Tukang ojek di depanku tiba-tiba mengalihkan perhatianku
dari gadget.
“Ya, lurus terus aja Pak.”
“Bukan. Bukan itu maksud Saya. Saya sudah lama nge-tem di
dekat kantor Bapak keluar tadi. Sebenarnya saya agak kaget tiba-tiba Bapak menghampiri
saya dan minta diantar ke Gedung Mahamera.”
“Oh. Trus mau tanya apa?”
“Begini. Sebenarnya sudah lama Saya ingin bertanya, tetapi sungkan. Masa tiba-tiba Saya nyelonong ke gedung megah Bapak lalu bertanya soal
ini. Ehlahdalah, kok pas Bapak yang malah mendatangi saya.”
Aku agak terganggu dengan basa-basi tukang ojek ini. Andai
bisa kujelaskan dengan cepat, bahwa dibelakangnya aku sedang memeriksa konten
presentasi di gadget ini dengan teliti untuk bahan diskusi dengan investor di
gedung yang kami tuju sekarang. Tetapi aku selalu percaya bahwa segala
takdir baik telah digariskan, termasuk pertanyaan kali ini.
“Iya, Alhamdulillah. Bapak mau tanya apa?”
“Begini. Kok gaji Bapak bisa gede? Padahal kan saya
lihat-lihat dari jauh kerjanya cuma duduk, kalaupun mondar-mandir paling cuma pindah
lantai atau ruangan, udah gitu duduk duduk ngobrol lagi. Jujur, kalau Saya
bandingkan dengan capeknya Saya, sepertinya kok Capekan saya ya? Walaupun saya
duduk di motor tapi kan tetep lebih capek bawa motor dan panas-panasan. Memang bapak diluar
gedung jadi sopir kayak Saya juga?”
Aku spontan tertawa. Lalu menepuk pundak tukang ojek
didepanku ini.
“Ya begitulah manusia Mas, terbatas apa yang dilihat dimata
saja kan penilaiannya. Kalau mas bisa lihat otak dan hati Saya mungkin Mas bisa
tahu kenapa Saya punya uang banyak.”
“Lha, bukannya Allah menciptakan otak dan hati yang sama.
Saya sih ndak mau lihat, dulu pernah lihat waktu SD. Bentuknya ya sama semua
kok kata bu guru Saya.”
Aku sedikit geli lagipun miris. Selama bertahun-tahun mudah
mempengaruhi rekan bisnis untuk berinvestasi dengan rayuan dan retorika
bicaraku yang cerdas dan handal. Punya banyak uang karena sering diberi bonus
bos, sebab investasi produk perusahaan meningkat pesat. Katanya aku lihai bekerja. Tetapi pertanyaan dan pernyataan tukang ojek ini, membuatku kikuk. Jika tidak menjelaskan padanya, nanti dikira aku orang bodoh yang
dibayar gaji buta, kalau kujelaskan dan dia tidak mengerti apalah arti
kecerdasanku selama ini. Oh tidak, kenapa pertanyaan tukang ojek ini lebih sulit
daripada klien-klien konglomerat itu.
“Pak, Pak. Kok diem tho? Ini lima menit lagi sudah mau
sampai. Nanti bapak tidak sempat menjawab pertanyaan saya lho.”
“Mas. Andai manusia itu dibayar berdasarkan banyaknya
mengeluh dan banyaknya bersyukur, kira kira siapa yang paling besar gajinya?”
“Lha kok malah ditanya balik. Eh ndak papa, hmm sebentar
saya mikir dulu. Kayaknya sih yang banyak ngeluh Pak, lah tiap pagi kalo ketemu
teman-teman ojek di pangkalan mereka mesti ngeluh, istrinya ngambek lah,
judinya kalah lah, motornya diserempetlah, atau dibayar murah sama penumpang
padahal nganternya jauh, apalagi ya, wah pokokmen kalo gak gitu ngomongin nasib
jeleknya ojekan lain. Terus apa hubungannya Pak? Memangnya ada yang kayak
begitu?”
“Oke. Mas percaya sama Allah kan?”
“Lah kok ditanya lagi? Ya jelas percaya, Saya muslim tulen
kok. Berani sumpah!”
“Haha iya Mas. Satu pertanyaan terakhir Mas. Kalau Mas
ngasih uang, terus yang dikasih berterimakasih ditambah membalas dengan lebih
baik, Mas seneng nggak ngasih uang sama dia?”
“Hahaha. Piye tho Pak. Yo seneng laaaah.”
“Oke. Sudah sampai mas. Depan situ saja ya.”
“Lhooo, malah udah nyampe ki piye tho. Kan pertanyaan Saya
belum dijawab. Halah. Tau gitu tadi gak usah jawab pertanyaan Bapak.”
“Gampang. Ini ongkosnya, mau nunggu atau pulang dulu?
Soalnya Saya mau minta tolong Mas jemput Saya di gedung ini dua jam lagi.”
“Ohh gitu. Walah bilang daritadi Pak, ya ndak papa Saya tunggu di
sini saja. Siapa tau ada yang mau ngojek. Tapi insya Allah Saya pasti sudah didepan
sini kalau Bapak keluar.”
“Oke. Saya pegang janji Mas ya, kalau Mas nggak ada, Saya
nyari ojek lain.”
~bersambung
0 comments:
Posting Komentar
feel free to comment ^^d