Saya awali jurnal di
blog ini dengan mengambil sebagian dari tulisan di blog saya yang lain, lalu di repackaging dengan menambah beberapa
opini dan wawasan yang saya dapatkan dari beraksi dan membaca, serta menonton
film kita vs korupsi.
Boleh ya saya beranggapan bahwa menyontek adalah sikap
yang secara tidak langsung dibentuk oleh sistem pendidikan kita. Guru dan
kelas yang membosankan, siswa tidak memahami pelajaran, lalu dituntut agar
nilai harus bagus. Sehingga wajarlah setiap kali ujian, siswa-siswa itu berkesempatan
melakukan training-training mandiri untuk mendapatkan nilai bagus tapi tidak perlu susah payah yakni menyontek.
Saya tidak akan membahas soal bagaimana merubah sistem
pendidikan di Indonesia supaya pelajarnya tidak menyontek. Terlalu rumit dan
kompleks. Saya hanya ingin mengangkat satu aspek saja sesuai dengan background
pendidikan saya saja dibidang psikologi. Saya mengambil sudut pandang teori
behavioristik. Apakah menyontek itu benar, salah, atau kesalahan yang dianggap
biasa sehingga boleh dibenarkan? Kita simpan pertanyaan ini.
***
Ala bisa karena biasa.
"Bagaimana si dia bisa mencontek dengan mudahnya sedangkan ada
yang sampai keringat dingin?"
Adalah sebuah pembiasaan, sesuatu yang
dilakukan secara sadar dan berulang. Gage dan Berliner, dalam teori belajar
behavioristiknya, mengungkapkan bahwa perubahan tingkah laku merupakan hasil
dari pengalaman. Pembiasaan atau perbuatan berulang akan masuk ke dalam alam
bawah sadar yang akhirnya diterima dan diulang tanpa proses evaluasi pada otak.
Sering kita dengar istilah ala bisa karena biasa.
Saya yakin kita pernah hampir berkeinginan
mencontek, sekalipun tidak terjadi, pastilah ada rasa cemas yang muncul.
Darimana datangnya cemas itu? Kondisi dimana merasa tidak tenang saat
mencontek. Jika orang tua atau lingkungan kita membiasakan untuk minta izin
jika mengambil sesuatu dari orang lain, dan menganggap itu perbuatan baik,
dilanjutkan dengan menghukum kita saat mengambil sesuatu dari orang lain tanpa
izin karena dianggap perbuatan tercela, maka rule yang tertanam dalam diri kita
adalah jika diizinkan kita boleh mengambil, jika tidak diizinkan kita tidak
boleh mengambil. Melawan rule, membuat kita tegang karena bertentangan dengan
arus kebiasaan kita selama ini.
Pernah tahu alat pendeteksi kebohongan? Disebut
polygraph atau lie detector (lebih lengkap disini : polygraph ). Pernah ada
kasus kekurangakuratan alat pengukur kebohongan itu pada tersangka kriminal.
Sehingga alat tersebut tidak selalu bisa membuktikan bahwa seseorang itu bohong
atau jujur. Alat tersebut disetting untuk
mengukur percepatan denyut nadi selama diintrogasi, air keringat yang
diproduksi, dan gejala fisik lainnya yang ditimbulkan oleh rasa tegang.
Ketegangan muncul salah satunya karena kondisi diluar keinginan kita,
kita merasa was-was dan ragu, khawatir juga takut, sehingga secara alami tanpa
diminta kondisi tubuh yang tidak siap akan mersepon berbagai gejala biologis. Gampangnya
kalau tidak pernah menabrak orang, sekalinya menabrak pastilah deg-degan,
keringetan, panik.
Bagi penjahat kelas kakap yang sudah biasa
melakukan perampokan dan pembunuhan, respon tubuh tersebut sangat sulit bahkan tidak
bisa dideteksi, karena ia sudah berulang kali melatih ketegangannya ketika
diinterogasi. Kondisi diluar keinginan pelaku kriminal, dalam hal ini
"tertangkap basah", sudah terjadi berulang kali, sehingga tubuh mahir
dalam melakukan netralisasi yang didapatkan dari hasil belajar sebelumnya. Sama
hal nya pada kasus menyontek. Pencontek
mampu mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi saat mereka melakukan
perbuatan itu. Sejak kecil sudah terlatih tenang melanggar peraturan, mengambil
hak orang lain tanpa izin, menerima nilai hasil mencontek. Wajar ya, kalau sudah besar korupsi uang rakyat.
***
Saya sering melakukan pendampingan ke adik-adik
kelas SMA, saat diberi amanah oleh sekolah setelah jadi alumni. Target pribadi
saya terhadap mereka adalah menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan
mereka. Menurut saya, bukti paling kongkrit kalau mereka sudah pede adalah
tidak menyontek saat ujian. Kenapa? Berangkat dari keprihatinan saya masa SMA
dulu, saya sruvey wawancara dan menemukan hampir 80% teman-teman dikelas saya
mencontek saat ulangan. Itu baru di kelas saya, belum kelas lain. Berikut saya cuplikkan pengalaman saya dengan salah
seorang adik kelas SMA Negeri di Yogyakarta.
Dek May :
Mbak, tau nggak sih?
Desti :
Enggak.
Dek May : ih
mbak ini serius.
Desti :
hehe iya apa dek?
Dek May : Teman-temanku
mbak, mereka ada yang nyembunyiin buku di kolong laci, ada yang smsan, ada yang
ngrepek, ada yang pura-pura ke kamar
mandi. Alhamdulillah semester ini aku berhasil
nggak nyontek. Aku udah bersusah payah untuk belajar sendiri dan menghasilkan
nilai murni hasil usahaku tanpa nyontek.
Desti : wah
hebat itu! gimana rasanya.
Dek May : ya
aku lebih puas, karena tau kemampuanku segitu, tapi mbak aku dilema.
Desti :
alhamdulillah. eh dilema kenapa?
Dek May :
(nada tinggi) kenapa sih ortuku itu! hmm.. jadi kan mbak karena nggak nyontek
nilaiku jadi jelek, turun. trus ortuku tau masalah ini. dan mereka bilang apa
coba.
Desti : hm
apa?
Dek May :
"Kenapa kamu nggak nyontek aja sih? temen-temenmu pada dapet nilai bagus,
kamu kayak gini!"
Desti : (masih
mendengarkan cerita sang adek)
Dek May : aku
sedih mbak, mereka tidak bisa menghargai hasil kejujuranku, mereka malu kalau
anaknya dapet nilai jelek. mereka lebih seneng kalau aku dapat nilai bagus
meskipun itu harus nyontek.
Desti :
(menghela nafas panjang) mencoba memahami.
Pada kasus diatas, satu sisi adik kelas saya merasa benar
dengan perbuatan tidak menconteknya, pun pujian dari saya mengatakan dia hebat,
namun disisi lain orang tuanya merasa bahwa perbuatan itu salah diukur dari
nilai ujian. Pembahasan behavioristik tidak berhenti pada stimulus –
respon berulang yang menyebabkan seorang melakukan hal tersebut. Reinforcement
atau penguatan juga berpengaruh pada perilaku berikutnya. Ada
dua bentuk reinforcement (penguatan) yang kita lihat dari percakapan tersebut
yakni “integritas diri” dan “rasa bersalah” pada lingkungan (orang tua,
saudara, sahabat, teman sebaya, guru). Integritas diri merupakan suatu proses
bukan hasil, penjabarannya saya tautkan dengan link integritas. Rasa bersalah dugunakan
sebagai salah satu penentu ukuran integritas tersebut.
***
Ini tentang budaya.
Di beberapa negara Eropa dan China, ada budaya seorang anak
berusia tujuh belas tahun pantang menerima uang saku dari orang tua. Sedini
mungkin orang tua mereka mengajarkan untuk mandiri. Lingkungan pun sepakat
dengan hal tersebut. Terbentuklah konsep diri “malu” jika tidak bisa
mendapatkan uang dari bekerja part time atau wirausaha. Guru mereka di sekolah
pun ikut bertanya, adakah muridnya yang belum bisa menghasilkan uang sendiri.
Bahkan bekerja mandiri menjadi suatu kebanggaan diantara teman-teman sekolah
atau lingkungan mereka. Hingga diusia dewasa awal mereka tidak gagap mengatur
keuangan, tidak kaku berinvestasi, tidak deg-degan dengan kegagalan usaha,
tidak khawatir dengan persaingan bisnis. Budaya itu tentu tidak instan. Turun
temurun dari orang tua mereka, kebiasaan yang diulang-ulang, pengalaman yang
tidak putus, dan ada reinforcement yang padu membentuk “integritas diri” dan
“rasa bersalah” pada lingkungan.
Kita semua bersepakat ya, bahwa perubahan suatu bangsa
disokong oleh perubahan masyarakatnya, perubahan masyarakat didukung oleh
perubahan keluarga-keluarga kecil di dalamnya, dan perubahan keluarga kecil itu
dimulai dari perubahan individu-individunya. Wajar dong kalau negara-negara
tersebut kuat ekonominya, tidak bergantung hutang pada negara lain lalu mudah
disetir.
***
Tidak bisa cepat, sederhananya, kita harus mengawali sejarah membentuk sebuah budaya baru.
Sampai hampir kusut otak saya berfikir, masih juga belum
menemukan cara cepat untuk menuntaskan masalah korupsi di negara kita. Kalau
faktanya korupsi di Indonesia sudah akut, jalan satu-satunya adalah operasi.
Sayangnya tidak ada dokter juga yang berani mengoperasi sakit korupsi di negara
kita ini. Sejarah membuktikan, sembuhnya negara-negara terkorup di dunia pun
tidak hanya dari resep obat peraturan hukum pemerintah, tetapi juga kesadaran sel
terkecil dari tubuh bangsa itu untuk sembuh.
Nah, saya kira ini langkah awal mencegah korupsi. Sulit
tetapi butuh. Pelajar, orang tua, guru, lingkungan butuh memiliki kesamaan
konsep bahwa : mencontek berarti tidak percaya diri, tidak percaya diri sering
berakibat kita tidak mandiri, tidak mandiri mengurangi bahkan menghilangkan integritas
diri. Konsep ini harus diulang-ulang oleh media, digelontorkan oleh guru di
sekolah, dikuatkan oleh orang tua di rumah, sehingga menjadi sebuah kebiasaan
anak-anak muda generasi penerus bangsa ini. Kita akan tetap menaruh sikap
mencontek (latihan korupsi) pada tempatnya, yaitu salah. Bukan ala bisa benar
karena biasa.
Saya sadar bahwa solusi di tulisan saya ini normatif. Tetapi
saya sudah membuktikan melalui cerita saya di atas dengan salah seorang adik
kelas, dan saya terus melakukan pendampingan tersebut, beberapa kelompok yang saya dampingi justru semakin giat
belajar, menggunakan waktunya untuk menggali pelajaran, tidak sempat tawuran
atau melakukan hal-hal tidak bermanfaat dan semakin percaya diri dengan tidak
mencontek.
***
Kepada KPK dan mungkin pemerintah.
Khusus untuk KPK. Menurut pendapat saya, penangkapan pelaku
korupsi adalah obat untuk penyembuhan jangka pendek bagi pelaku. Sedang yang
kita butuhkan saat ini adalah pencegahan, karena bibit-bibit keturunan pelaku
korupsi itu masih ada dan terus lahir, apalagi terkadang pupuk media tidak mendukung,
menyimpangsiurkan informasi, dan jarang mengambil kesimpulan yang mendorong
pencegahan korupsi.
Saya tidak tahu apakah sudah ada duta anti korupsi di sekolah-sekolah.
Prosesnya duta-duta itu adalah perwakilan dari tiap sekolah yang ditraining
integritas dirinya, difasilitasi dan dijadikan model di sekolah, digunakan
sebagai media untuk mempengaruhi teman-teman sebayanya melalui noton bareng
film “Kita versus Korupsi”, stiker, blog, facebook, twitter, dan media lainnya.
Serius, saya pribadi kesulitan jika sudah berbenturan dengan orang tua mereka,
guru-guru mereka yang memandang sebelah mata sebuah kejujuran. Fase pencarian
jati diri adalah masa yang efektif bagi para remaja atau pelajar bertemu dengan
konsep positif integritas diri - sebagian sudah saya paparkan diatas. Kita harus
membuka peluang pertemuan mereka dengan nilai-nilai tersebut, sebanyak dan sesering
mungkin, simpel, agar mereka terbiasa. Terbiasa tidak menyontek, terbiasa tidak korupsi.
Demikian, jurnal ini dibuat dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Yogyakarta, 28 November 2012 - 23:45
by : Desti Purnamasari
tulisan inspirasi di blog saya yang lain : http://destipurnamasari.multiply.com/journal/item/151/Keluhan-anak-SMA-Ortu-Maunya-Saya-Nyontek
sumber bisa langsung klik pada kata yang terkait sumber
sumber bisa langsung klik pada kata yang terkait sumber
BalasHapusSenang rasanya bisa berkunjung ke website anda" mudah-mudahan
infonya bermanfaat Terimakasih sudah berbagi