Seorang anak menghampiriku. Halo Kakek, Kakek mencari apa?
Aku tersenyum ringan membalas celotehnya lalu terheran karena sedaritadi aku
hanya duduk di kursi taman ini. Melamun ke arah danau. Aku tidak sadar apakah
posisiku seperti sedang mencari sesuatu. Aku yakin tidak. Hanya saja rasanya
ingin menyenangkan anak ini dengan menjawab pertanyaannya.
“Sedang mencari kucing kakek yang hilang Nak.”
“Ohh. Hilangnya kapan?” Selidiknya lagi.
“Tiga bulan yang lalu.”
“Wah lama sekali.”
Aku tidak berbohong. Entah, aku tidak punya kucing
sebenarnya, jadi bagaimana mungkin kehilangan. Lagi-lagi wajah polos anak ini
membuatku ingin berbagi cerita dengannya. Apalagi sekarang ia mendekatiku,
seketika duduk disampingku.
“Kek, dua hari lalu saya juga menemui seorang ibu-ibu,
bercerita kehilangan anaknya. Kemudian saya bertemu seorang pria tampan, ia
bercerita kehilangan kekasihnya. Tidak lama saya bertemu lagi seorang tukang
becak, ia bercerita kehilangan becaknya. Saya kasihan melihat mereka, dan
seketika memutuskan untuk membantu sebisa saya. Tetapi saat kutemukan
merekabilang itu sudah bukan milik mereka. Ibu yang saya bantu itu bercerita
lagi, bahwa anaknya hilang karena meninggal dua hari lalu. Kemudian pria tampan
itu bercerita kekasihnya telah menikah dengan pria lain. Tidak lama tukang
becak itu bercerita becaknya diambil juragannya karena tidak mampu membayar
sewa.” Anak polos ini bercerita panjang tanpa jeda.
“Kek, saya jadi bingung, becak itu bukan milik tukang becak,
ketika diambil oleh juragannya mengapa ia bilang kehilangan? Wanita itu juga
bukan milik pria tampan, ketika menikah dengan pria lain, mengapa ia bilang
kehilangan? Aku mungkin memaklumi sang ibu, karena anaknya lahir dari perut
ibu, jadi bolehlah ia mengatakan kehilangan, hanya saja apa bisa meninggal itu dikatakan
sama dengan hilang? Jadi, kucing kakek tidak hilang kan? Mungkin meninggal atau
pergi dengan kucing lain atau diambil oleh yang punya.”
“Aku, aku tiga bulan yang lalu tertimpa musibah,
perusahaanku terbakar habis, aku tertipu asuransi, aku kehilangan rumah,
kugadaikan untuk menutup ganti rugi, dan yang terakhir isteriku pergi. Ya, aku tak
punya anak.” Entah apa yang mendorongku kemudian bercerita pada anak ini.
“Aku menghabiskan separuh hidupku untuk membangun perusahaan
ini, uangnya kuberikan kepada istriku untuk menyenangkan hatinya, aku yang merawat
bisnis dan istriku, dengan kerja keras dan hati-hati tanpa pernah punya rencana
hidup sendiri seperti ini.” Aku seperti menangis tetapi tidak berair mata.
Terdiam. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak itu. Bahkan tidak tahu apa
judul yang tepat untuk ceritaku padanya.
#belumketemulagi
0 comments:
Posting Komentar
feel free to comment ^^d