Minggu, 28 Oktober 2012



Saya awali jurnal di blog ini dengan mengambil sebagian dari tulisan di blog saya yang lain, lalu di repackaging dengan menambah beberapa opini dan wawasan yang saya dapatkan dari beraksi dan membaca, serta menonton film kita vs korupsi.

Boleh ya saya beranggapan bahwa menyontek adalah sikap yang secara tidak langsung dibentuk oleh sistem pendidikan kita. Guru dan kelas yang membosankan, siswa tidak memahami pelajaran, lalu dituntut agar nilai harus bagus. Sehingga wajarlah setiap  kali ujian, siswa-siswa itu berkesempatan melakukan training-training mandiri untuk mendapatkan nilai bagus tapi tidak perlu susah payah yakni menyontek.

Saya tidak akan membahas soal bagaimana merubah sistem pendidikan di Indonesia supaya pelajarnya tidak menyontek. Terlalu rumit dan kompleks. Saya hanya ingin mengangkat satu aspek saja sesuai dengan background pendidikan saya saja dibidang psikologi. Saya mengambil sudut pandang teori behavioristik. Apakah menyontek itu benar, salah, atau kesalahan yang dianggap biasa sehingga boleh dibenarkan? Kita simpan pertanyaan ini.

***
Ala bisa karena biasa. 

"Bagaimana si dia bisa mencontek dengan mudahnya sedangkan ada yang sampai keringat dingin?"

Adalah sebuah pembiasaan, sesuatu yang dilakukan secara sadar dan berulang. Gage dan Berliner, dalam teori belajar behavioristiknya, mengungkapkan bahwa perubahan tingkah laku merupakan hasil dari pengalaman. Pembiasaan atau perbuatan berulang akan masuk ke dalam alam bawah sadar yang akhirnya diterima dan diulang tanpa proses evaluasi pada otak. Sering kita dengar istilah ala bisa karena biasa.

Saya yakin kita pernah hampir berkeinginan mencontek, sekalipun tidak terjadi, pastilah ada rasa cemas yang muncul. Darimana datangnya cemas itu? Kondisi dimana merasa tidak tenang saat mencontek. Jika orang tua atau lingkungan kita membiasakan untuk minta izin jika mengambil sesuatu dari orang lain, dan menganggap itu perbuatan baik, dilanjutkan dengan menghukum kita saat mengambil sesuatu dari orang lain tanpa izin karena dianggap perbuatan tercela, maka rule yang tertanam dalam diri kita adalah jika diizinkan kita boleh mengambil, jika tidak diizinkan kita tidak boleh mengambil. Melawan rule, membuat kita tegang karena bertentangan dengan arus kebiasaan kita selama ini.

Pernah tahu alat pendeteksi kebohongan? Disebut polygraph atau lie detector (lebih lengkap disini : polygraph ). Pernah ada kasus kekurangakuratan alat pengukur kebohongan itu pada tersangka kriminal. Sehingga alat tersebut tidak selalu bisa membuktikan bahwa seseorang itu bohong atau jujur. Alat tersebut disetting untuk  mengukur percepatan denyut nadi selama diintrogasi, air keringat yang diproduksi, dan gejala fisik lainnya yang ditimbulkan oleh rasa tegang. Ketegangan muncul salah satunya karena kondisi diluar keinginan kita,  kita merasa was-was dan ragu, khawatir juga takut, sehingga secara alami tanpa diminta kondisi tubuh yang tidak siap akan mersepon berbagai gejala biologis. Gampangnya kalau tidak pernah menabrak orang, sekalinya menabrak pastilah deg-degan, keringetan, panik.

Bagi penjahat kelas kakap yang sudah biasa melakukan perampokan dan pembunuhan, respon tubuh tersebut sangat sulit bahkan tidak bisa dideteksi, karena ia sudah berulang kali melatih ketegangannya ketika diinterogasi. Kondisi diluar keinginan pelaku kriminal, dalam hal ini "tertangkap basah", sudah terjadi berulang kali, sehingga tubuh mahir dalam melakukan netralisasi yang didapatkan dari hasil belajar sebelumnya. Sama hal nya pada kasus menyontek. Pencontek mampu mengatasi ketegangan-ketegangan yang terjadi saat mereka melakukan perbuatan itu. Sejak kecil sudah terlatih tenang melanggar peraturan, mengambil hak orang lain tanpa izin, menerima nilai hasil mencontek. Wajar ya, kalau sudah besar korupsi uang rakyat.

***
Saya sering melakukan pendampingan ke adik-adik kelas SMA, saat diberi amanah oleh sekolah setelah jadi alumni. Target pribadi saya terhadap mereka adalah menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan mereka. Menurut saya, bukti paling kongkrit kalau mereka sudah pede adalah tidak menyontek saat ujian. Kenapa? Berangkat dari keprihatinan saya masa SMA dulu, saya sruvey wawancara dan menemukan hampir 80% teman-teman dikelas saya mencontek saat ulangan. Itu baru di kelas saya, belum kelas lain. Berikut  saya cuplikkan pengalaman saya dengan salah seorang adik kelas SMA Negeri di Yogyakarta. 

Dek May : Mbak, tau nggak sih?
Desti : Enggak.
Dek May : ih mbak ini serius.
Desti : hehe iya apa dek?
Dek May : Teman-temanku mbak, mereka ada yang nyembunyiin buku di kolong laci, ada yang smsan, ada yang ngrepek, ada yang pura-pura ke kamar mandi.  Alhamdulillah semester ini aku berhasil nggak nyontek. Aku udah bersusah payah untuk belajar sendiri dan menghasilkan nilai murni hasil usahaku tanpa nyontek. 
Desti : wah hebat itu! gimana rasanya.
Dek May : ya aku lebih puas, karena tau kemampuanku segitu, tapi mbak aku dilema.
Desti : alhamdulillah. eh dilema kenapa?
Dek May : (nada tinggi) kenapa sih ortuku itu! hmm.. jadi kan mbak karena nggak nyontek nilaiku jadi jelek, turun. trus ortuku tau masalah ini. dan mereka bilang apa coba.
Desti : hm apa?
Dek May : "Kenapa kamu nggak nyontek aja sih? temen-temenmu pada dapet nilai bagus, kamu kayak gini!"
Desti : (masih mendengarkan cerita sang adek)
Dek May : aku sedih mbak, mereka tidak bisa menghargai hasil kejujuranku, mereka malu kalau anaknya dapet nilai jelek. mereka lebih seneng kalau aku dapat nilai bagus meskipun itu harus nyontek.
Desti : (menghela nafas panjang) mencoba memahami.


Pada kasus diatas, satu sisi adik kelas saya merasa benar dengan perbuatan tidak menconteknya, pun pujian dari saya mengatakan dia hebat, namun disisi lain orang tuanya merasa bahwa perbuatan itu salah diukur dari nilai ujian. Pembahasan behavioristik tidak berhenti pada stimulus – respon berulang yang menyebabkan seorang melakukan hal tersebut. Reinforcement atau penguatan juga berpengaruh pada perilaku berikutnya. Ada dua bentuk reinforcement (penguatan) yang kita lihat dari percakapan tersebut yakni “integritas diri” dan “rasa bersalah” pada lingkungan (orang tua, saudara, sahabat, teman sebaya, guru). Integritas diri merupakan suatu proses bukan hasil, penjabarannya saya tautkan dengan link integritas. Rasa bersalah dugunakan sebagai salah satu penentu ukuran integritas tersebut.

***
Ini tentang budaya.

Di beberapa negara Eropa dan China, ada budaya seorang anak berusia tujuh belas tahun pantang menerima uang saku dari orang tua. Sedini mungkin orang tua mereka mengajarkan untuk mandiri. Lingkungan pun sepakat dengan hal tersebut. Terbentuklah konsep diri “malu” jika tidak bisa mendapatkan uang dari bekerja part time atau wirausaha. Guru mereka di sekolah pun ikut bertanya, adakah muridnya yang belum bisa menghasilkan uang sendiri. Bahkan bekerja mandiri menjadi suatu kebanggaan diantara teman-teman sekolah atau lingkungan mereka. Hingga diusia dewasa awal mereka tidak gagap mengatur keuangan, tidak kaku berinvestasi, tidak deg-degan dengan kegagalan usaha, tidak khawatir dengan persaingan bisnis. Budaya itu tentu tidak instan. Turun temurun dari orang tua mereka, kebiasaan yang diulang-ulang, pengalaman yang tidak putus, dan ada reinforcement yang padu membentuk “integritas diri” dan “rasa bersalah” pada lingkungan.

Kita semua bersepakat ya, bahwa perubahan suatu bangsa disokong oleh perubahan masyarakatnya, perubahan masyarakat didukung oleh perubahan keluarga-keluarga kecil di dalamnya, dan perubahan keluarga kecil itu dimulai dari perubahan individu-individunya. Wajar dong kalau negara-negara tersebut kuat ekonominya, tidak bergantung hutang pada negara lain lalu mudah disetir.

***
Tidak bisa cepat, sederhananya, kita harus mengawali sejarah membentuk sebuah budaya baru.

Sampai hampir kusut otak saya berfikir, masih juga belum menemukan cara cepat untuk menuntaskan masalah korupsi di negara kita. Kalau faktanya korupsi di Indonesia sudah akut, jalan satu-satunya adalah operasi. Sayangnya tidak ada dokter juga yang berani mengoperasi sakit korupsi di negara kita ini. Sejarah membuktikan, sembuhnya negara-negara terkorup di dunia pun tidak hanya dari resep obat peraturan hukum pemerintah, tetapi juga kesadaran sel terkecil dari tubuh bangsa itu untuk sembuh.

Nah, saya kira ini langkah awal mencegah korupsi. Sulit tetapi butuh. Pelajar, orang tua, guru, lingkungan butuh memiliki kesamaan konsep bahwa : mencontek berarti tidak percaya diri, tidak percaya diri sering berakibat kita tidak mandiri, tidak mandiri mengurangi bahkan menghilangkan integritas diri. Konsep ini harus diulang-ulang oleh media, digelontorkan oleh guru di sekolah, dikuatkan oleh orang tua di rumah, sehingga menjadi sebuah kebiasaan anak-anak muda generasi penerus bangsa ini. Kita akan tetap menaruh sikap mencontek (latihan korupsi) pada tempatnya, yaitu salah. Bukan ala bisa benar karena biasa.

Saya sadar bahwa solusi di tulisan saya ini normatif. Tetapi saya sudah membuktikan melalui cerita saya di atas dengan salah seorang adik kelas, dan saya terus melakukan pendampingan tersebut, beberapa kelompok  yang saya dampingi justru semakin giat belajar, menggunakan waktunya untuk menggali pelajaran, tidak sempat tawuran atau melakukan hal-hal tidak bermanfaat dan semakin percaya diri dengan tidak mencontek.

***
Kepada KPK dan mungkin pemerintah.

Khusus untuk KPK. Menurut pendapat saya, penangkapan pelaku korupsi adalah obat untuk penyembuhan jangka pendek bagi pelaku. Sedang yang kita butuhkan saat ini adalah pencegahan, karena bibit-bibit keturunan pelaku korupsi itu masih ada dan terus lahir, apalagi terkadang pupuk media tidak mendukung, menyimpangsiurkan informasi, dan jarang mengambil kesimpulan yang mendorong pencegahan korupsi.

Saya tidak tahu apakah sudah ada duta anti korupsi di sekolah-sekolah. Prosesnya duta-duta itu adalah perwakilan dari tiap sekolah yang ditraining integritas dirinya, difasilitasi dan dijadikan model di sekolah, digunakan sebagai media untuk mempengaruhi teman-teman sebayanya melalui noton bareng film “Kita versus Korupsi”, stiker, blog, facebook, twitter, dan media lainnya. Serius, saya pribadi kesulitan jika sudah berbenturan dengan orang tua mereka, guru-guru mereka yang memandang sebelah mata sebuah kejujuran. Fase pencarian jati diri adalah masa yang efektif bagi para remaja atau pelajar bertemu dengan konsep positif integritas diri - sebagian sudah saya paparkan diatas. Kita harus membuka peluang pertemuan mereka dengan nilai-nilai tersebut, sebanyak dan sesering mungkin, simpel, agar mereka terbiasa. Terbiasa tidak menyontek, terbiasa tidak korupsi.

Demikian, jurnal ini dibuat dalam waktu sesingkat-singkatnya. 




Yogyakarta, 28 November 2012 - 23:45

by : Desti Purnamasari


tulisan inspirasi di blog saya yang lain : http://destipurnamasari.multiply.com/journal/item/151/Keluhan-anak-SMA-Ortu-Maunya-Saya-Nyontek
sumber bisa langsung klik pada kata yang terkait sumber

1 comments:


  1. Senang rasanya bisa berkunjung ke website anda" mudah-mudahan
    infonya bermanfaat Terimakasih sudah berbagi

    BalasHapus

feel free to comment ^^d