Sabtu, 05 Maret 2016

"Untuk apa berilmu, jika ilmu itu kau gunakan untuk merendahkan orang lain? Apa bedanya dirimu dengan iblis, yang merasa paling benar daripada Allah, iblis tanpa rasa bersalah memberikan pernyataan bahwa ia yang terbuat dari api tidak pantas bersujud pada adam yang terbuat dari tanah"


Suatu ketika saat membaca Alquran saya mendapati terjemah sebuah ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Lalu, saya searching hadist yang mendukung ayat tersebut :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah

Jumhur ulama menyepakati bahwa Ghibah dijatuhi hukuman haram. Haram pastilah dosa dan dosa bisa menyebabkan seseorang masuk ke dalam neraka. Nah, sebelum ayat 12 di Q.S Al Hujurat ada ayat sebelumnya yakni ayat 11 yang artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang (di olok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan-perempuan yang lain, karena boleh jadi perempuan yang (di olok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hujurat :11)

Ada penyebutan lebih detail di ayat tersebut yakni "perempuan-perempuan". Benarlah penyebutannya dispesifikkan pada kaum perempuan, karena prasangka identik dengan perempuan, sehingga ghibah lebih banyak dikonsumsi oleh kaum perempuan. Ketika ber"ghibah" perempuan merasa bahwa logikanya adalah prasangka, sehingga tidak akan berhenti jika belum dikupas sampai habis. Itu pula kenapa tayangan infotainmen dimoderatori oleh perempuan. Sedih ya.

Semakin jelas hadist Rasulullah saw yang mengatakan bahwa nanti di neraka akan lebih banyak kaum perempuan. Selain karena dosa aurat, disebutkan pula dosa lidah. Ya lidah ghibah. Seperti disebutkan di atas bahwa ghibah berujung di neraka. Karena ghibah tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya rasa hasad, iri, ujub, sombong, atau bahkan informasi yang belum tentu valid plus bumbu-bumbu yang disebut juga dusta fitnah. 

Fenomena.
Saya berinteraksi dengan seorang wanita muslimah yang sejak 3 tahun lalu ia menyatakan berhijrah. Tidak tanggung-tanggung, ia menyebut nama jamaah tempat ia belajar dan hijrah. Rasanya wow sekali melihat perubahannya secara kasat mata baik saat bertemu langsung atau lewat media sosial di facebooknya, pathnya, bbmnya. Solihaaah sekali. Namun tiba-tiba saat kami dalam perjalanan bersama, dia menyeletuk "eh bukannya mau ghibah ya, tapi mbok ya dia itu nggak usah gitu-gitu amat di Path, apalagi di BBM nya rasanya pengen nge-delete." Seketika pernyataan itu ditimpali oleh teman saya lainnya "emang ada apa di Path, si itu ya?" dan ghibah pun mulai diselenggarakan. Dilain waktu, terulang lagi "eh kalian tau nggak? kemarin dia update apa di medsosnya, astagaaah, sumpah lebay banget sih, padahal ya waktu aku ketemu dia..." jeng jreeng.

Tiba-tiba kekagumanku turun tujuh puluh lima persen. Saya tahu seharusnya saya berhusnuzhan bahwa mungkin ia belum tahu hukumnya, atau syarat ketentuan berghibah. Namun, sayang beberapa waktu lalu dia habis posting tentang Larangan ghibah di medsosnya. Hiks. 

Belum selesai sampai di situ. Interaksi berikutnya, ia dengan teman sepengajiannya menggunjing lagi. Lagi-lagi disebabkan kebiasaannya "kepo" medsos sasarannya. Saya heran, hampir setiap hari ia posting dan berbicara tentang bid'ah dan sunnah Rasul, bahwa ahlus sunah itu seharusnya begini begitu, wow ya, tetapi sekarang saya justru kesal. Rupanya yang merasa kesal bukan hanya saya, teman-teman saya yang lain pun merasa tidak nyaman lagi. Kalau boleh diungkapkan, ia melakukan hal yang kontradiktif, meninggalkan yang ia sebut bid'ah (menurut jamaahnya) tetapi tidak meninggalkan ghibah yang jelas-jelas di Alquran disebutkan zalim. Sedih. Nasihat? Ia sadar, tapi kadang suka nggak nahan, gitu penjelasannya untuk membela diri. 

Saya berfikir, apakah ia merasa benar dengan amal-amal sunnahnya yang lebih banyak daripada amal-amal sunnah kami, sehingga lupa mengoreksi dirinya sendiri. Merasa bahwa teman-temannya yang belum berhijrah sebaik dia layak untuk dibicarakan kekurangannya, karena ia merasa lebih tahu. Bahwa ketika ia bergaul dengan ustad dan teman-teman yang sudah berhijrah, lalu ia dan teman-teman hijrahnya itu merasa pantas membicarakan aib orang lain? Jadi itu yang ia lakukan bersama teman-teman pengajiannya yang lebih berilmu daripada kami? Merasa sudah berilmu lalu merendahkan orang lain yang belum. Tidakkah ia tahu bahwa dosa ghibah memakan ilmu dan amal sholihnya. 

"Apabila seseorang mencelamu dengan aib yang ada pada dirimu. Janganlah kamu mencelanya dengan aib yang kamu tahu ada padanya. Niscaya pahalanya untukmu dan dosa untuk dia.
(HR Ibnu Mani')

Heran. Sungguh heran. Medsos yang selama ini ia gunakan untuk memanjangangkan dakwah islam, disaat yang bersamaan juga digunakan untuk kepo kabar orang lain. Apabila situasinya "menguntungkan" bisa jadi hasil dari update status, foto, dan lain sebagainya yang sering diposting oleh pertemanan di medsosnya akan digunakan sebagai bahan untuk "ghibah". Habis kepo pasti kepikiran yang aneh-aneh, meski sekelebat, pasti sudah muncul tuh di kepala dan hati untuk berprasangka. Istighfar. Jadi menurut saya, kepo adalah istilah lain dari berprasangka, dari prasangka inilah lahir ghibah. Kalau boleh agak aneh, terjemah Q.S. Al Hujurat diganti begini "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan kepo, karena sebagian dari kepo itu dosa."  jangan ya. He. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa seorang yang berilmu namun kepo lalu menghibah, seperti kayu bakar yang terlahap api, jika tidak segera dipadamkan habis menjadi abu, lalu terbang tanpa bekas oleh angin dan disiram sapuan hujan. Aih duhai wanita (ngaca). Menurut hemat saya, meski ilmu sudah tinggi, jangan meremehkan dosa kecil-kecil. Kalau kata Salim A.Fillah, adab dalam berilmu itu juga harus dipelajari sebelum ilmu itu sendiri. Bisa jadi, ia mengaku tidak ghibah, tetapi melegalkan dirinya untuk kepo (prasangka), lama-lama tidak sadar bahwa ia benar-benar sedang ghibah padahal ia tahu ilmu tentang ghibah.

Meskipun saya tidak lagi menaruh simpati pada teman saya yang suka ceramah tapi kepo gak abis-abis, saya tidak meninggalkan serta merta. Lebih baik saya menghindarinya sementara, daripada ketularan rajin ngaji eh rajin kepo dan buka aib. Nauzubillah. Banyak hikmah yang didapat. Mungkin ini cara Allah memberikan pelajaran, sungguh ini sebuah gambaran berharga untuk saya, bahwa bisa jadi, amal saya luntur karena dosa yang terkadang saya lalaikan, meskipun saya berusaha keras untuk selalu merasa najis pada ghibah, saya harus lebih teliti melihat dosa-dosa lain yang mungkin terselip lalai.

Tulisan ini, sefaham saya termasuk yang diperbolehkan dalam "berprasangka" yakni tidak menyebut nama dan tidak menyebarkan aib tersangkanya. Ibarat di TV sebut saja namanya mawar, suara disamarkan, dan wajah diburemkan. Cukup diambil pelajarannya sambil berhusnuzhon ia tidak melakukan hal itu lagi. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir pelaku sejenis, hehe, hanya orang atau "geng" tertentu. Maksudnya tidak semua wanita yang sudah berhijrah melakukan kekeliruan dan kesombongan seperti cerita saya di atas.

Astaghfirullah. Semoga Allah swt menjaga saya dari perbuatan yang tidak saya sukai, dan hanya akhir hayat saja yang bisa menjadi gambaran kehidupan dunia seseorang. Semoga saya dan yang membaca tulisan ini khusnul khotimah. Aamiin.

Allahu'alam bisowab.

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d