Jumat, 22 Juli 2016

"Kakiku gontai, berjalan dari kos ke sekolah sejauh 2 kilometer. Motor masuk bengkel. Semalam kecelakaan saat perjalanan dari Klaten menuju Jogja, demi mendapatkan barang-barang yang diminta oleh panitia MOS, jika tidak tersedia, saya pasti kena marah lagi seperti hari pertama, oh Allah, semoga tidak ada lagi yang seperti ini ke depan. Aku bisa saja kuat, tapi sebenarnya buat apa mereka membentak-bentak hingga urat leher mau putus, tegas kan tidak harus marah, memang mereka siapa." kata saya dalam hati. Kisah sedih beberapa tahun lalu menjalani MOS SMA N 2 Yogyakarta.

***

Dulu, beberapa tahun sebelum kebijakan Menteri Anis Baswedan, SMA saya pernah melakukan hal yang mirip. No plonco. Hati saya merasa senang mendengarnya, entah kenapa, bagi saya pribadi plonco dan marah berlebihan itu tidak berkelas. Ketika mendengar kebijakan sekolah yang jadi "lembek" banget sama siswa baru, angkatan kami yang tahun lalu masih diplonco otomatis tidak terima. Eh kecuali saya ya. Di belakang guru dengan jujur teman-teman saya uring-uringan "gak bisa gitu dong, masa' kita dulu digintuin, mereka enggak!" lalu ketika melihat adik kelas yang pingsan karena  kepanasan upacara "nah kan, gitu aja pingsan, kita dulu dong keliling lapangan siang bolong!" gak tau aja temen sebelah saya ada yang pingsan, temen mereka juga.  Tetapi rasa tidak adil yang terbungkus dengan kalimat "sebenarnya kita cuma pengen tegas ke adik-adik Pak Bu Guru supaya mereka kuat mentalnya, disiplin, nggak manja." hanyalah sebait ungkapan dendam. Kalau angkatan kita dituduh angkatan pendendam juga tidak mau, gengsi dong, cap jelek gitu. Saya tetap jadi panitia tahun itu. Jadi SENAT, ini posisi gue banget, karena gak perlu marah berlebihan.

Ya memang ada benarnya sih, saya pribadi merasakan lebih mandiri sesaat setelah mos, tahun lalu. Namun, ketika saya tidak melihat keteladanan dari kakak kelas saya yang bentak-bentak aneh ketika mos tapi ngawur waktu sekolah, ah memang benar. Akhirnya saya harus mengakui, bahwa MOS plonco yang panitianya beranggotakan korban MOS angakatan sebelumnya adalah sebuah sistem pewarisan dendam ke angkatan berikutnya.

Puluhan tahun lebih tidak pernah ada kebijakan nasional yang fokus tentang pembentukan karakter siswa di sekolah. Kebijakan penting yang dimulai dari hari pertama mereka masuk sekolah. Selama ini dengan MOS sistem plonco, hari pertama sekolah dan akan dikenang hingga kelas 3, hampir lulus, yakni bahwa dulu dia pernah dibentak oleh kakak kelasnya. Coba tanyakan pada mereka diantara panitia MOS adakah yang mengajarkan mereka bikin career planing, mencari bakat dan potensi lalu berkolaborasi dengan siswa lain, jawabannya bisa jadi enggak ada. Karena tidak menangis itu tidak asik bagi MOS plonco. Bahkan mampu menahan penderitaan dan kekecewaan itu adalah latihan mental bagi peserta. Rasa itu lalu tertahan dan siap dilampiaskan ke adik kelasnya setahun mendatang. Ada satu hal lagi, kadang-kadang panitia MOS plonco harus latihan drama dulu dan menyiapkan skenario supaya bisa marah dengan elegan di depan adik kelasnya. Habis marah di depan adik kelas, di belakang layar ketawa-ketawa dengan drama yang mereka buat sendiri, dan juga mengejek raut wajah takut adik kelasnya. Demi apa. Jadi, mental apa sih yang ingin dibangun sebenarnya, kalau boleh jujur? Pendendam dan Bermuka Dua. Sedih deh.

Saya pribadi tidak bisa memprosentasekan dan belum membaca penelitian tentang korelasi Pelaksanaan MOS dengan plonco terhadap kemandirian siswa di sekolah. Tetapi sebaliknya bukti nyata negara-negara maju hasil belajar bertahun lalu bahwa, pengenalan sekolah tidak perlu pakai plonco justru menghasilkan sumber daya manusia yang bermanfaat bagi negaranya. Kita, Indonesia, negara berkembang ya, wajar masih gonta-ganti kebijakan.


But I'am feeling happy, akhirnya, tahun ini sebagian besar sekolah melaksanakan MOS mengikuti kebijakan Pak Anis. Lebih haru lagi, hari pertama sekolah wajib diantar orang tua. Berbagai media memberitakan dengan begitu "so sweet"nya. Entah, saya tidak ingin memperhitungkan sebagian kecil lainnya. Cukuplah satu perubahan ini semoga memiliki dampak yang berbeda. Merubah generasi pendendam menjadi generasi kolaborasi. Generasi yang dibutuhkan Indonesia dimasa datang.

***
Sekelebat saya berfikir tentang bapak Menteri. Beliau dulu juga sekolah di SMA yang sama dengan SMA saya di Jogja. Apakah beliau juga merasakan penderitaan yang sama seperti yang saya rasakan ketika MOS? Haha. I'm still his fans, karena sama almamaternya #pentinggakpenting.

Sejauh ini, setelah saya bandingkan dengan SMA lain, SMA saya masih agak lebih mending. Medium lah ploco-annya. Tetapi kebijakan ini harus tetap berjalan, no plonco. Supaya generasi Indonesia berikutnya memahami makna disiplin, kuat mental, dan saling membantu muncul atas kesadaran diri sendiri, bukan karena takut dimarahin kakak kelas. Nah lho, jadi syirik kan lebih takut sama marahnya kakak kelas dibanding marahnya Allah swt. Ckck.


#sudahsebulanlebihtidakmenulis

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d