Selasa, 15 Maret 2016

Abdurahman bin Auf. Seorang sahabat Nabi saw yang ketika berinfak maka nilai infaknya jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, bisa untuk memborong es cendol se Kalimantan Timur sekaligus gerobak dan abang penjualnya. Itu pun masih belum habis. Kalau beliau infak lagi keesokan harinya mungkin pulau Kalimantan bisa jadi lautan cendol.




Apa hubungan Abdurrahman dan Cendol? Kita bayangkan cendol ini bersantan putih, bercampur nangka kuning dan cincau hitam. Cendol putih, hitam, kuning. Jika cendol adalah target konsumen ideologis kita, maka menuntut infak adalah sesuatu yang niscaya selain menuntut ilmu. Kita memahami bahwa Abdurahman bin Auf adalah seorang pedagang sukses Madinah di jamannya. Kita semua juga tahu bahwa beliau pernah ditawari rumah juga istri namun ia memilih untuk jalan ke pasar. Andai boleh diumpamakan di jaman ini, ia adalah seorang imigran yang ditawari jadi pegawai perusahaan bonafit dengan gaji mentereng dan mudah memilih calon istri, tetapi ia memilih jadi pengusaha. Lalu, kemudian apa yang terjadi ketika pilihan itu dilakukan, mari kita baca kembali sirah seorang Abdurrahman bin Auf, tentu kita akan tersayat oleh kesuksesannya, kedermawanannya, serta kezuhudanya.

Faiza azamta fatawakkal alallah. Setelah memutuskan sesuatu maka serahkan semua kepada Allah swt. Kira-kira begitu yang terjadi dengan Abdurahman. Manusia mana yang tidak tergiur dengan fasilitas gratis? Bukankah itu takdir Allah swt pula. Tentulah ada dilema yang dialami oleh Abdurahman, hanya saja tidak segalau manusia jaman sekarang sampai-sampai susah move on. Ia bersegera memutuskan untuk menolak fasilitas tersebut, dan bersegera pula ke pasar untuk survei. Keputusan bulat dan biarlah Allah yang memberi inspirasi dan menyiapkan berkah rizkinya. 

Andai itu bukan Abdurahman bin Auf, Allah mungkin akan mengisahkan nama sahabat yang lain. Tetapi betapa indah skenario Allah, memantapkan hati Abdurahman untuk jadi teladan bagi kita. Terutama untuk para peniat bisnis yang sering berkeluh tentang tidak punya modal, sehingga niatnya tinggalah niat. Satu hikmah tercatat, tentang bersegera dan tawakal. Jika ingin berbisnis segeralah memutuskan dan terjun ke medan pasar. Modal, tak harus uang, awali dengan niat yang lurus dan tulus, itu adalah modal yang tak nampak namun utama adanya.

Hikmah kedua adalah taktik dagang Abdurahman. Diceritakan bahwa beliau memulai usahanya dengan menawarkan diri menjadi salesman sebuah dealer unta. Uniknya beliau membeli unta dari dealer resmi dengan harga 100 lalu dibawa ke suatu tempat untuk dijual dengan harga yang sama, yakni 100. Setiap harinya beliau berhasil menjual 100 ekor unta. Luar biasa bukan? Tetapi kalau dipikir darimana untungnya? Beli harga modal 100 dijual dengan harga 100 pula. Meski ia menjual 100.000 unta pun, bisa dipastikan tidak akan ada untungnya, kecuali lelah. Di sini kita tidak bicara tentang ikhlas dalam membantu orang, konteksnya kita sedang berbicara tentang bisnis. Bukanlah bisnis kalau tidak ada keuntungan (berkah). Jadi, darimana sumber uang infak Abdurahman bin Auf? Jawabannya sederhana. Seorang pembeli unta tentu tidak bisa menggiring unta tanpa tali, atau menunggangi unta tanpa pelana. Maka harga 100 itu adalah harga untanya saja, sementara tali dan pelana unta menjadi komoditi Abdurahman mendapatkan tambahan penghasilan. Firasat sang sahabat melaju cepat. Jika seorang membeli unta, kemungkinan untuk melakukan pembelian ulang unta adalah setelah unta yang sebelumnya mati atau sakit parah sehingga unta tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi. Bisa bertahun-tahun. Tetapi tali dan pelana bisa saja rusak dalam hitungan bulan. Nah, inilah kuncinya. Datang darimana ide kreatif ini? Tentunya dari rasa syukur terhadap modal sekecil apapun yang dipunyai pun diiringi kerja keras serta ketawakallan pada Allah swt.

Indonesia pernah menyebut nama Bob Sadino sebagai pengusaha nomer satu di negeri ini. Berkisah seorang laki-laki yang berniat untuk memulai bisnis lalu mengeluh kepada Bob. "Saya tidak punya modal, bagaimana ini?" Lalu Bob bertanya balik "Oke, saya akan kasih modal. Saya akan membeli dengkulmu senilai 500 juta. Mau?" Serta merta lelaki ini menolak karena tidak mungkin lelaki itu memotong dengkulnya untuk diserahkan pada Bob. "Kalau begitu, kamu sudah punya modal 1 milyar" balas Bob datar. Tak berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Abdullah Gymnastiar membangun peradaban Daarut Tauhid, yakni modal syukur. Mensyukuri dengkul, mengsyukuri lidah, mata, kepala, dan tubuh yang sehat.

Bukanlah ketiadaan modal yang membuat kita tidak berani memulai bisnis, melainkan kita takut jika Allah swt sebagai tempat bergantung tidak akan membantu kalau kita gagal dalam berbisnis. Betapa buruknya prasangka kita. Padahal Allah swt lah yang paling bahagia ketika dimintai hamba-hambanya yang solih. Atau jangan-jangan bukan Allah swt yang menjadi alasan kita berbisnis atau tempat satu-satunya meminta pertolongan? 

Istighfar. Perbaiki niat dan ikhtiar. Husnuzan dan berdoa semoga Allah swt menjadikan kita manusia sebaik manfaat, atau minimal menjadi penyalur rejeki manusia lain. Yes, being a boss in your own business.





Tulisan ini terinspirasi dari kelas enterpreneur Fitra Jaya Saleh (owner : raihanshop.com)
Samarinda, Maret 2016.

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d