Kamis, 11 Oktober 2012


Sep 5, '11 6:01 AM

Aku menangis ketika ia bercerita bahwa suatu saat kita akan renggang, tidak lagi berkomunikasi, dan puncaknya adalah hari dimana ia akan menikah dengan wanita lain. Ini memang resiko dari keputusanku untuk menjadi seorang yang dekat dengannya tanpa komitmen.

Lalu, tangisku surut menjadi kebingungan. 
***

"Dek, aku baru saja mengunjungi nenekku, sudah lama, jarang sekali menemui beliau." Aku meresponnya sambil mengusap sisa air mata. Sepanjang ceritanya, aku hanya mengangguk iya. 

"Bahkan aku hampir tidak mau ikut ketika diajak bapak sama ibu, tapi yaa. Saat bertemu beliau, aku melihat nenek sudah sangat tua, pendengaran dan penglihatan beliau tidak lagi normal." Nada bicaranya semakin rendah,  hampir tak terdengar, tetapi aku tak ingin memotong perkataannya hanya untuk menyaringkan suara, itu merusak suasana, aku saja yang mengeraskan speaker hp juga lebih melekatkannya ke telinga.

"Entah rasanya waktu itu gimana, melihat beliau sekarang tinggal sendirian, kakek sudah meninggal lama. Juga ditambah perlakuan anak-anaknya yang, hmm aku ngerasanya ya tidak begitu peduli, dalam artian sangat. Bapak ibu tinggal jauh. Aku juga merasa jadi cucu durhaka." Mendengar itu, balasku masih bergumam mmm saja.

"Jadi, waktu bapak sama ibu tidur di ruang tamu, aku duduk di samping nenek, harus dekat supaya suaraku terdengar, ngajak beliau bercerita, malam itu kita ngobrol banyak. Seketika aku membayangkan masa-masa tua , dengan keterbatasan penglihatan dan pendengaran, sendirian, kesepian. Waktu ngobrol itu mataku berkaca-kaca. Aku menyentuh wajah nenek dengan tangan, lalu beliau balas menggenggam tanganku." Suaranya bergetar, aku tahu dia menitihkah air mata, ya semakin jelas saat ia menghirup nafas, ada yang menyumbat hingga bersuara. 

"Aku membayangkan bapak ibu nanti dimasa-masa tua. Rasanya aku ingin tetap merawat mereka. Tidak ingin menaruh mereka di panti jompo" seketika aku tersinggung dengan kata itu "jangan, jangan jahat sekali panti jompo!" aku menyela, ia meneruskan "Iya, aku tidak ingin seperti itu, oleh karena itu aku butuh isteri yang juga bisa merawat orang tuaku nanti." Aku terdiam.

Ia mengulang lagi cerita obrolan dengan sang nenek. Tidak kusangka dia menceritakan hal ini, seolah aku bisa melihat ada air mata menetes dipipinya. Sangat terasa mendalam, semakin terdengar suara hatinya.  Aku tahu, tidak mudah bagi kaum adam untuk menangis, itu membuat mereka terlihat lemah. Bahkan saat aku bercerita seperti ini pun, jika engkau pria, kau mungkin akan mengatakan, "hei cemen sekali kau! menangis di depan wanita." Atau sebagian lain akan memaklumi, "pria juga manusia." Atau ada respon lain?

***
Masih, aku masih dalam kebingungan. Kalau ia ingin menikahi wanita lain,  mengapa menceritakan hal itu padaku bahkan sambil menangis. Bukankah wanita itu lebih berhak mendengar suara hatinya. Harus mengoreksi sikapku.

#Edisi baca novel melow








0 comments:

Posting Komentar

feel free to comment ^^d