“Kalau terlalu taat pada aturan, kamu akan kehilangan
kreatifitasmu, tak pantaslah kau jadi seniman.”
Saat itu aku berusia 15 tahun. Kurang lebih tiga tahun
melatih bakat seniku di pondok bersama guruku Made. Tahun-tahun awal aku masih
mencari kemana bakat turunan keluargaku ini akan kufokuskan. Menari, menyanyi,
melukis, memahat atau mengurusi resor ayahku. Aku pernah berfikir bahwa aku
adalah anak resesif, yang tidak membawa gen ibu atau bapak. Karena selama
belajar di pondok seni, karyaku tak pernah dipuji para turis kala pameran
rutin. Sementara teman-temanku berhasil mendapatkan uang jutaan bahkan ratusan
juta karena hasil pahatannya. Aku. Ah, terlalu malu rasanya memahat detail
tubuh wanita Bali.
Aku memutuskan merantau ke Ibu Kota. Sudah lima tahun aku
bekerja di perusahaan periklanan sebagai desainer grafis. Berbeda dengan di pondok,
otakku lebih lincah bermain dengan aturan-aturan kurva dan hitungan-hitungan
logaritma. Tidak seperti logaritma masa SMA, semua sudah terumuskan dalam
sebuah software. Sehingga
karya-karyaku lebih orisinil dan aku merasa tenang melakukannya, yang kugambar
benda-benda abstrak seperti jeruk berjalan, bunga-bunga berbicara, bahkan
panic-panci yang bekerjaran seperti manusia. Tak jarang atasan dan rekan
kerjaku memujiku dan memberi bonus. Tetapi entah mengapa terkadang aku merasa bosan
berlama-lama di depan layar komputer. Aku mengajukan cuti dan mengeksplore suatu seni yang tidak pernah kusentuh. Fotografi.
Aku mengikuti club fotografi gratisan di Bandung. Mulanya
aku sungkan memotret model-model wanita mereka. Tetapi aku harus belajar. Lubuk
hatiku berbisik, memalukan jika seorang seniman atau fotografi mengandalkan
kecantikan tubuh wanita sebagai seni. Tetapi hampir semua seniman foto
yang aku temui berkata, memang begitulah seni wahai anak muda, tanpa batas. Hmm, sudahlah, aku ikuti saja kata
hatiku dan kata para seniman itu.
Minggu ini club fotografi mengadakan pameran foto-foto hasil
hunting mereka. Aku urung
menunjukkan tangkapan kameraku, sayang sudah menjadi kewajiban para anggota untuk tetap memerkan
hasil bidikannya. Khawatir, jika karyaku ini dinilai sama seperti waktu pameran
di Bali. Hanya karena aku malu mengeksplore wanita, dianggap tak bernilai tinggi. Aku memutar otak. Inilah karyaku…
Judul : Wanita yang Kau Cari
Lokasi : dimanasaja
"Jika kau mencari istri nanti. Tataplah matanya, bertanyalah
pada mata itu. Apakah ia akan mengeluarkan air mata jika kau tidak reda
terhadap perbuatannya."
"Jikau mencari istri nanti. Perhatikan tangannya. Lembut
karena siraman air cucian beras atau alat-alat kecantikan yang teramat mahal."
"Jika kau mencari istri nanti. Dengarkan kata-katanya. Lembut
menenangkan atau penuh rengekan gossip dan kata-kata prasangka buta."
"Jika kau memilih istri nanti. Lihat sepatunya, apakah dia
sibuk mengoleksi sepatu agar lebih tinggi darimu atau merendah mengharap izinmu
saja. Lihat pula seberapa tiggi dan runcing heelsnya, siapkah ia tegak menopangmu saat kau
jatuh?"
"Jika kau mendapatkan istri nanti. Jagalah hatinya. Sadarilah,
kekuatanmu berasal dari itu. Bukan karena hartanya atau wajah cantiknya. Sungguh, disaat kepalamu penat dengan urusan
dunia, hatinya yang kau jaga, akan menyejukkanmu."
“Kenapa harus dijelaskan?”
“Aku khawatir fotoku dianggap jelek, jadi kutulis saja
maksudnya.” Spontan aku menjawab pertanyaan wanita seumurku yang berdiri tepat
disampingku saat bersamaan menatap foto terakhir.
"Jika kau menemukan istri nanti. Semoga ia yang membuat kau
merasa dibutuhkan, merasa istimewa, merasa tak tersaingi karena ia menjaga
dirinya dan anak-anakmu hingga bertemu dengan Sang Pencipta."
Note :
Foto random dari mbah google.
Cerita random dari sekelebatan.
keren (h)
BalasHapushttp://heythomthom.blogspot.com/
Terimakasih sudah mampir
Hapus