Sudah lama tidak mendengar kata "kompak". Terakhir kali mengucapkan kata kompak, hmm SMP saat latihan pramuka. Menit ini, di depan lapie sambill mengingat kata "kompak" itu saya menyadari bahwa ia punya senior yang bernama sinergi. Hari ini, saya lebih bisa memahami apa itu sinergi karena pernah ditempa menjadi anak-anak yang kompak. Oke, kita perlu mencari di kamus, apakah kedua kata ini memiliki nasab yang sama. #tapimales
Tahukah teman-teman, ternyata sepengalaman saya belajar kompak itu gampang-gampang susah. Ini yang saya ingat ketika mendalami ilmu "kekompakan" versi pramuka SMP. Masa itu kami latihan rutin dengan kakak-kakak senior. Baris-berbaris dan praktik kedisiplinan. Saya akui itu menjadikan kami lebih sehat (baca : hitam dan berotot) serta lebih tepat waktu dibanding siswa-siswa lainnya. Eh kok ke sini ceritanya. Balik ke kompak. Jadi, pertemuan pertama pramuka, kami latihan hadap kanan hadap kiri, mudah bukan? Faktanya tidak semudah itu jika dilakukan berbarengan. Awalnya kita dilatih satu per satu, biar benar teori dan teknisnya.
Contoh :
Hadap kanan. Kaki kanan ke depannya kaki kiri agak serong, kemudian bahu menyusul, lalu kaki kiri berputar 90 derajat sejajar bahu, jangan lupa kepala juga, terakhir kaki kanan menutup sejajar kaki kiri, posisi tegap, artinya kaki kanan tidak boleh terlalu dempet dengan kaki kiri, ntar jatuh. Oya, mulut tertutup sempurna, mata menatap ke depan, tegas. Hitungannya satu - dua - tiga. Terus-menerus sampai akhirnya per orang melakukan dengan tepat. Setelah semua bisa, tahap selanjutnya adalah dalam tenggat waktu yang sama, hitungan yang sama kami bersepuluh melakukan perintah hadap-hadap itu dengan kompak. Kenyataannya lagi jika minggu ini kami berhasil kompak (setelah satu jam nonstop latihan kayak robot), minggu depan belum tentu kami bisa melakukannya kembali. Oh my! Hadap kanan grak! Tap tap tap! Nggak kompak! Ulangi! Kami melakukannya tiap minggu, bahkan ketika akan lomba antar sekolah, kabupaten, provinsi, hingga nasional kami bisa punya jam extra untuk latihan baris-berbaris itu, lebih dari hadap2, jalan di tempat, maju jalan, berhenti, lari, bahkan istirahat puuun kita harus kompak.
Dari semua latihan kekompakan itu, ada yang paling saya suka : yel-yel. Yah, kami mengarang lagu singkat untuk menyemangati regu kami sendiri (read : show up/pamer). Salah satu dari kami tidak hafal teks, fatal! Kami berlatih tanpa jemu. Tidak kalah penting dalam menjaga kekompakan kami adalah kaos, sepatu, warna tongkat, bahkan warna kulit (otomatis hitam) disamakan. Tiada sia-sia latihan, kami lebih sering menang dalam setiap perlombaan. Ya. Demi yang namanya kompak, kami mengorbankan banyak waktu, energi, dan fokus. Kami bahkan rela dihukum bersama apabila salah satu dari anggota regu tidak kompak. Gak dibayar pula. Ciyeee, kurang apalagi coba. Boleh dibilang, kekompakan itu adalah nyawa regu. Sebenarnya kompak hanyalah sarana, kami bersepuluh seperti ditanamkan jiwa kemenangan dan optimisme. Itu poin tersiratnya. Mati-matiannya kami untuk kompak tidak lain untuk meraih kemenangan dan perlahan menjadikan kami orang-orang berkarakter. #asek
Kami bertemu setiap hari di sekolah, latihan setiap minggu, kami sebaya dan punya passion yang sama, itu nilai unggul membuat kami lebih cepat kompak. Ya saya mengamati regu lain saat kami lomba. Intensitas pertemuan dan disiplin latihan itu yang tidak ditempakan. Saya bersyukur melewati fase remaja kompak dengan pramuka.
Di awal tulisan ini, saya bilang lebih memaknai "sinergi" karena pernah kompak. Enak ya kalau pemimpin-pemimpin negeri kita bisa kompak. Tampaknya semakin bertambah usia ego manusia semakin tinggi, semakin sulit diajak kompak. Saya merasakannya sendiri, dengan teman-teman sebaya, kakak kelas, orang tua, dosen, guru, atasan. Sepadan dengan itu, pastilah pemimpin-pemimpin kita juga merasakan hal yang sama. Jika persoalannya adalah hal-hal teknis seperti berbaris, kebanyakan orang yang dilatih terus menerus bisa melakukannya dengan kompak. Tetapi persoalan bangsa ini bukan hal teknis kan teman. Otak dan hatinya menteri pendidikan dengan otak dan hatinya menteri pertahanan dengan otak dan hatinya menteri pertanian sulit dikompakin, secara bukan robot, tapi bisa dong disinergikan. Nah, disiniah lebih cocok digunakan istilah sinergi seniornya kompak, menurut saya loh. Bersinergi ditingkat pemimpin (dari kepala rumah tangga sampai presiden) dasarnya seperti kompak. Kita harus sering bertemu, sering latihan menggugurkan ego pribadi, bersedia menanggung beban teman yang salah dan memperbaikinya bersama. Tidak perlu baju seragam sama (haha) yang penting visi kemenangan tertanam menjadi tujuan kita bersama. Indah ya. Mungkin pemimpin-pemimpin kita belum bisa bersinergi karena dulu latihan kompaknya masih kurang. Sering ketemu sih (rapat, rapat, pertemuan) tetapi entah kenapa belum bisa menurunkan kadar ego dan meningkatkan rasa pengorbanan lalu memperbaiki masalah bersama.
*Tulisan tengah malam ditemani hujan.
Nite. Mimpi in Indonesia dipimpin oleh pemimpin2 luar biasa yang bisa bersinergi.
BalasHapusinformasi sangat membantu sekali,mudah - mudahan artikel ini bermanfaat untuk semuanya.
trimakasih atas kunjungannya .