Rabu, 22 September 2010



Bungkus rokok yang bagus. Sengaja q jepret waktu jalan-jalan di negeri orang beberapa waktu yang lalu.


Postingan ini terinspirasi dari Kuliah Psikologi Riset & Konsumen kemaren. Saya pikir di Indonesia tidak memberlakukan peraturan pengemasan rokok. Ternyata ada :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pasal 8 (ayat 1 poin i)

1 Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta

Pasal 17 (ayat 1 poin d)
1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
    d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

Rokok ala Indonesia, resiko pemakaiannya ditulis dengan font paling kecil, semakin kecil semakin bagus, trus ditaroh di belakang, kalau bisa dibungkus luarnya aja, biar kalau udah dibuka langsung dibuang. Nggak melanggar peraturan. Soalnya di undang-undang itu nggak dikasih ukuran pencantuman label informasi.

Di Eropa, kalau mau beli harus nunjukin KTP, harganya mahal, belinya juga mesti satu slot. Di Indonesia dibuat gampang aja belinya. Diecer boleh, jadi yang beli nggak sempat baca resiko pemakaian di bungkusnya, harganya yg bisa dijangkau anak SD.

Jangan lupa bikin iklan yang maco. Cari kuda yang gagah, jangan kambing apalagi keledai. Kalau bisa pake' bidadari. Sesekali bikin iklan yang menyentuh, biar dapet simpati juga. Eh jangan cuma iklan nanti pada nggak percaya. Sekalian bikin aksi sosial, misal bikin gedung olahraga, program beasiswa berprestasi atau kurang mampu, yang kreatiflah.





________
*Sebagai calon psikolog aq harus belajar peka terhadap VALS (value, attitude, life-style) yang sangat mempengaruhi tingkat pengkonsumsian suatu produk. Ternyata hanya masalah "sugesti".

50 comments:

  1. setuju banget, harusnya dibikin kek gitu

    BalasHapus
  2. negara tetangga aja, sohib deket, serumpun, Malaysia.

    BalasHapus
  3. yoi mbak harusnya, hmm faktanya.
    *semoga suatu saat

    BalasHapus
  4. wew, makasih linknya pak dokter, udah k sono. serem bener.
    *lagi-lagi bener :(

    BalasHapus
  5. ada. yg nggak pake' dibakar. jd gak ada asepnya.

    BalasHapus
  6. ampuh gak yaa ??
    kayaknya sih klo blon diri sendiri ygambruk gara2 rokok gak akan kapok merekanya

    BalasHapus
  7. mm,kuliah psiko konsumen memang menyenangkan..he,,that's way I Love PIO :))

    BalasHapus
  8. ada lho rokok yang tak perlu dibakar... Tapi pake charger. Tetep aja belum ideal menurut saya.

    BalasHapus
  9. "Silahkan merokok di ruangan ini, tapi tolong asapnya ditelan!"

    Menurutku gambar apapun nggak banyak berpengaruh, di sini juga begitu diberi gambar-gambar akibat merokok, tapi tampaknya nggak ada perubahan.

    Menurut saya yg efektif adalah pajak rokok dinaikkan setinggi-tingginya, peraturan dibuat seperti di Eropa dan benar-benar ditegakkan. Masalah utama Indonesia saat ini adalah: Pemerintah memang tidak punya inisiatif untuk benar-benar menyelesaikan permasalahan rokok dan akibat buruknya. Dengan bukti: rokok masih banyak dikonsumsi anak-anak dengan harga terjangkau, pelanggaran larangan merokok kurang ditindak dengan tegas. Mereka lebih memilih mendapatkan untung dari cukai rokok. Satu lagi mereka lebih suka menggunakan dana milyaran rupiah untuk membangun gedung DPR baru dan plesir ke luar negeri daripada mendahulukan program yg seharusnya menjadi prioritas, salah satunya kesehatan bangsa Indonesia.

    Demikian, wallahu a3lam.

    BalasHapus
  10. kalau ini butuh riset yah sepertinya,,
    pas diskusi di kelas, pernah ada rokok Indonesia yg seperti itu, tapi tidak bertahan lama entah kenapa sudah tidak ditemukan lagi.

    *oya coba k link di atas. disana bisa kliatan

    BalasHapus
  11. katanya pengalaman adalah guru terbaik. nahlhoo hihi

    BalasHapus
  12. of course sista! I Love PIO toooo.. :D

    BalasHapus
  13. baru tau ada rokok begituan. tanya2 ke syekh gugle cuma dapet info produkny. katanya buat terapi. ada info lebih lengkap pak Bayu?

    BalasHapus
  14. Jangan lupa bikin iklan yang maco. Cari kuda yang gagah, jangan kambing apalagi keledai. Kalau bisa pake' bidadari. Sesekali bikin iklan yang menyentuh, biar dapet simpati juga. Eh jangan cuma iklan nanti pada nggak percaya. Sekalian bikin aksi sosial, misal bikin gedung olahraga, program beasiswa berprestasi atau kurang mampu, yang kreatiflah.

    serem juga ya industri rokok di Indonesia.. -_-
    sfs Des ^^

    BalasHapus
  15. terus gimana yg ideal?
    *nanya balik, sambil mikir2

    BalasHapus
  16. *eh ada Wen2! ^^
    pa kabar mbak'e?

    berharap para perokok juga ngrasa ngeri kayak kmu Wen.

    BalasHapus
  17. sudah ada riset? mungkin ada tapi nggak signifikan.

    BalasHapus
  18. setuju. tembakau rokok Indonesia kan impor.

    BalasHapus
  19. Jiaaah,,pake basa-basi segala mbak,,hehe

    Iya, masalahnya aku liat rokok yang biasanya ada di sini juga udah ngeri. Rasanya pengen tak rendem air

    BalasHapus
  20. inisiatif gampang, tinggal meniru negara lain juga bisa. tapi sepertinya belum berani.
    cerita dikit : pernah temenq mengundang Polisi u/ memberi penyuluhan wkt KKN, di depan 50 pemuda & bapak2 dia mengatakan : "maaf saya agak grogi, jadi saya harus ngerokok dulu ya, bapak2 mas2 kalau mau ngerokok silakan, kita ngerokok bareng, santai saja." padahal itu acara penyuluhan miras & narkoba.
    Teman saya yg sama2 duduk di depan mendampingi pak polisi itu juga ikut ngerokok. Pak KaDus yg ada di situ diam saja, karena beliau juga ngrokok. Terlebih aq, hanya bisa miris melihat hal itu.

    BalasHapus
  21. berarti kita yang muda2 ini, yg semoga "bener", harus siap2 menggantikan mereka itu.

    BalasHapus
  22. subhanaLLah, menarik sekali komentarnya Cal. ^^b

    BalasHapus
  23. begitulah mbak. desti dulu punya temen kos mbak SPG. cantik banget. diya dibayar mahal buat ngejualin rokok di event2 gede. dikasih seragam yg maaf s**si.

    afwan ^^

    BalasHapus
  24. biar akrab gitu. (*kayak gak pernah ketemu aja)

    BalasHapus
  25. yg biasany ada di sini itu yg mana Wen?

    BalasHapus
  26. di Indonesia mbak,,,
    yang gak ada gambar seremnya, cuma tulisan doang

    BalasHapus
  27. terapi? Apa iya? Yang diisap cairan yang dipanaskan dengan energi batre, nggak aman juga....
    metrotvnews.com/mobile-site/text-detail.php?read=25371&tgl=2010-08-06
    Ideal itu nggak usah merokok...

    BalasHapus
  28. hoo,, iya2. memang hanya orang2 yg peka dan berhati bersih yg bisa ngerasain itu.

    *Wen, pernah tahu coklat bentuk rokok gak? dulu jaman kecil sering dijual.

    BalasHapus
  29. iya, aq curiga sama keterangan terapi itu, ternyata ilegal. terimakasih link'nya pak.
    kesimpulan : merokok yang ideal = tidak merokok. hehe

    BalasHapus
  30. Ya aku kan punya penyakit paru2 mbak, udh otomatis menjauh dari rokok

    *Iya tau mbak, tp dulu aku gak begitu suka,,aku kan seleranya silver queen,hahaha

    BalasHapus
  31. oh, ho'o tho Wen? baru ngerti aq.

    *hedeew --a, skrg udah g dijual lagi kayak'e, padahal aq pengen inget lagi rasanya.

    BalasHapus
  32. hmm,, boleh minta tolong satu lagi nggak?

    BalasHapus
  33. jangan panggil saya dg "buk/bu/ibu" n sejenisnya. :)

    BalasHapus
  34. afwan, pak... Saya tak lah sengaja...
    Saya tak tengok lebih jauh dulu, saya hanya lihat "desti", saya kira perempuan.... Peace ya... ^_^V

    BalasHapus
  35. hah? kok jd pak?
    saya perempuan tulen tp jgn dipanggil bu/buk.
    cz blum ibu-ibu.

    *lucujuga.com

    BalasHapus
  36. ow,,, kirain persoalan gender, ternyata... Maaf maaf... Jadi? Mestinya?

    BalasHapus
  37. yang "tidak baik" aja kalo dibungkus manis bisa laris manis, iklannya aja keren

    BalasHapus
  38. hehe gpp.
    jadi, ya yg penting gak pake' embel2 'ibu/bu/buk'
    saya akan sangat berterimakasih ^^b

    BalasHapus
  39. don't judge a book by its cover.
    don't judge a product by its promotion.

    di kelas pernah diskusi tentang penelitian "hubungan iklan rokok dengan tingkat konsumsi rokok"
    susah untuk dilakukan, karena resikonya : jika memang benar ada hubungan maka peneliti harus mengembalikan kembali para perokok yg merokokk karena iklan, kembali normal.
    penelitian sebaliknya iklan rokok yg jelek, hasilny ada tapi tidak begitu signifikan. memang harus dari kesadaran diri sendiri dan komunitas. komunitas seperti Riham harus diperbanyak. sementara pemerintah masih takut.

    BalasHapus

feel free to comment ^^d