Jumat, 10 Oktober 2014

Seorang anak menghampiriku. Halo Kakek, Kakek mencari apa? Aku tersenyum ringan membalas celotehnya lalu terheran karena sedaritadi aku hanya duduk di kursi taman ini. Melamun ke arah danau. Aku tidak sadar apakah posisiku seperti sedang mencari sesuatu. Aku yakin tidak. Hanya saja rasanya ingin menyenangkan anak ini dengan menjawab pertanyaannya.

“Sedang mencari kucing kakek yang hilang Nak.”
“Ohh. Hilangnya kapan?” Selidiknya lagi.
“Tiga bulan yang lalu.”
“Wah lama sekali.”

Aku tidak berbohong. Entah, aku tidak punya kucing sebenarnya, jadi bagaimana mungkin kehilangan. Lagi-lagi wajah polos anak ini membuatku ingin berbagi cerita dengannya. Apalagi sekarang ia mendekatiku, seketika duduk disampingku.

“Kek, dua hari lalu saya juga menemui seorang ibu-ibu, bercerita kehilangan anaknya. Kemudian saya bertemu seorang pria tampan, ia bercerita kehilangan kekasihnya. Tidak lama saya bertemu lagi seorang tukang becak, ia bercerita kehilangan becaknya. Saya kasihan melihat mereka, dan seketika memutuskan untuk membantu sebisa saya. Tetapi saat kutemukan merekabilang itu sudah bukan milik mereka. Ibu yang saya bantu itu bercerita lagi, bahwa anaknya hilang karena meninggal dua hari lalu. Kemudian pria tampan itu bercerita kekasihnya telah menikah dengan pria lain. Tidak lama tukang becak itu bercerita becaknya diambil juragannya karena tidak mampu membayar sewa.” Anak polos ini bercerita panjang tanpa jeda.

“Kek, saya jadi bingung, becak itu bukan milik tukang becak, ketika diambil oleh juragannya mengapa ia bilang kehilangan? Wanita itu juga bukan milik pria tampan, ketika menikah dengan pria lain, mengapa ia bilang kehilangan? Aku mungkin memaklumi sang ibu, karena anaknya lahir dari perut ibu, jadi bolehlah ia mengatakan kehilangan, hanya saja apa bisa meninggal itu dikatakan sama dengan hilang? Jadi, kucing kakek tidak hilang kan? Mungkin meninggal atau pergi dengan kucing lain atau diambil oleh yang punya.”

“Aku, aku tiga bulan yang lalu tertimpa musibah, perusahaanku terbakar habis, aku tertipu asuransi, aku kehilangan rumah, kugadaikan untuk menutup ganti rugi, dan yang terakhir isteriku pergi. Ya, aku tak punya anak.” Entah apa yang mendorongku kemudian bercerita pada anak ini. 

“Aku menghabiskan separuh hidupku untuk membangun perusahaan ini, uangnya kuberikan kepada istriku untuk menyenangkan hatinya, aku yang merawat bisnis dan istriku, dengan kerja keras dan hati-hati tanpa pernah punya rencana hidup sendiri seperti ini.” Aku seperti menangis tetapi tidak berair mata. Terdiam. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anak itu. Bahkan tidak tahu apa judul yang tepat untuk ceritaku padanya.

#belumketemulagi

0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d