HALAMANKU

Senin, 07 September 2020

Kajian Pra Nikah Kala Itu

Pas masih Jombloh, saya pernah mengikuti kajian Pra-Nikah di Gedung KOPKAR PKT. Pembicara saat itu mengatakan kurang lebih begini :

Satu hal yang seringkali dilupakan oleh banyak wanita adalah bahwa kemuliaan wanita tidak bergantung pada pasangan laki-laki yang mendampinginya. Tahu darimana?


Allah meletakkan nama dua wanita mulia dalam Al Quran: Maryam dan Asiah.

Kita tahu, Maryam adalah wanita suci yang tidak memiliki suami, dan Asiah adalah istri dari manusia yang sangat durhaka, Firaun. Apakah status itu mengurangi kemuliaan mereka? NO!

Itulah mengapa, bagi wanita di zaman Rasulullah dulu, yang terpenting bukan mendapat jodoh di dunia atau tidak, melainkan bagaimana memperoleh kemuliaan di sisi Allah.

Mendengar itu saya pikir "eh iya bener juga" bahkan setelah sampai rumah, ingatan itu masih membekas menjadi catatan.






Tetapi besoknya saya langsung doa kenceng "ya Allah, hamba bukan Maryam ataupun Asiah, please jangan selevel Firaun juga jodohnya, berat ya Allah tak sanggup, please, sebelum ketemu tolong tuker dulu sama dia yang baik dan ada soleh-solehnya dikit gpp ya Allah, dan semoga ia ikhlas menerimaku apa adanya ini..."

Aamiin...

Bu Tejo atau Yu Ning, siapa yang benar?

 (Sekedar sudut pandang pribadi - Desti Purnamasari)


Karakter Bu Tejo yg percaya diri, dominan, ceplas ceplos dan suka menjadi pusat perhatian. Bagaimana karakter itu dibangun? Perhatikan pilihan pakaiannya, berjilbab tp lengannya sesiku, supaya apa, supaya gelang emasnya gak ketutup, pemilihan warna lipstik yg cetar, jilbab dengan bros gede ala pejabat.

Yu Ning secara karakter dibuat lebih polos. Motivasinya mengajak tetangga2nya utk tilik (menjenguk) bu Lurah yang sedang sakit karena ia peduli. Sesederhana itu. Empati menjadi aksi.

Pertanyaannya kenapa Bu Tejo mau diajak Yu Ning capek-capek naik truk bareng ibu-ibu lainnya?

Disinilah menariknya. Tilik rombongan menjadi moment bersama ibu-ibu sekampung. Selama perjalanan beramai-ramai itu Bu Tejo mendapat celah mengungkap informasi yang didapat dari data fakta media sosial. Didukung riset medsosnya itu, Bu Tejo tidak ragu mempengaruhi orang-orang disekitarnya.

Sementara Yu Ning, yang mendengar berita 'panas' dari Bu Tejo, ia tak kuasa berdiam diri. Yu Ning angkat bicara untuk membela rasa empatinya. Menurutnya itu fitnah, karena kita tidak wawancara langsung dengan yang bersangkutan.

Film ini sakjane mengarahkan penontonnya mengambil posisi. Sebagai ibu, anak, suami, tetangga, sejujurnya kita berada di pihak yang mana? Bu Tejo atau Yu Ning?
(Kalau saya sehati dengan Yu Nah )

Akhir cerita, plot twist. Sosok yg jadi tema julid Bu Tejo selama perjalanan muncul dan menjawab teka-teki itu. Seolah-olah jelas sudah siapa diantara Bu Tejo atau Yu Ning yang benar?!

Karena adegan itulah, umumnya netijen auto berpihak pada Bu Tejo. Tetapi ya belum tentu kita boleh auto mencontoh Bu Tejo.

Bagi saya pribadi, Bu Tejo memang ada BENARnya saat mengatakan jangan hanya menggunakan medsos untuk nggaya tok, tapi untuk mencari informasi. Hanya saja Bu Tejo sendiri lalai mengkonfirmasi langsung "tersangka". Info hanya didapat dari apa yang ia lihat. Jika penonton lebih teliti lagi ada kepentingan pribadi seperti isu popularitas, isu jabatan (lurah), diselipkan di sana. Plus bumbu-bumbu nyinyir.

Meskipun Yu Ning ngotot dengan prasangkanya padahal juga tidak mendapat informasi pasti, tetapi BENAR lah saat ia menyanggah bahwa kita tidak boleh menyimpulkan secara sepihak sebuah berita, jika belum terkonfirmasi/tabayun. Dan untuk ketulusan Yu Ning sregep ngajak tilik orang sakit, ia layak diacungkan jempol. Jauh lho itu.


Aih, inilah kejadian sehari-hari di tengah kita semua. Kalau berkaca mgkn kita pernah seperti Bu Tejo atau Yu Ning tipis-tipis. Kadang benar kadang salah. Yaa yang penting kita belajar tidak merasa paling benar.


Btw, yang jelas tidak bisa dibenarkan oleh ibu2 adalah sugardaddie yang ngasih janji manis tanpa kepastian. 😤😤

MERAWAT TANAMAN BERKARAKTER

Teteh : "Aglaonema jangan sering-sering disiram, itu tanaman tipenya nggak suka air, trus tempatnya teduh ya..."

Akang : "Kaktus itu disemprot2 aja jangan diguyur nanti akarnya busuk kalau kebanyakan air, diberi jeda deh seminggu sekali..."

Akang : "Kalau yang ini harus rutin nyiramnya, dia warnanya cerah kalau kena matahari, kalau teduh malah jadi redup..."

Teteh di kebun lain : "Ini kalau di tanah lebih cepat tumbuhnya drpd di pot."

Saya di toko lain : "Oh saya salah berarti kemarin tanahnya kurang, pantesan layu ya Miana nya"

Akang : "Iya Teh, memang beda-beda."

Beberapa hari belakangan saya hunting tanaman, dari kebun satu ke lainnya. Sungguh, banyak hal yang baru saya tahu, sama-sama tanaman hias tetapi bisa beda banget perlakuannya. Masya Allah, Allah tu emang keren banget! Akang dan Teteh penjual itu jeli sekali menasihati saya untuk merawat masing-masing bunga. Salut, mereka telaten sekali merawatnya.

Kadang-kadang di toko berpapasan dengan ibu-ibu bermobil mewah yang mengangkut Agalonema yang merah banget, Monstera yang gede banget, Kaktus Koboi beserta pot antiknya, dan tanaman-tanaman hias yang harganya sampai jutaan rupiah.

Saya mbatin : "Wah dibela2in, si ibu pasti ngerti ngerawatnya.

Andai Akang Teteh penjual ini nggak tau gimana cara merawat tanaman itu, nggak telaten ngasih pupuk, salah takaran air, atau merawatnya pukul rata ke semua tanaman, mungkin tanaman-tanaman itu tidak ada harganya, busuk, mati dan dibuang.

Lalu aku terbesit, akang teteh dan ibu itu kalau punya banyak anak di rumah, pasti beruntung, boleh jadi mereka juga jeli merawat anak-anaknya. Anak-anaknya ditumbuhkan sesuai dengan tipe genetik serta karakternya masing-masing, telaten disupport, dan tidak pukul rata.

Kalau ada anak yang jadi stress karena dijejali matematika, tidak diguyur terus-terusan, diberi ruang untuk mengembangkan bakatnya dibidang lain.

Kalau mereka ingin anak-anaknya kuat menghafal, tidak pukul rata hafalan dengan cara yang sama. Ada yang pakai audio ada yang visual saja cukup.

Ada tipe anak yang lebih suka bergerak, tidak dicap anak hiperaktif tetapi diberi wadah yang berbeda. Ada anak yang lebih suka belajar dalam ruangan, tidak dibanding-bandingkan dengan yang temannya banyak banget.

Aih... pasti pasangan akang teteh ini bahagia pula, nggak dibanding-bandingkan dengan pasangan orang lain karena setiap pasangan itu unik ngerawatnya, seperti tanaman-tanaman itu. Hahaha lamunan saya buyar saat ditanya

"Jadi beli yang mana teh?!"

Saya cermat-cermati, sepertinya saya lebih suka jenis miana yang warna-warni cerah ini deh, lebih hidup diluar ruangan, dan lebih murah. Karakternya kok mirip #Sensing gitu.

"Oke ini aja, ambil dua diskon ya Kang?!" (tetep nawar duhaiii wanita)

"Iya deh, angkut!"

Alhamdulillah.....tabarakallah….

Tulisan ini saya copas dari FB (jaga-jaga hilang dari timeline hehe)




Jumat, 31 Juli 2020

Protokol atau Konspirator. Siapa yang harus dikorbankan demi diri kamu?

Ya tidak mengapalah yang bertumbangan tenaga medis, dokter-dokter itu mereka kan sudah kaya, setidaknya mereka masih bisa bekerja walaupun begitu kondisinya. Resiko lelah sampai meninggal, tetap masih punya cadangan uang yang cukup untuk hidup dan kalaupun mereka kewalahan atau marah tidak akan parah, tidak akan sampai melakukan hal bodoh, kan dokter pada pinter-pinter. Masa kalau marah mau maling tetangga? ngejarah mall? 

"Tapi kalau yang dikorbankan masyarakat kelas menengah kebawah seperti kita ini Mas, yang lulusan SMP ke bawah, yang seumur hidup bekerja sebagai buruh atau pekerjaan dengan upah harian tidak sempat mengenyam pendidikan yang cukup, hidup di lingkungan yang kurang pendidikan. Kalau tidak bisa makan sendiri bisa sabar tapi kalau sudah berkeluarga bagaimana, apa tega istri anak gak makan, tapi gimana caranya? Pekerjaan berhenti, tabungan seadanya sudah habis. Kalau kita ga bisa mikir ya langsung ambil jalan gampang. Nyuri." 

Kalau masyarakat seperti mereka kewalahan dan marah, kadang-kadang sudah sulit diajak kompromi, karena basic need sebagai manusia harus terpenuhi. Mereka merasa diperlakukan tidak adil, saat mereka melihat orang-orang kaya hidup mewah, rumah besar, mobil mentereng. Mereka pikir diambil sedikit saja tentu tidak akan mengurangi jatah makan mereka. Diambil motornya, masih punya mobil dan gaji bulanan untuk beli motor. Diambil dompetnya, masih punya rekening bank terisi tabungan berencana. Diambil sepedanya, masih bisa beli sepeda lagi. Diambil anaknya, diculik karena katanya sayang anak, uang mereka pasti banyak. Kalau mereka marah mereka menjarah.

"Saya tu bukannya nggak berusaha lagi ya tho mas. Karena anak butuh biaya sekolah, ditambah harus beli fasilitas tambahan supaya bisa sekolah online, saya nyoba bisnis sama temen saya. Ehlahdalah malah ketipu. Uang tabungan saya sisa sedikit, ngerti ditipu gitu saya nggak usah buat modal bisnis mending buat makan. Orang kok jahat tho ya, dikira saya nggak bisa jahat juga."

Sedihnya masih ada orang serakah yang memanfaatkan keyakinan orang "kepepet" ini untuk keuntungannya sendiri. Tidak semua orang pemaaf, bahkan ada yang menjadikan itu contoh. Ketika perut memberontak, logika dan empati sering terabaikan. Untuk orang-orang seperti ini bagaimana kita yang "berpendidikan" ini menasihatinya? Dengan makalah penelitian kedokteran terbaru? 



Ditambah lagi jika orang-orang seperti ini seolah-olah dibela oleh artis favorit mereka. Para femes person itu bilang : Covid-19 itu adalah konspirasi yang hanya menguntungkan rumah sakit, dokter, dan pengusaha vaksin. Mereka kaya kita sekarat! Kita juga dibuat cacat otak pakai thermo gun, supaya apa? Supaya kita berobat dan mereka lagi yang dapat untung. Ayo kita lawan! Tapi mereka cuma berani sounding lewat medsos. Paling banter jualan kaos! Situ yang beli nggak ngerasa dijualin?

Terusss yang ngebelain mereka itu bukan hanya yang "sekarat" hidupnya. Tetapi sebagian mereka masih aman tentram tapi terusik gaya hidupnya. Nggak bisa ngumpul, nongki cantik di cafe, nonton konser, traveling, deesbre deesbre. Saat mereka kena covid-19 pas lagi enak-enak, mereka masih punya uang buat berobat, jadi gapapalah ya "gue" sepakat konspirasi itu. Tapi yang nggak punya cukup uang dan kena covid-19, mau kemana? Ga ke rumah sakit dong, tapi semakin nular-nularin ke yang lain karena otaknya udah percaya bahwa covid-19 is a prank! Ah ini cuma flu biasa. What a life.

Di Indonesia jumlah orang yang berpendidikan tinggi lebih sedikit. Itu juga baru status pendidikan, belum menggambarkan kualitas hasil pendidikannya. Ada yang sekolah dan kuliah tapi masih "bego"? Adaaa.... Pura-pura bego demi keuntungan ada? Banyaaakkk..... Yang mau tanggung jawab atas kebodohan dan kepura-puraan mereka siapa? Apakah setelah mereka bilang covid-19 itu konspirasi, kamu percaya, eh terbukti keluargamu kena? Bisa nggak minta mereka ngobatin? Nggak bisa sayaaangg..... Nggak bisaaa... mereka cuma bisa ngomong di medsos! pansos! Dan kalian bikin mereka kaya secara nggak langsung. Berita mereka viral, medsos mereka melejit, iklan banyak, mereka makin kaya, kamu makin bego dan ketularan covid-19 karena terlanjur percaya mereka buat nggak ngikutin protokol kesehatan.

Saya nggak ngerti gimana perasaan kalian datang ke dokter, pas didiagnosa ternyata kena covid-19. Eh rupanya kamu adalah para kaum masa bodoh dengan protokol kesehatan karena bela mati-matian artis kesayangan yang nyebarin covid-19 tanpa bukti. Kalau dokter itu tau kamu golongan hoaxer, sesungguhnya dalam hati mereka ingin sekali ninggalin kamu, tapi mereka gak tega. Tapi konspirator2 itu? Mereka sejak awal sudah tega. Kalau kamu kena covid-19 ya tanggung sendiri dong, kita kan cuma "menginfokan", keputusan ada di kamu.  Motif yang sama dilakukan para tenaga medis, kita menginfokan supaya jaga diri baik-baik, kalau terlanjur sakit yaudah sini saya bantu. 

Sekarang kamu mau pilih berkorban demi "artis" konspirator itu atau untuk mematuhi protokol kesehatan?  













Rabu, 03 Juni 2020

Pura-Pura Lupa dan "New Normal"

Wajar kan kalau manusia lupa. Setingan otak manusia itu memang harus ada lupanya. Bahkan kadang lupa itu anugerah. Bagi seorang penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), bisa lupa pada hal yang bikin trauma di masa lalu itu cita-citanya. 

Lupa sama orang lain, atau dilupakan orang lain pun hal yang sangat wajar. Andai bisa, kita ingin sekali mendelete hal-hal buruk, menyedihkan dan memalukan, serta menyimpan hal-hal bahagia di masa lalu. Namun diantara memori-memori itu ada hal menyenangkan yang peristiwanya terangkai dengan adegan yang bikin pilu. Sekalinya teringat kejadian itu, tawa dan tangisan menjadi satu. Ada kan? 

Herannya, entah kenapa, meski ini otak kita, tetapi kita tak punya kuasa untuk mendelete file-file tersebut seperti menghapus foto-foto alay di galeri smartphone. Sampai-sampai ada yang bikin lagu "Pura-pura Lupa". Sanking berusahanya buat lupa, ya coba pura-pura saja berharap nanti jadi lupa beneran. Bisa? Bahkan ada yang hujan-hujanan ngarep tu air hujan bisa melunturkan sakit hatinya. Sekalian wudhu aja deh buat ngelunturin dosa-dosa. 


Kalau dipikir-pikir lagi, seberapa efektif kah menerapkan sikap "pura-pura lupa"? kemudian, apa sih yang sebenarnya ingin kita hilangkan dari ingataan kita? 



(sumber gambar : google)

Menurut saya ini menarik, bahwa ada hal-hal atau peristiwa yang kita ingin banget terlupa, tapi kok ya masih inget terus, hanya saja.... perasaannya, feelnya, hawa-hawanya itu udah gak seemosional dulu. Seolah-olah, ya gapapa sih keinget udah santuy aja gitu. Dan kita tidak lagi merasa itu sebagai memori yang perlu banget kita delete permanent dari recycle bin. Kalau keinget yaudah kalau lupa ya lupa. Kita bersyukur karena hati menjadi lebih selow meski masih ingat kejadiannya. 

So, ini kuncinya. Kita ingin menghilangkan emosinya. Biar jadi tenang. Semoga kita disadarkan pada setiap peristiwa yang ingin kita ingat atau lupa, ada Allah di situ. Kalau memang masih emosional banget, bilang ke Allah supaya hati kita dijadikan lebih terkontrol. Nantinya kalau kita disibukkan sama Allah dengan hal-hal berfaedah insya Allah tanpa kita minta bisa lupa sendiri, dan tanpa kita inget eh pas sekelebat muncul, kita udah punya sikap. 

Kalau yang keinget itu dosa kita jadi lebih sering istighfar, kalau itu musibah kita jadi lebih sering sedekah, kalau dapat hikmah kita jadi sering bilang Alhamdulillah. Pokokmen jadi lebih kalem gitu. Kita kayak jadi pribadi yang "new normal" gitu. Hehehe apa aja dikaitin sama "new normal" dah. 

Ingat Allah, Allah ingat kita. Banyak ingat Allah, insya Allah akan lebih banyak syukur, kalau udah banyak syukur, kejadian gak nyaman di masa lalu lambat laun jadi debu, fuh, seolah hilang. Syukur dan tenang itu kayak sistem imun yang menjaga kita dari gundah karena teringat masalalu yang ingin dilupakan.  Tanpa perlu vaksin sebenarnya kita bisa mengusahakan itu dari diri kita sendiri. Meskipun kadang nggak hilang total tetapi kitanya udah berdamai. Cie.


~ pas baca ulang tulisan ini, eh kok kagum sendiri ya sama penciptaan manusia, masya Allah ~





Jumat, 29 Mei 2020

Persepsi "New Normal" ?

Ibu kota ini sudah sangat sumpek. Setiap hari  warganya berebut udara bersih. Tetapi kota gula ini memang sulit ditinggalkan oleh semut-semut pekerja.


Pandemi COVID-19 agaknya membuat sebagian warga ibu kota memilih kembali ke kampung halaman. Disebabkan karena telah kehilangan mata pencaharian atau memilih sakit tapi dekat dengan keluarga daripada sakit sendiri di perantauan. Semut-semut berharap, setidaknya ada yang lebih manis di daerah asalnya.


 


Pemerintah pusat tidak lagi punya pesona untuk mengendalikan warga dan penyebaran virus COVID-19. Pemerintah daerah sebagian merasa terpanggil untuk berlomba-lomba memberikan yang terbaik bagi warganya.

 

Terlintas dalam pikiranku, biarlah-biarlah semut-semut itu pulang saja dan berkarya di sana. Tidak usah kembali ke ibu kota. Sambutlah-sambutlah mereka wahai pemerintah daerah, bangun kota-kotamu. Otak mereka para pekerja ibukota seharusnya sudah bisa diandalkan untuk membangun desa.

 

Setidaknya tangan-tangan mereka bisa digunakan untuk membangun lumbung-lumbung kehidupan baru di sana. Kelak kita tidak perlu lagi impor, karena lumbung-lumbung itu sudah hidup di daerah masing-masing. Kita hanya perlu order ekspedisi lokal untuk bertukar komoditi. Sembari para muscle knowledge negeri ini merevisi undang-undang, kita siapkan dengan baik apa-apa saja yang siap diekspor nanti.

*** 

"New Normal". Bukan hanya sekedar pakai masker keluar rumah, cuci tangan sebelum ngapa-ngapain, atau minum lebih banyak suplemen.

Aku berharap "New Normal" akan seperti lintasan pikiranku di atas. Sesuatu yang baru dan itu normal. Negara kepulauan terbesar Asia Tenggara menjadi super sejahtera adalah hal “baru” dan sejak dulu itu adalah cita-cita “normal” warganya .

 

~ Sudah tiga tahun blog ini terbengkalai Ferguso. Kaku lagi jemari menulis, tetapi harus dipaksa. ~