabungannya. Tidak hanya anak ini, beberapa sodaqoh-ers dewasa juga ada yang melakukannya, sehingga kadang kita tidak heran saat menghitung ada amplop isinya jut-jut-an. It means doi bukan sedekah dadakan, tetapi sudah direncanakan, di hari H sejak berangkat dari rumah doi nawaitu akan mencari-cari para penggalang dana dan kotak mana yang akan diisi.

Keenam, tipe “kasih tak sampai”
Terkadang saat di lampu merah, pihak pembawa kotak dan sodaqoh-ers tidak mengetahui secara pasti kapan lampu merah akan berganti menjadi lampu hijau. Di saat sodaqoh-ers di dalam mobilnya lagi ribet membuka dan memilah isi dompet, dan pembawa kotak was-was menanti didekatnya tiba-tiba lampu udah ijo aja, tak sempatlah keluar isi dompet, apadaya. Atau lain cerita, sodaqoh-ers dari kejauhan antrian lampu merah melambai-lambaikan tangannya hendak memberikan sesuatu, saat pembawa kotak berlari-lari dengan heroiknya menuju lambaian itu eh lampunya hijau. Apadaya. Tetapi yang so sweet adalah ketika si pembawa kotak sedang berdiri di pinggir sembari menanti lampu hijau berubah merah, ada sodaqoh-ers yang berlari-lari menuju kita dan menaruh hartanya di kotak yang kita jinjing, saat mata mengikuti doi kembali, rupanya ia di sebarang jalan memarkir kendaraannya demi bersedekah. Jadi sebenarnya, jodoh nggak kemana ya eh maksudnya kasih tak sampai itu tergantung niat juga ya.

Ketujuh, tipe “I don't care..., atau "I care, but...”
Sebagai penutup. Ada sebuah fakta sejarah lagi. Saya membandingkan temuan lapangan nih, boleh dong. Ada mobil mewah sedekah dua ribu, sejauh sepuluh meter ada tukang parkir juga sedekah dua ribu. Mata saya saat itu ditakdirkan melihat dengan jeli, si tukang parkir penghasilannya memang uang dua ribuan, dipilah-pilah isi kantongnya ya sinya memang dua ribu, si mobil mewah yang terdiri dari tiga orang dua anak satu ibu, ibunya mau sedekah lima puluh ribu tetapi tidak diperbolehkan oleh anaknya, karena anaknya sudah sedekah dua ribu dan ditambah lima ribu oleh anak lainnya, “sudah-sudah cukup segitu saja”. Saya tidak suuzon lho ya, hanya saja saya terharu dengan bapak tukang parkir yang oh wow, hatinya mewah, dan terharu dengan ibu yang mau ngasih duit biru tapi dicegah anaknya. 
Saya ingin mengatakan bahwa pasti ada orang-orang yang tidak peduli dengan bencana orang lain, karena disebabkan faktor stress dalam dirinya yang lebih besar dari faktor empatinya saat itu, ujung-ujungnya “I don’t care because nobody cares about me”. Tetapi ada pula tipe yang “yes, I care, but....” iya saya peduli tetapi penghasilan saya cuma segini, tetapi saya dipengaruhi dan dihalangai orang lain, dan tetapi yang lain. Setidaknya, semoga kita senantiasa digolongkan ke dalam orang-orang yang masih peduli meskipun kepedulian itu sebesar Zarah. Tidak lama dari peristiwa itu, saat kami berdiri menanti teman yang lainnya, ada seorang kakek yang menyuruh kami pindah tempat “berdiri di sana nah, yang dekat jalan masuk, banyak disitu orang lewat di sini sepi” kami beranjak sambil berterima kasih, karena mereka meski tak banyak memberi sedekah harta, tetapi hatinya masih peduli. Semoga Allah swt membalas kepedulian itu seperti Q.S. Al-Zalzalah : 7 . Aamiin.


Allahu'alam bisowab.

Hikmah jalanan. Januari 2017.

Senin, 02 Januari 2017

Tentang Waktu

Setiap kali ada pergantian tahun seperti sekarang, saya selalu membangunkan kembali kesadaran saya tentang waktu dan cara merasakannya. Cara setiap orang merasakan waktu berbeda karena "satuan waktu" yang mereka gunakan juga berbeda. Itu lahir dari falsafah hidup yang juga berbeda. Jika kita memaknai hidup sebagai pertanggungjawaban, maka waktu adalah masa kerja. Waktu adalah kehidupan itu sendiri.

Orang-orang beriman membagi waktu - seperti juga hidup – ke dalam waktu dunia dan waktu akhirat. Itu 2 sistem waktu yang sama sekali berbeda. Waktu dunia adalah waktu kerja. Waktu akhirat adalah waktu pertanggungjawaban dan pembalasan atas nilai waktu kerja di dunia. Waktu kerja di dunia mengharuskan kita memaknai setiap satuan waktu sebagai satuan kerja. 1 unit waktu harus sama dengan 1 unit amal. Persamaan itu, 1 unit waktu sama dengan 1 unit kerja, membuat hidup kita jadi padat sepadat-padatnya, nilai waktu terletak pd isinya, kerja!

Tidak ada hal yang paling tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam hidup orang beriman selain waktu luang. Itu hidup yang tidak terencana. Waktu luang lahir dari pikiran dan jiwa yang kosong, yang tidak punya daftar pekerjaan yang harus dieksekusi. Hidup mereka longgar tak bernas. Mereka yang punya daftar pekerjaan utk dieksekusi menempatkan waktu sebagai sumber daya tak tergantikan. Karena itu tidak boleh lewat tanpa nilai.

Efek waktu adalah akumulasi

Menyadari waktu adalah menyadari efeknya dan efek terpenting dari waktu adalah efek akumulasi. Sesuatu tidak terjadi seketika tapi bertahap. Akumulasi dari tindakan yang sama yang kita lakukan secara berulang2 akan menjadi karakter pada skala individu. Akumulasi dari karakter individu selanjutnya menjadi budaya dalam skala masyarakat. Akumulasi itu terjadi dalam rentang waktu tertentu. Akumulasi budaya dari berbagai kelompok masyarakat dalam rentang waktu tertentu itulah yang berkembang menjadi peradaban. Karena efek akumulasi sebuah peradaban tidak bisa bangkit seketika atau runtuh seketika. Ada faktor-faktor yang mempengaruhinya secara akumlatif.

Masyarakat bangkit melalui akumulasi kontribusi. Produktivitas individu-individu di dalamnya berupa karakter dan ide yang membentuk budaya mereka. Begitu juga keruntuhan sebuah masyarakat, itu akumulasi karakter dan ide destruktif individu-individunya yang membentuk budaya keruntuhannya.

Contoh lain adalah kesehatan. Kualitas kesehatan fisik dan mental kita di atas usia 40 tahun adalah akumulasi dari pola hidup sehari-hari kita. Sebagian besar penyakit yang kita alami di atas usia 40 tahun itu adalah akumulasi ketidakseimbangan pola hidup yang berlangsung lama. Begitu juga dengan struktur pengetahuan kita, itu adalah akumulasi ilmu yang kita peroleh sehari-hari melalui bacaan dan media belajar lain.

Usia membuat orang lebih arif karena ia mengalami akumulasi pengetahuan. Tehnologi hari ini adalah akumulasi tehnologi kemarin. Karena itu Nabi Muhammad saw mengatakan "Jangan pernah meremehkan kebajikan sekecil apa pun itu". Itu karena sifat akumulasinya. Beliau juga mengatakan "Amal yang paling baik dan paling dicintai Allah adalah yang berkelanjutan walaupun hanya sedikit". Itu akumulasi. Kebajikan kecil-kecil yang kita lakukan secara terus-menerus menunjukkan perhatian dan konsistensi serta keterlibatan emosi yang dalam. Nilai-nilai emosi yang menyertai amal itu hanya bisa dilihat dalam rentang waktu. Karena itu, waktu jadi alat uji iman dan karakter yang efektif.

Sisi negatif manusia juga akumulatif. Dosa yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi karakter dan selanjutnya memenuhi ruang hati manusia. Dosa yang telah jadi karakter tidak akan menyisakan ruang bagi dorongan kebajikan dalam diri seseorang. Allah akhirnya mengunci hatinya. Akumulasi dosa yang menjadi karakter menutup mata hati seseorang. Ada tabir yang menghalagi mata dan telinganya utk melihat kebenaran. Akumulasi itulah yang sebenarnya banyak menipu manusia pendosa karena terjadi secara perlahan dan tidak disadari oleh pelaku. Terlalu halus.

Karena efek akumulasi itu, maka sifat-sifat terpuji yang paling banyak berhubungan dengan waktu adalah kesabaran dan ketekunan. Tidak ada prestasi besar yang bisa kita raih dalam hidup tanpa kesabaran dan ketekunan yang panjang, sebab semua perlu waktu yang lama. Kecerdasan yang tidak disertai kesabaran dan ketekunan tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Itu ciri orang cerdas yang tidak produktif. Itu sebabnya mengapa di antara semua sifat yang paling terulang dalam Qur'an adalah sabar. Termasuk hubungan dengan waktu dalam surat Al 'Ashr.

Kesabaran dan ketekunan adalah sifat utama yang melekat pada orang-orang besar, baik dalam dunia militer, bisnis, ekademik atau politik. Kesabaran dan ketekunan juga merupakan sifat dasar kepemimpinan, karena mereka harus memikul beban berat dalam jangka waktu yang lama. Kesabaran dan ketekunan adalah indikator kekuatan kepribadian seseorang. Artinya ia punya tekad yang takkan terkalahkan oleh rintangan.

Efek akumulasi juga mengajarkan kita untuk berpikir secara sekuensial. Berurut mengikuti deret ukur waktu. Itu strategic thinking. Kemampuan berpikir sekuensial adalah bagian dari kemampuan berpikir strategis yang diajarkan oleh kesadaran akan waktu. Efeknya besar! Kemampuan berpikir sekuensial terutama diperlukan saat kita membaca sejarah dan berbagai fenomena sosial politik. Juga dalam perencanaan.

Konsep Penggandaan

Sebagai sumber daya waktu sangat terbatas, orang-orang produktif pasti selalu merasa bahwa waktu mereka terlalu sedikit dibanding rencana amal mereka. Umat Muhammad saw juga mempunyai umur masa kerja yang jauh lebih pendek dari umat-umat terdahulu, untuk sebuah hikmah Ilahiyah yang kita tidak tahu. Jadi harus ada cara mengatasi keterbatasan itu. Untuk itulah Islam memperkenalkan makna efesiensi melalui konsep penggandaan.

Kita menggunakan waktu yang sama untuk sholat 5 waktu secara jamaah atau sendiri, tapi mendapatkan pahala yang berbeda. Waktu sama pahala beda. Waktu yang sama dengan pahala yang berbeda adalah inti dari konsep penggandaan. Ini menciptakan perbedaan mencolok dan mengatasi keterbatasan. Konsep penggandaan ini bisa mengubah persamaan dari sblmnya 1 unit waktu sama dengan 1 unit amal menjadi 1 unit waktu sama dengan beberapa unit amal. Ajaran tentang amal jariah, sedekah jariyah, ilmu yang diajarkan, anak sholeh yang terus mendoakan, juga penerapan lain dari konsep penggandaan.

Konsep penggandaan bukan saja mengajarkan bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya tapi juga bagaimana memaksimalkan sumber daya yang terbatas itu. Konsep penggandaan bukan saja mengajar bagaimana mengatasi keterbatasan sumberdaya, tapi juga bagaimana melipatgandakan hasil dari sedikit sumber daya. Seseorang bisa hidup lebih lama dari umurnya dengan konsep penggandaan itu. Caranya dengan menciptakan amal yang dampaknya lebih lama dari umur kita.

Seperti individu, masyarakat juga punya umur. Peradaban juga punya umur. Umur masyarakat ditentukan oleh akumulasi umur individu. Umur sosial menjadi panjang jika banyak individunya melakukan kerja-kerja penggandaan. Salah satunya adalah pewarisan ilmu pengetahuan.

Umur peradaban juga begitu. Peradaban barat moderen dibangun pertama kali oleh spanyol dan portugis, lalu inggris dan prancis, lalu AS. Epicentrum sebuah peradaban berpindah dari 1 masyarakat ke yang lain, begitu umur sosial masyarakat itu habis. Walaupun secara fisik tetap ada. Seperti Barat, peradaban Islam juga dipikul banyak suku bangsa. Mulanya Arab, lalu Persia, lalu Afrika, lalu Turki, lalu Mongol dst. Akumulasi umur sosial dari suku bangsa itu menentukan panjang pendeknya umur peradaban. Makin banyak yang memikulnya makin panjang umurnya.


(HM. Anis Matta)