Kamis, 25 Agustus 2016

Salah satu tanda saya jarang menulis di blog dumay ini yaitu karena di kehidupan nyata saya sedang jarang membaca buku baru (baca : tidak menjadwalkan untuk melakukan hal tersebut). Disibukkan oleh hal yang entah bisa saya sebut prioritas atau tidak. Hingga pada titik, yaitu hari ini, bahwa, oke let's read new book, then write something in your blog Des. Dulu di sana banyak teman sebaya yang saling mengingatkan bahkan meminjamkan buku, di sini, mungkin buku resep masakan ya yang laris. So get your focus, do it yourself. 

Deng dong. Enggak. Itu tidak benar-benar saya lakukan. Hari ini saya hanya membaca beberapa lembar buku. Merapikan sudut proyek di ruang lain. Lalu melayangkan pandangan ke laptop dan "youtube.com". Pertengkaran batin, awas-awas adv nya lebih menarik lho, awas. Dan yak saya terjebak 5 menit menonton iklan sebuah parfum terkenal di TV. Iklan mini movie gitu. Eits, gak ada yang sia-sia dari takdir meski 5 menit, ambil hikmah! ambil hikmah! ~motto hidup yang lain ceritanya.

Hikmahnya, gak dapet. Walaupun lumayan keren, iklan dikemas mini movie biography gitu. Setelah penyesalan 5 menit karena menghabiskan kuota untuk nonton iklan seperti itu, mata dan hati saya tergelitik lagi untuk klik sebuah Vlog dari seorang Mahasiswi Muslim yang sedang kuliah di Jerman. Viewernya ratusan ribu. Di sebelah nya ada Vlog nya K*arina yang viewernya berjut-jut. Harusnya secara alami dan polos saya lebih tertarik dengan yang video viewernya banyak dong ya. Cukuplah, sudah lelah saya melihat derita bangsa. Klik. Akhirnya point menuju ke Mahasiswi Jerman. 

Saya tidak akan membahas seluruh isi Vlognya. Hanya ingin sekedar menulis hikmah yang saya ambil dari 1 atau 2 poin dari sebuah video yang berdurasi 19 menit tersebut. Ia dan temannya membandingkan kehidupan di Jerman dan di Indonesia. Detik itu saya hampir menyesal lagi dan langsung menutup video itu karena sudah pasti, bagai pohon cabai dan pohon beringin. Dihitung dari usia merdeka Jerman dengan Indonesia sudah cukup memperlihatkan pengalaman hidup bangsanya yang membuat lebih bijak mengatur kehidupan negara. Namun, hati masih kekeh nonton, entah. 

Kesahnya, mereka berdua membandingkan aktivitas lampu merah di Jerman dan Indonesia. Di Indonesia, kalau ada lampu merah di satu sisi, tapi di tiga sisi yang lain tidak ada kendaraan, yasudah lewat saja, tidak perlu menunggu lampu hijau baru jalan, toh tidak akan kecelakaan, karena jalan sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat. Di Jerman, rasanya kaku banget, mau nyelonong seperti itu, semacam ada rasa bersalah. Meski sama situasinya dan mudah untuk dilakukan, tetapi beda rasa, beda mental. 

Lalu mereka debat kecil tentang apakah nyelonong di situasi seperti (lampu merah) itu benar atau tidak benar. Kesimpulannya bahwa ada dua pilihan saat berada dalam kondisi tersebut, yakni :

1. Do the right's thing
2. Do the thing's right

Keduanya sama benar tetapi memiliki konsep atau makna yang berbeda.

1. Do the right thing = Lakukan yang benar
Jika menurutmu, anda, kamu, dirimu, yourself itu benar maka lakukanlan. Memang benar, bahwa persimpangan sepi, dan aman saja menyebrang meski lampu belum hijau. Hanya saja itu membentuk konsep diri kita. Kita jadi tidak terbiasa dengan poin kedua.

2. Do the thing right = Lakukan dengan benar (melakukan yang benar)
Jika aturan yang benar adalah lampu merah itu berhenti, apapun kondisinya, maka yang benar hanya seperti itu. 

Disiplin aturan itu simple ya. Mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan jika kita tidak terbiasa. Memang benar, hal itu bisa dilakukan di mana saja kapan saja. Tidak hanya di lampu merah, dan tidak harus di Jerman. Saya mengakui bahwa melakukan itu seorang diri atau hanya dengan beberapa orang itu ibarat Kapten Amerika  cuman ngajakin 4 temannya untuk melawan Iron Man dan sekutunya (termasuk Kementrian Pertahanan Amerika) di film Civil War. Halah. Intinya sebagian besar orang butuh banyak teman dan butuh lingkungan yang konsisten untuk menjaga kebenaran "revolusi mental"nya. 

Sebelum mengakhiri blog, mahasiswi dan Mahasiswa cerdas Indonesia ini, bercerita tentang apakah mereka harus balik ke Indonesia atau tidak setelah lulus. Harapan kebanyakan masyarakat Indonesia, mereka bisa kembali dan mengabdi untuk negara. Pertanyaan menusuknya adalah "Masa gak cinta sama Indonesia?". Problemnya bukan tentang cinta atau tidak, menurut mereka. Oh men, kalian yang koar-koar supaya kami kembali ke Indonesia, apa yang kalian lakukan di sana? Cek path instagram vlog. Touring ke gunung naik motor? Dance2 dan lain sebagainya? "Itu ngapain?"  Ketika kami balik, dan kami harus bekerja sama dengan orang-orang seperti itu?! Please, help. (bahasa penulis berbeda dengan Vlog, tapi maksudnya sama). Disitu keduanya berusaha membandingkan bahwa siang malam mereka belajar susah payah supaya bisa lulus mengharumkan nama Indonesia, eh di Indonesia?!. Sejujurnya si penulis blog ini merasa tertusuk juga karena tidak bisa menjawab bahwa ada "kami" lho yang peduli tapi sayang gak gaul di socmed dan belum seperti kalian. 

Tantangan luar biasa bagi banyak mahasiswa-mahasiswi yang kuliah di luar negeri ketika kembali ke Indonesia adalah menularkan pelajaran mental yang telah mereka dapatkan sekian tahun dari universitasnya, dari negara sana, ya di luar sana, kepada bangsa nya... yaa yang masih "seperti itu". Sebagian alumni katanya mengatakan seperti bunuh diri balik ke Indonesia jika tidak jelas "plan" nya. Jadi harus dipikirkan matang-matang. Yap, di poin itu saya setuju dan sudah cukup bukti. Benarlah kata Anis Matta dalam bukunya Mencari Pahlawan Indoneisa, bahwa tugas besar "revolusi mental" sesungguhnya hanya bisa diemban oleh seorang bermental negarawan. Saya tidak membayangkan apa yang dilakukan oleh B.J. Habibie, Anis Baswedan, dll sebelum famous. Juga dosen pembimbing saya dikampus yang tidak begitu famous di Indonesia tapi famous di hati saya, uhuk, gara-gara menghentikan kuliah setiap kali azan dan ngajak kelasnya untuk sholat berjamaah, satu-satunya dosen yang berani begitu setelah sekian lama saya kuliah dan hampir lulus. Masih banyak lagi mereka yang tak disebut-sebut media karena tak cukup menaikkan rating. 

Salut kepada Mahasiswi asal Indonesia yang sedang berjuang di Jerman bersama temannya dan masih menyempatkan untuk bikin sebuah video jujur dan menginspirasi itu.  Video polos tanpa efek editing dan sutradara berbayar, tetapi jauh lebih bermakna, tidak seperti iklan parfum mewah sebelumnya. He.

(Foto : Aktifitas menghafal hadist di sebuah pesantren yang didirikan oleh Mahasiswa lulusan luar Negeri "juga" dari lahan wakaf kosong hingga menjadi indah seperti ini)


Well, di dalam atau pun di luar negeri. Di kota besar atau pun di kota kecil, Pesan Ibu Negara Impian saya  : Fokus! ON MISSION! Semoga yang mentalnya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tetap terjaga a.k.a istiqomah. Aamiin. 

Allahu'alam bisowab.

#nulisbloguntukdirisendiridanyangterjebakdisini 
#listbukuyangbarudatang
#eksekusi

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d