Minggu, 15 September 2013

Kadang kala dengan pengetahuan atau perasaan cerdas yang sedikit lebih baik dari orang lain kita jadi melangit. Istighfar. Mari merendah hati...

“Sejak dulu kami menyepakati,” demikian tulis Imam Ahmad ibn Hambal, “jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
Tidak menghina orang baik itu perkara yang wajar adanya. Akan tetapi, tidak menghina mereka yang (sedang) tergelincir dosa butuh kesungguhan juga. Ini bukan pekerjaan sederhana. Betapa sering kita memperolok orang lain yang sedang terpeleset dan berperkara. Mengejek mereka sambil memicingkan sebelah mata.
Alih-alih menginstrospeksi diri, kita malah menyibukkan diri untuk menjadikan mereka yang tergelincir dalam kekhilafan sebagai bahan gunjingan. Maka, sekali lagi, betapa sering kita dengan sikap jumawa mempertanyakan, “Kok bisa dia berbuat sekerdil itu?” Seakan kita merasa sangat yakin bahwa kita akan mampu melampaui ujian serupa. Sungguh, hanya kepada Allah kita memohon pada Allah agar mengistiqamahkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya.

Ketika seseorang menghina saudaranya yang tergelincir kesalahan, pada saat bersamaan ia sedang menggelincirkan diri pada kesalahan yang bersebab kesombongan. Jumawa bahwa dirinya lebih baik.

Sungguh perkataan Sufyan bin Uyainah patut kita renungkan.
“Siapa yang kemaksiatannya terletak pada syahwat, maka taubat bisa diharapkan darinya. Sebab Adam a.s. bermaksiat karena keinginan syahwat, ia bertaubat lalu diampuni. Sementara jika kemaksiatannya terletak pada kibr (kesombongan), maka aku khawatir is sebagai orang yang dilaknat. Iblis bermaksiat karena kesombongan karenanya ia dilaknat.” Begitulah yang terjadi, ketika seseorang menghina saudaranya yang tertimpa kesalahan, ia sendiri tidak menyadari bahwa penghinaan yang dilakukannya adalah kesalahan yang lebih parah.
Apa yang diperoleh dari menghina? Pahala dari Allah berupa jaminan surgakah? Atau bertumpuknya keburukan dan kehinaan diri? Alangkah indah manakala kita bersibuk menelisik diri daripada menguliti saudara sendiri.
[...]
Ketika media mempermudah jangkauan untuk mengetahui ruang-ruang pribadi seseorang, seringkali kita menjadi latah untuk mengomentari. Kita pun menjadi tak sadar sedang digiring ke arah tradisi pergunjingan yang tiada manfaat. Kita mendadak menjadi gampang mencela dan mudah dibuat kecewa pada hal-hal yang tidak terlalu penting. Betapa hal-hal demikian sangat menguras energi dan mudah membelokkan orientasi; dari semangat beramal ke arah hasrat pergunjingan.
Na’udzubiLlahi min dzalik.
[...]
Agama ini melarang seseorang untuk mencaci dan menghina orang yang melakukan kesalahan. Pada yang berdosa saja kita tak boleh mencelanya, apalagi pada mereka yang kesalahannya belum diputuskan benar tidaknya. Puncak tertinggi dari masyarakat Muslim adalah menegakkan hukum sesuai yang dituntukan Allah, dan bukan menyibukkannya dengan cacian
dan hinaan.
[...]
Pada mereka yang sedang didera ujian, doakan semoga lekas terurai masalah. Jangan memperolok dan menghinakannya. Kita tak berharap ujian serupa ditimpakan atas diri kita. Begitu pula pada mereka yang gagal menghadapi ujian kehidupan dari Allah, kita panjatkan doa agar Allah menyayangi mereka yang berusaha memperbaiki diri. Berdoa pula agar kita istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya, lalu menuntaskan tugas hidup kita dengan khusnul khatimah.
- DB

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d